PENGERTIAN
Etik mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Dalam konseling lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh konselor, Struktur diciptakan oleh konselor, Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif, Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.
Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Contoh kasus:
Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan. Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan(Etik). Namun dalam memahami budaya spesifik berarti harus mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri sendiri (Etik).
Ada banyak contoh etik dan emik dalm psikologi lintas budaya. Bahkan barangkali bias dikatakan bahwa tujuan utama psikologi lintas budaya sebagai sebuah disiplin adalah untyk memeriksa mana aspek-aspek perilaku manusia yang etik dan mana manusia yang emik. Salah satu tujuan utama adalah untuk menyajikan berbagai contoh etik dan emik yang diperoleh dari penelitian lintas budaya.
Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Etnosentris dan Streotype
Kadang kita tidak bisa memisahkan diri kita dari latar belakang dan bisa-bisa kultural kita sendiri dalam memahami perilaku orang lain. Resistensi ini adalah dasar dari apa yang disebut sebagai etnosentrisme – cara pandang dan penafsiran perilaku orang lain dari kaca mata kultural kita sendiri. Etnosentrisme juga didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70)
Etnosentrisme terkait erat dengan streotip. Streotip adalh sikap atau keyakinan yang baku (fixed) tentang orang-orang yang berasal dari budaya lain. Streotip buada berasal dari fakta. Namun demikian, streotipseringkali merupakan kombinasi antara fakta dan fiksi mengenai orang dari kelompok budaya tertentu. Streotip bisa berguna dengan menjadi semacam dasar untuk melakukan penelitian, evaluasi dan interaksi dengan orang dari budaya. Namun streotip dapat menjadi berbahaya dan merusak bila kita memegangnya dengan kaku dan menerapkannya secara pukul rata pada semua orang dari latar belakang budaya tertentu tanpa menyadari kemungkinan adanya kekeliruan pada dasar-dasar streotip tersebut maupun adanya perbedaan individual didalam sebuah budaya.
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita.
Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.
Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.
Etik, emik, etnosentrisme, dan streotip adalah konsep-konsep penting untuk dipelajari dan diingat. Dalam mempelajari berbagai kemiripan dan perbedaan budaya, penting untuk memiliki gambaran tentang hal-hal yang potensial menjadi jebakan. Tidak perlu dikatan lagi bahwa membuat pernyataan nilai dan mempertahankan sikap etnosentris tidaklah kondusif bagi kemajuan bidang ini.
REFERENCES
Matsumoto, David. 1994. Pengantar psikologi lintas budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Irawanto, Budi. 2007. Riset Etnografi. Slide Kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM.
Nurhasnah (2012) Pendekatan etik dan emik dalam konseling. Etnosentrismen dan stereotype. Sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan (STKIP). Padang.