Pendahulaun
Carl R. Rogers mengembangkan terapi terpusat pada konseli (client-centered) sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami konseli berikut dunia subjektif dan fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi konselinya dengan jalan membantu konseli yaitu dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan konseli untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan konseli merupakan katalisator bagi perubahan; konseli menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya.
Pandangan client-centered tentang sifat manusia menolak konsep tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi. Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia tersosialisasi dan bergerak ke muka, berjuang untuk berfungsi penuh, serta memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang terdalam. Singkatnya, manusia dipercayai dan karena pada dasarnya kooperatif dan konstruktif, tidak perlu diadakan pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya. Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi praktik terapi client-centered tidak terkecuali konseling kelompok. Berkat pandangan filosfis bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada konseli. Model client-centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan yang memandang konseli sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan konseli untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan.
Selanjutnya Natawidjaja (2009:235) menyebutkan bahwa pendekatan ini didasari asumsi bahwa manusia cenderung bergerak ke arah keseluruhan dan ke arah perwujudan diri dan bahwa anggota kelompok sebagai individu dan juga kelompok sebagai keseluruhan itu dapat menemukan arah sendiri dengan bantuan yang minimum dari konselor kelompok atau fasilitator. Pendekatan berpusat pada pribadi, menekankan mutu pribadi konselor daripada keterampilan knisnya dalam memimpin kelompok, karena tugas dan fungsi utama dari fasilitator kelompok adalah mengerjakan apa yang diperlukan untuk menciptakan suatu iklim yang subur dan sehat di dalam kelompok. lklim seperti itu dibentuk antara anggota-anggota kelompok dengan fasilitator dengan menciptakan hubungan yang didasari oleh sikap tertentu seperti pemahaman empatik yang teliti, penerimaan, penghargaan yang positif, kehangatan, perhatian, rasa hormat, keaslian ( genuineness), spontan, dan pengungkapan diri (self disclosure). Pendekatan berpusat pada pribadi dalam konseling kelompok merupakan hasil dari proses evolusi yang berlangsung terus dan tetap terbuka untuk perubahan dan penghalusan. Pendekatan berpusat pada pribadi ini mempunyai kesamaan dengan pendekatan eksistensial dalam arti keduanya memiliki prinsip-prinsip pokok yang bersamaan.
Kelompok berpusat pada konseli pada pendekatannya lebih menekankan pada ketompok kecil. Pada kerjanya, kelompok ini didasarkan atas kepercayaan terhadap sumber-sumber dalam diri individu yang siap ditumbuh kembangkan dalam kelompok. Rasa saling percaya antar anggota ketompok tersebut dapat rnernbantu dalam mengembangkan potensi para anggota ketompok tanpa harus diarahkan pada tujuan tertentu oleh pemimpin ketornpoknya. Keunikan ketompok yang berpusat pada konseli adalah terdapat pada kelompok pertemuan yang berfokus kepada kesadaran individu mengenai pengalaman emosi dan tingkah laku untuk mencapai tingkat pertumbuhan pribadi. Rogers beranggapan bahwa setiap individu pasti memiliki potensi yang dapat dikembangkan mencapai kualitas hidup dengan cara aktualisasi diri dan potensi maksirnal individu dapat keluar bila individu tersebut hidup dan dipengaruhi oleh kondisi ketompok yang bermakna untuk pertumbuhan pribadi dan aktualisasi dirinya. Selain itu, kelompok berpusat pada konseli lebih berorientasi dan mengandalkan pengaruh dari aktivitas kelompok terhadap masing-masing anggota. Praktek kelompok berpusat pada konseli hanya dapat dilakukan jika masing-masing anggota saling percaya satu sama lain.
Di dalam "Encounter Group" (kelompok pertemuan), terdapat asumsi bahwa penyimpangan-penyimpangan atau ketidak mampuan seorang anggota dalam berkomunikasi' akan ditingkatkan atau diperbaiki oleh anggota lain yang lebih berpengalaman dan terlatih yang siap membantu kelompok. Pemimpin kelompok (konselor) harus terampil dalam upaya mengekspresikan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran anggota kelompok maupun dirinya, dan pemimpin kelompok seyogyanya menunjukkan pribadi yang terintregasi dan terdidik secara professional. Bertentangan dengan "T-group" (kelompok latihan), kelompok pertemuan pada dasamya kurang terstruktur, teoritik, berorientasi "here and now" (kini dan disini) dan berorientasi tugas. Anggota kelompok bebas berbicara tentang masa lalu dan masa kini, sebab kelompok pertemuan ini tidak membedakan tujuan pertumbuhan, perkembangan, dan psikoterapi (Shaffer & Galinsky, 1989: 211). Kelompok pertemuan cenderung pada proses dan lebih konfrontatif dalam umpan balik, alih-alih kelompok-latihan. Sebagai suatu aturan, kelompok pertemuan pada dasamya lebih terbuka secara luas mengekspresikan perilaku daripada kelompok-T-group.
Hal yang sama dari ke dua kelompok ini adalah lebih memfokuskan pada pertumbuhan pribadi. Secara keseluruhan, kelompok pertemuan pada dasarnya dibangun atas dasar premis bahwa setiap orang yang berpartisipasi dalam kelompok relative sehat. Mereka mulanya dirujuk sebagai terapi kelompok bagi orang normal (Yalom, 1985).
Tujuan konseling kelompok terpusat pada konseli
Tujuan dasar client-centered sebagaimana Corey (2013: 94) adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu konseli untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, konselor perlu mengusahakan agar konseli bisa memahami hal-hal yang ada di balik topeng yang dikenakannya. Konseli mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan oleh konseli menghambatnya untuk tampil utuh di hadapan oranglain dan dalam usahanya menipu orang lain, ia menjadi asing terhadap dirinya sendiri. Apabila dinding itu runtuh selama proses konseling berlangsung, Rogers (Corey 2013: 94 – 96) menguraikan ciri-ciri orang yang teraktualisasikan yaitu: (1) keterbukaan pada pengalaman, (2) kepercayaan terhadap organisme sendiri, (3) tempat evaluasi internal, dan (4) kesediaan untuk menjadi suatu proses.
Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pada pengalaman perlu memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai lawan kebertahanan, keterbukaan pada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir diluar dirinya. Hal ini juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan orang tidak kaku; ia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan serta bisa menoleransi kehawatiran. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
Kepercayaan terhadap organisme sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu konseli dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap-tahap permulaan, kepercayaan konseli terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan konseli pada pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan konseli kepada dirinya sendiripun mulai timbul.
Tempat evaluasi internal
Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Ia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari diri sendiri. Ia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
Kesediaan untuk menjadi suatu proses
Konsep tentang diri dalam proses merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, dengan kata lain konseli menyadari bahwa perumbuhan, perubahan yang terjadi pada dirinya merupakan bagian daripada proses yang berkesinambungan, dalam hal ini para anggota kelompok berada dalam pengujian persepsi-persepsi dirinya tentang hal yang lalu, sedang dan akan datang, persepsi tersebut dapat membuka kepercayaan akan dirinya serta merevisi pengalaman-pengalaman barunya.
Presedur konseling kelompok terpusat pada konseli
Pendekatan client centered tidak ada aturan khusus tentang jumlah dan pembentukan kelompok. Meskipun demikian, kelompok dalam pendekatan client centered biasanya berjumlah 8 - 12 orang atau merupakan kelompok kecil (Suprianta, N. 2009: 42). Pada umumnya kelompok bertemu seminggu sekali selama tiga jam tiap sesinya, dan biasanya berlangsung selama kurang lebih 15 sesi pertemuan. Karena hakikat kelompok ltu sangat pribadi, maka tidak ada aturan tentang pembentukannya sehingga setiap orang dapat menjadi anggota kelompok asalkan kedua belah pihak setuju bahwa setiap anggota kelompok akan memberikan sumbangannya kepada kelompok sebagai keseluruhan dan kepada para anggotanya. Tidak ada peraturan permainan khusus yang harus dipatuhi oleh setiap anggota. Peraturan-peraturan pertemuan dibuat atas kesepakatan bersama semua anggota kelompok.
Rogers; Gladding; (Supriatna, N. 2009: 42 – 43) memaparkan bahwa terdapat 15 tahapan dalam melakukan konseling kelompok dengan memerhatikan fleksibilitas tahapan atau tidak mesti berurutan, tahapan tersebut diantaranya sebagai berikut:
- Mencati arah (Milling around). Tahap ini merupakan tahap awal kelompok dimana para anggota kelompok merasa bingung siapa yang akan bertanggung jawab dan apa yang harus dilakukan. Kebingungan ini akan berakibat frustrasi, diam, dan mulai timbul kecenderungan untuk percakapan ringan.
- Penolakan (Resistance). Anggota mulai memasuki kelompok dengan pribadi diri dan pribadi publik. Anggota kelompok lebih bersikap protektif karena mereka cenderung menghindar mengekspos diri pribadi dan dapat membangun kepercayaan sesama anggota kelompok
- Deskripsi tentang perasaan-perasaan (Revealing past feelings). Mulai timbulnya kepercayaan dan anggota kelompok sudah mulai dapat membuka diri tentang perasaan mereka, termasuk tentang masa lalunya. Anggota sering bertindak seolah apa yang dikatakan berkaitan dengan sekarang, padahal kenyataan itu jarang terjadi.
- Pernyataan perasaan-perasaan negatif (Expression of negative feelings). Perasaan ini merupakan eksresi yang biasanya diarahkan kepada pemimpin
kelompok yang umumnya bersifat menyalahkan. Menurut Rogers, perasaan tersebut terjadi karena anggota kelompok: (a) mau menguji kebermaknaan kelompok; dan (b) kurang dapat menangani penolakan yang disebabkan perasaan negatif mereka. - Penjajakan kebermaknaan pribadi (Expression of personally meaningful material). Pada tahap ini, anggota kelompok merasa bebas mengeksplorasi dan berbicara tentang kejadian penting yang bermakna dalam hidupnya. Pada tahap ini juga ada kejujuran yang nyata dalam kelompok.
- Pernyataan perasaan-perasaan antar pribadi (Communication of interpersonal feelings). Anggota mulai dipengaruhi dan merespons pada anggota kelompok lainnya dan menunjukkan pada orang lain komentar-komentar dan tindakan dipersepsi.
- Pengembangan kemampuan penyembuhan (Development of a healing capacity in the group). Mulai merasakan kesesuaian satu sama lain. lni diperoleh setelah anggota memberi kehangatan, pemahaman, perhatian, pada orang lain dalam kelompok.
- Penerimaan diri dan permulaan dari perubahan (Self-acceptance and the beginning of change). Terbukanya anggota kelompok akan perubahan-perubahan.
- Pemecahan tirai pelindung (Cracking of facades). Adanya kecenderungan kelompok dalam pertemuan anggota untuk membuka diri secara lebih terbuka dan asli.
- Umpan balik (Feedback). Umpan balik sangat konstruktif dan memperkaya anggota kelompok untuk mempersepsi bagaimana ia dipandang oleh orang lain dan anggota lebih sadar siri
- Konfrontasi (Confrontation). Kesadaran anggota untuk mencapai klimaks. Konfrontasi ada dalam bentuk positif dan negatif.
- Hubungan yang membantu diluar pertemuan kelompok (Helping relationship outside outside the group). Proses ini membantu anggota kelompok menyelesaikan kesalah pahaman dan mengembangkan hubungan baru.
- Perjumpaan dasar (The basic encounter). Hubungan orang dengan orang lain yang jujur adalah karakteristik dalam kelompok ini. Anggota kelompok menyadari betapa memuaskan dan bermakna berhubungan dengan orang lain.
- Pernyataan-pernyataan positif dan keakraban (Expression of closeness). Ketika hampir ditutup, anggota mengekspresikan perasaan positif tentang pengalamannya dan tentang orang lain. Semangat kelompok berkembang lebih kuat.
- Perubahan perilaku dalam kelompok (Behavoir changes). Pada akhir kelompok, terjadi perubahan perilaku. Anggota cenderung bertindak lebih terbuka, jujur, perhatian dan mereka bertingkah laku dalam pengalaman hidup sehari-hari setelah kelompok dihentikan.
Peran konselor pada konseling kelompok terpusat pada konseli
Rogers menganggap bahwa fungsi utama dan konselor adalah membangun iklim yang memberikan keamanan psikologis bagi para anggota kelompok, dengan demikian, konselor atau pemimpin kelompok dalam pendekatan berpusat pada pribadi ini menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengadakan perubahan dalam kelompoknya dan dalam diri para anggotanya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan client-centered ini lebih menekankan pada sikap konselor ketimbang teknik-teknik khusus dalam proses konseling.
Adapun sikap-sikap dan keterampilan yang harus dimiliki oleh pemimpin atau konselor konseling kelompok dalam pendekatan client-centered sebagaimana Natawidjaja (Supriatna, N, 2009: 45 – 46) menjelaskan sebagai berikut:
- Keaslian, kesungguhan, atau kongruensi: Konselor/ seorang fasilitator harus mampu menampilkan diri apa adanya tanpa ada hal yang dibuat-buat atau mampu terlibat sebagai suatu pribadi, tanpa memasang sikap sebagai ahli. Keaslian ini juga menunjukan kesungguhan dari fasilitator tersebut
- Penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positif regard): Merupakan perimaan dan perhatian terhadap peserta. Penghargaan positif ini menyangkut upaya untuk mengomunikasikan perhatian dan kasih sayang tanpa syarat dan tidak disertai dengan penilain terhadap perasaan dan pemikiran konseli. Dengan kata lain, konselor menghargai dan menerima konseli apa adanya dan tanpa syarat apapun. Penghargaan yang positif ini tanpa syarat ini merupakan stkap perhatian dan kehangatan yang bersifat tidak memiliki.
- Empati: Empati merupakan salah satu sikap yang paling mendasar dalam pendekatan ini. Empati pada dasamya merupakan kemampuan untuk memasuki dunia subjektif konseli dan kemampuan untuk mengomunikasikan pemahaman itu kepada konseli. Rogers mengartikan konseli sebagai kemampuan untuk melihat dunia orang lain dengan menggunakan kerangka rujukan internal dari orang yang bersangkutan. Empati yang sesungguhnya didasarkan atas peneriman dan sikap tidak menilai (nonjudgmental).
- Rasa Hormat: Rasa hormat atau menghormati kelompok merupakan salah satu aspek yang dikemukakan Egan (1982). Rasa hormat dapat diartikan sebagai sikap menghargai orang lain sebagaimana adanya. Sikap menghormati ini menunjukan pandangan bahwa adanya kesamaan kedudukan antara konselor dengan konseli, bahwa konseli merupakan pribadi yang unik dan berhak urttuk memandang segala sesuatu dari sisi yang menguntungkan bagi dirinya. Biasanya rasa hormat ini dikomunikasikan secara halus dan non verbal.
- Kesegeraan (Immediacy): Kesegeraan merupakan kemampuan untuk menghayati, di mana dan bagaimana menyatakan reaksi-reaksi konselor kepada konseli dalam kaitannya dengan perjumpaan pribadi dengan pribadi dalam suasana kelompok. Egan (1982) menyatakan bahwa kesegeraan sebagai "percakapan anda-aku" (you-me talk), sehingga konselor diharapkan mampu untuk menjajaki secara terbuka dan langsung apa yang terjadi di sini dan saat itu juga dalam rangka hubungan antar pribadi.
- Kekongkritan: Konsep kekongkritan ini dikembangkan oleh para ahli lain yang bertolak pada teori Rogers. Kekongkritan berarti kekhususan dalam mendiskusikan kepedulian, perasaan, pemikiran dan tindakan seseorang. Konselor kelompok hendaknya mampu mendeteksi gejala-gejala tidak adanya kekongkritan dalam kegiatan kelompok. Hal ini diperlukan untuk membantu konseli dalam menyadari kesamaran pernyataan - pernyataannya.
- Konfrontasi: Egan (1982) menyatakan bahwa konfrontasi itu sebagai undangan kepada seseorang untuk menguji perilakunya secara lebih jujur. Konfrontasi dalam proses konseling kelompok ini adalah usaha untuk menunjukkan perbedaan dan kesenjangan antara berbagai sikap, pemikiran, dan perilaku konseli. Biasanya terdapat anggapan yang keliru tentang konfrontasi ini sehingga para konselor terkesan sangat berlebihan dalam memberikan dukungan kepada konseli, padahal untuk menjadi seorang konselor yang mampu menunjukkan keasliannya, maka diperlukan sikap yang mampu melakukan konfrontasi yang bersifat terapeutik.
Rogers berusaha sebaik mungkin untuk menjadi pribadi
yang lebih baik terhadap anggota kelompoknya dengan menjalankan peran sebagai
seorang ahli. Dalam karyanya disebutkan fungsi dirinya dalam kelompok tak
ubahnya seperti memandu sebuah perjalanan. Rogers (Corey, 2012: 264) menegaskan
karakteristik fasilitator dalam kelompok ialah sebagai berikut
- Fasilitator mempunyai kepercayaan yang besar terhadap anggota kelompok untuk melewati proses kelompok, berkeyakinan bahwa kelompok dapat bergerak maju tanpa intervensi direktif dari fasilitator
- Mendengarkan dengan cermat dan memberikan sensitifitas terhadap setiap anggota kelompok
- Semua yang fasilitator lakukan memungkinkan untuk berkontribusi terhadap terciptanya iklim secara psikologis aman bagi anggota kelompok
- Fasilitator berupaya secara empatik memahami dan menerima individu dan kelompok, serta fasilitator tidak mendorong kelompok untuk masuk ketingkat yang lebih dalam
- Anggota kelompok berorientasi pada pengalaman dan perasaan mereka sendiri yang berarti bahwa “mengungkapkannya di sini dan memberikan reaksinya sekarang”
- Fasilitator menawarkan anggota umpan balik untuk disesuaikan, menantang anggota dalam perilaku mereka yang lebih spesifik, menghindari penilaian dan memperkuat pembicaraan bagaimana para anggota dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Pendekatan
berpusat pada konseli dalam setting kelompok (Group-centered approach) sikap
dan keterampilan memegang peran penting dari gaya seorang faslitator seperti:
mendengarkan secara aktif dengan cara yang menyentuh; menerima; memahami;
menghormati; mencerminkan; mengklarifikasi; meringkas; berbagi pengalaman
pribadi; menanggapi; menghadapi dan melibatkan anggota lain dalam kelompok;
mengikuti arah kelompok dan bukan mencoba mengarahkan kelompok; dan menegaskan
kapasitas anggota untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Sementara itu Berg, R, C. et al (2006: 36) menyatakan titik tekan group-centered approach ialah bagaimana fasilitator membantu para anggota untuk merasa cukup aman terlepas dari apakah mereka harus merubah atau tidak merubah tentang sesuatu, group-centered approach berkeyakinan perilaku manusia merupakan bentuk rasional yang indah yang digerakkan dengan halus, memerintahkan kompleksitas menuju tujuan organisme dan melangkah untuk mencapainya.
References
Berg, R., Landreth, G, L., & Fall, K, A., (2006) “group counseling concepts and procedures. Fourth edition New York: Brunner-Routledge
Brown, N.W (1994) “ group counseling for elementary and middle school children”. Connecticut London: Praeger
Corey, G. (2012) “Theory & Practice of Group Counseling”. Eighth Edition. Canada: Cengage Learning
Jacobs, ED.E., Masson, R., Harvill, R., Schimmel, C, J. (2009) “ group counseling strategi and skiils”. Canada: Linda Schreiber-Ganster.
Rusmana, N. (2009) “ Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung: Rizke Press
mantap, gan
BalasHapus