Pendahuluan
Terapi realitas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan akan identitas mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, ketersendirian. Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika-dinamika tingkah laku, dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan. Menurut terapi realitas, akan sangat berguna apabila menganggap identitas dalam pengertian "identitas dalam keberhasilan" lawan "identitas kegagalan". Dalam pembentukan identitas, masing-masing dari kita mengembangkan keterlibatan-keterlibatan dengan orang lain dan dengan bayangan diri, yang dengannya kita merasa relatif berhasil atau tidak berhasil. Orang lain memainkan peranan yang berarti dalam membantu menjelaskan dan memahami identitas kita sendiri. Cinta dan penerimaan berkaitan langsung dengan pembentukan identitas.
Menurut Glasser (Corey, 2013: 264), basis dari terapi realitas adalah membantu para konseli dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencakup "kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain". Lebih jauh dikatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah konsep inti dalam terapi realitas. Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan kepada tingkah laku sekarang. konselor berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain.
Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Terapi realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai sua tu “identitas keberhasilan”. Memodifikasi tingkah laku karena dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengkondisian operan yang tidak ketat. Glasser mengembangkan terapi realitas dan meraih popularitasnya karena berhasil menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi tingkah laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana.
Terapi Realitas bertumpu pada ide sentral bahwa anggota kelompok bebas memilih perilaku dan harus bertanggung jawab tidak hanya atas apa yang kelompok lakukan tetapi juga atas bagaimana anggota kelompok berfikir dan merasakan. Terapi Realitas merupakan suatu model terapi yang dikembangkan sebagai reaksi melawan terapi konvensional. Terapi Realitas adalah terapi jangka pendek yang berfokus pada saat sekarang, menekankan kekuatan pribadi, dan pada dasamya merupakan jalan dimana para anggota keompok bisa belajar tingkah laku dan lebih realistik. (Supriatna, N, 2009: 72)
Maka jelaslah bahwa terapi realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun di atas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memikul tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi daritingkah lakunya sendiri.
Adapun ciri-ciri penggunaan konseling realitas sebagaimana Corey, (2013: 265 – 268) diuraikan sebagai berikut:
Pertama: Terapi realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat dari tidak adanya rasa tanggung jawab. Pendekatan ini tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis. Ia mempersamakan gangguan mental dengan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan mempersamakan kesehatan mental dengan tingkah laku yang bertanggung jawab.
Ke-dua: Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah-laku sekarang. Terapis realitas juga tidak bergantung pada pemahaman untuk mengubah sikap-sikap, tetapi menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
Ke-tiga: Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang. Kalaupun didiskusikan dalam terapi masa lampau selalu dikaitkan dengan tingkah laku konseli sekarang. Terapis terbuka untuk mengeksplorasi segenap aspek dari ·kehidupan konseli sekarang, mencakup harapan-harapan; ketakutan-ketakutan; dan nilai-nilainya. Terapi menekankan kekuatan-kekuatan; potensi-potensi; keberhasilan-keberhasilan dan kualitas-kualitas yang positif dari konseli, serta tidak hanya memperhatikan kemalangan dan gejala-gejalanya.
Ke-empat: Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran konseli dalam, menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Terapi ini beranggapan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya. Jika para konseli menjadi sadar bahwa rnereka tidak akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya perubahan positif, semata-mata karena mereka menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih baik daripada gaya mereka sekarang yang tidak realistis.
Ke-lima: Terapi realitas tidak menekankan fransferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realitas mengimbau agar para terapis menempuh cara keberadaannya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah atau ibu konseli.
Ke-enam: Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, dan bukan aspek-aspek ketaksadaran dengan kata lain terapi realitas menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh konseli, bagaimana tingkah laku konseli sekarang hingga ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, dan bagaimana ia bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkah laku yang berhasil berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan realistis. Terapis realitas memeriksa kehidupan konseli sekarang secara rinci dan berpegang pada asumsi bahwa konseli akan menemukan tingkah laku sadar yang tidak mengarahkannya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.
Ke-tujuh: Terapi realitas menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencan-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada konseli dan perusakan hubungan terapeutik. Glasser menganjurkan untuk membiarkan konseli mengalami konsekuensi-konsekuensi yang wajar dari tingkah lakunya.
Ke-delapan: Terapi realitas menekankan pada tanggung jawab, dengan asumsi belajar bertanggung jawab merupakan proses seumur kehidupan meskipun kita semua memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk memiliki rasa berguna kita tidak memiliki kemampuan bawaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Sementara itu Latipun, (2006: 154 – 155) mengemukakan prinsip kerja konseling realitas berdasarkan lima asumsi yaitu:
- Perilaku manusia didorong oleh usaha untuk menemukan kebutuhan dasarnya baik fisiologis dan psikologis. Kebutuhan dasar ini berlaku sama untuk semua orang kebutuhan dasar seseorang tersebut meliputi (a) kebutuhan untuk mencintai dan dicintai; (b) kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna untuk diri sendiri dan untuk orang lain
- Jika individu frustrasi Karena gagal memperoleh kepuasan atau tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya ia akan mengembangkan identitas kegagalan. Sebaliknya jika ia berhasil memperoleh kepuasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya maka akan mengembangkan identitas keberhasilannya.
- Individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengubah indentitasnya dari identitas kegagalan ke identitas keberhasilan. Individu yang bersangkutan adalah pihak yang mampu mengubah dirinya sendiri.
- Faktor tanggung jawab adalah sangat penting pada manusia, orang yang berusaha memperoleh kepuasan mencapai success identity menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab
- Faktor penilaian individu tentang dirinya sangat penting untuk menentukan apakah dirinya termasuk memiliki identitas keberhasilan atau identitas kegagalan.
Tujuan konseling kelompok realitas
Tujuan konseling realitas sebagaimana Latipun, (2006: 155) membantu para anggota untuk memahami kehidupan riilnya dan menuntunnya dapat memenuhi kebutuhannya dalam kerangka kerja (framework). Meskipun memandang dunia realitas antara individu yang satu dengan yang lain dapat berbeda tetapi realitas itu dapat diperoleh dengan cara membandingkan dengan orang lain. Selanjutnya konselor membantu konseli bagaimana menemukan kebutuhannya dengan 3R yaitu right, responsibility, dan reality sebagai jalannya.
Hal yang senanda juga diungkapkan Supriatna, N (2009: 75) bahwa tujuan konseling realitas adalah agar setiap individu bias mendapatkan cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan menjadi bagian dari suatu kelompok. Focus terapi realitas adalah pada apa yang disadari oleh konseli untuk kemudian membantunya menaikan tingkat kesadarannya. Setelah konseli telah mendapatkan kesadaran tersebut ia akan lebih terbuka untuk mempelajari alternative laindari cara berperilaku.
Selanjutnya Corey (2009: 269) tujuan umum terapi realitas adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Pada dasarnya otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan internal. Kematangan ini menyiratkan bahwa orang-orang mampu bertanggung jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta mengembangkan rencana-rendana yang bertanggung jawab dan realistis guna mencapai tujuan-tujuan mereka.
Melalui konseling kelompok dapat membantu konseli dalam menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan mereka, selanjutnya memberinya menjesalakan cara-cara mereka menghambat kemajuan kearah tujuan-tujuan yang ditentukan oleh konseli yang dieksplorasi dalam kelompok konseling, selanjutnya konselor membantu para anggota atau konseli menemukan alternatif-alternatif dalam mencapai-tujuan-tujuan namun konseli yang menentukan tujuan-tujuan diselenggarakannya konseling kelompok.
Glasser dan Zunin (Corey, 2013: 270) sepakat bahwa terapis harus memiliki tujuan-tujuan tertentu bagi konseli dalam pikirannya. Akan tetapi tujuan-tujuan itu harus diungkapkan dari segi konsep tanggung jawab individual alih-alih dari segi tujuan-tujuan behavioral karena konseli harus menentukan tujuan-tujuan itu bagi dirinya sendiri. Mereka menekankan bahwa kriteria psikoterapi yang berhasil sangat bergantung pada tujuan-tujuan yang ditentukan oleh konseli. Meskipun tidak ada kriteria yang kaku yang pencapaiannya menandai selesainya terapi, kriteria umum mengenai pencapaian tingkah laku yang bertanggung jawab dan pemenuhan tujuan-tujuan konseli menunjukkan bahwa konseli mampu melaksanakan rencana-rencananya secara mandiri dan tidak perlu lagi diberi treatment.
Prosedur konseling kelompok realitas
Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Prosedur-prosedurnya difokuskan pada kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi konseli yang dihubungkan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu konseli untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
- Terlibat dalam permainan peran dengan klien
- Menggunakan humor
- Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun
- Membantu konseli dalam merumuskan rencana-renca yang spesifik bagi tindakan
- Bertindak sebagai model dan guru
- Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi
- Menggunakan terapi kejutan verbal atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan konseli dengan tingkah lakunya yang tidak realistis; dan
- Melibatkan diri dengan konseli dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif. Corey, (2013: 277 – 278)
Terapi kelompok adalah wahana yang efektif bagi penerapan prosedur-prosedur terapi realitas. Proses kelompok bisa menjadi agen yang kuat untuk membantu konseli dalam melaksanakan rencana-rencana dan komitmen-komitmennya. Para anggota diminta menuliskan kontrak-kontrak khusus dan membacakannya di hadapan kelompok. Keterlibatan dengan para anggota lain dengan cara yang bermakna merupakan perangsang untuk tetap pada komitmen yang telah dibuat.
Selanjutnya Latipun, (2006: 156 – 159) untuk mencapai tujuan dalam konseling realitas terdapat delapan prosedur konseling yaitu:
Berpokus pada personal
Prosedur utama adalah mengkomunikasikan perhatian konselor kepada konseli, perhatian itu ditandai dengan adanya hubungan hangat dan pemahamannya ini merupakan kunci keberhasilan konseling Glasser beranggapan perlunya keterlibatan (involvement) yang maknanya sama dengan empati dalam pengertian yang dikemukakan Rogers. Keterlibatan yang dicapai konselor dapat menjadi fungsi kebebasan, tanggung jawab dan otonomi pada konseli.
Berfokus Pada Perilaku
Konseling realitas berfokus pada perilaku tidak pada perasaan dan sikap. Hal ini menurut Glasser karena perilaku dapat diubah dan dapat dengan mudah dikendalikan jika dibandingkan dengan perasaan atau sikap. Konselor dapat meminta konseli untuk "melakukan sesuatu menjadi lebih baik" dan bukan meminta konseli "merasan yang lebih baik". Melakukan yang lebih baik pada akhirnya akan dapat merasakan yang lebih baik. Antara perasaan (feeling) dengan perilaku pada dasarnya memiliki hubungan.
Berfokus Pada Saat lni
Konseling realitas memandang tidak perlu melihat masa lalu konseli. Masa lalu tidak dapat diubah dan membuat konseli tidak bertanggung jawab terhadap keadaannya. Konselor tidak perlu melakukan eksplorasi terhadap pengalaman-pengalaman yang irrasional di masa lalunya, hal ini sejalan dengan tujuan konseling menurut Glasser ada tiga tahap, yaitu membantu konseli (1) melihat perilakuhya (yang terakhir) adalah yang tidak realistic; (2) menolak perilaku konseli yang tidak bertanggung jawab; dan (3) mengajarkan cara yang yang terbaik menemukan kebutuhannya dalam dunia riil
Pertimbangan Nilai
Konseling realitas menganggap pentingnya melakukan pertimbangan nilai. Konseli perlu menilai kualitas perilakunya sendiri apakah perilakunya itu bertanggung jawab, rasional, realistik dan benar atau justru sebaliknya. Penilaian peilakunya oleh diri konseli akan membantu kesadarannya tentang dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif atau mencapai identitas keberhasilan.
Pentingnya Perencanaan
Kesadaran konseli tentang perilakunya yang tidak bertanggung jawab harus dilanjutkan dengan perencanaan untuk mengubahnya menjadi perilaku yang bertanggung jawab Konseling realitas beranggapan konseling harus mampu menyusun rencana-rencana yang realistik sehingga tingkah lainnya menjadi lebih baik, menjadi orang yang memiliki identitas keberhasilan. Untuk hal ini konselor bertugas membantu konseli untuk memperoleh pengalaman berhasil pada tingkat-tingkat yang sulit secara progresif.
Komitmen
Perencanaan saja tidak cukup. Perencanaan tidak akan mampu mengubah keadaan perilaku yang tidak bertanggung jawab. Konseli harus memiliki komitmen atau keterikatan untuk melaksanakan rencana itu. Komitmen ditunjukkan dengan kesediaan konseli sekaligus secara riil melaksanakan apa yang direncanakan. Konselor terus meyakinkan konseli bahwa kepuasan atau kebahagiaannya sangat ditentukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencananya.
Tidak menerima dalih
Kendatipun rencana-rencana telah disusun konseli tidak menutup kemungkinan bahwa konseli kesulitan menunaikannya dengan berbagai bentuk adalasan yang kompleks yang mungkin memang begitu kompleks, dalam hal ini sikap yang tepat bagi konselor guna menyikapinya ialah tetap pada komitmen yang telah ia tetapkan sendiri dengan cara menghindari penerimaan dalih atau alasan-alasan yang dikemukakan konseli. Justru saat itu konselor perlu membuat rencana dan membuat komitmen baru untuk melaksanakan upaya lebih lanjut, yaitu pertama konselor tidak perlu menanyakan apa yang menyebabkannya tidak dapat melaksanakan komitmennya, dan yang kedua dan lebih penting adalah menanyakan kepada konseli apa rencananya lebih lanjut dan kapan melaksanakannya.
Menghilangkan hukuman
Hukuman harus ditiadakan, konseling realitas tidak memperlakukan hukuman sebagai teknik pengubahan perilaku. Hubungan menurut Glasser tidak efektif dan justru memperburuk hubungan konseling. Hukuman yang biasanya dilakukan dengan kata-kata yang mencela dan menyakitkan harus ditiadakan, setidaknya dalam hubungan konseling berlangsung. Glasser menganjurkan agar konseli tidak dihukum dalam bentuk apapun dan dibiarkan belajar mendapatkan konsekuensi secara wajar dari perilakunya sendiri.
Peran konselor dalam konseling kelompok realitas
Konseling realitas didasarkan pada antisipasi bahwa konseli menganggap sebagai orang yang bertanggung jawab kepada kebaikan dirinya sendiri. Menerima tanggung jawab ini akan membantu konseli untuk mencapainya sendiri atau menunjukkan kematangannya, oleh karenanya ia harus mempaunyai kepercayaan pada dorongan internalnya sendiri. Konselor dapat memberikan dorongan dengan cara memuji konseli ketiaka ia melakukan tindakan secara bertanggung jawab sebaliknya menunjukkan penolakan jika konseli tidak melakukannya.
Pendekatan reality therapy adalah aktif, membimbing, mendidik dan terapi yang berorientasi pada cognitive behavioral. Metode kontrak selalu digunakan dan apabila kontrak terpenuhi maka, proses dapat diakhiri. Pendekatannya dapat menggunakan “mendorong” atau “menantang”. Jadi pertanyaan “ what” dan “ how ” adadalah kata yang digunakan sedangkan “ why” adalah pertanyaan yang dihindarkan.
References
Adhiputra, N (2015) “konsling kelompok teori dan aplikasi”. Yogyakarta: Media Akademik.
Berg, R., Landreth, G, L., & Fall, K, A., (2006) “group counseling concepts and procedures. Fourth edition New York: Brunner-Routledge
Brown, N.W (1994) “ group counseling for elementary and middle school children”. Connecticut London: Praeger
Corey, G. (2012) “Theory & Practice of Group Counseling”. Eighth Edition. Canada: Cengage Learning
Jacobs, ED.E., Masson, R., Harvill, R., Schimmel, C, J. (2009) “ group counseling strategi and skiils”. Canada: Linda Schreiber-Ganster.
Kurnanto, E. (2013) “ Konseling Kelompok”. Alfabeta. Bandung
Latipun. (2006) “Psikologi Konseling”. Malang: UMM Press
Rusmana, N. (2009) “ Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung: Rizke Press
Sonstegard, M., Bitter, J, R., & Pelonis, P. (2004) “ Adlerian Group Counseling and Therapy Step-by Step. New York: Brunner-Routledge