Pertemuan XIV (Prosedur Standar Operasional pada Konseling Kelompok)

Beragam kegiatan hendaknya disandarkan pada perencanaan yang terintegrasi antara yang satu dengan yang lainya. perencanaan yang terarah dan terukur merupakan titiktolak dan pra-syarat keberhasilan suatu kegiatan tidak terkecuali layanan konseling kelompok, oleh karenanya prosedur standar operasional (POS) layanan konseling pada setting konseling kelompok penting diketahui dan di operasikan, sebagaimana Juntika (2012: 22) menyatakan bahwa prosedur konseling kelompok sama dengan bimbingan kelompok yaitu terdiri dari (1) tahap pembentukan; (2) tahap peralihan; (3) tahap kegiatan; dan (4) tahap pengakhiran. Tahap pembentukan bertema pengenalan, pelibatan dan pemasukan diri, tahap peralihan bertema pembangunan jembatan antara tahap pertama dan tahap ketiga. Tahap kegiatan bertema kegiatan pencapaian tujuan dan tahap pengakhiran bertema penilaian dan tindak lanjut.

Selanjutnya Jacobs et al melalui bukunya “group counseling strategies and skills” (2012: 35 – 36) menyatakan semua kelompok melalui tiga tahapan terlepas dari jenis kelompok atau gaya kepemimpinan tahapan tersebut meliputi: (1) tahap awal (the beginning stage); (2) tahap tengah (the middle) atau tahap kerja (working); (3) dan tahap akhir (the ending) atau penutupan (the ending).

Sementara itu Prayitno (Kurnanto, 2013: 135) membagi tahap konseling kelompok menjadi empat tahap yaitu: (1) pembentukan; (2) peralihan; (3) kegiatan; dan (4) penutupan.

Lebih lanjut Corey (2012: 70 – 71) menyatakan tahapan konseling kelompok terbagi menjadi 6 tahap yaitu: (1) tahap pembentukan (the formation stage); (2) tahap orientasi (the orientation phase); (3) tahap transisi (the transition stage); (4) tahap kerja (the working stage); (5) tahap konsolidasi (the consolidation stage); (6) evaluasi dan tindak lanjut (evaluation and follow-up issues).

Dari beberapa tahapan konseling kelompok yang dikemukakan para ahli di atas terdapat sedikit perbedaan, dalam hal ini penulis tidak bermaksud mengkonfrontasi atau mengkontradiksikan sudut pandang tertentu, sehingga memunculkan persepsi yang paradoks. Berapapun jumlah tahapan yang dikemukakan para ahli tersebut merupakan pemberian bekal kepada guru BK dan atau konselor serta para praktisi untuk menciptakan konseling kelompok menjadi efektif, tepat guna dan tepat sasaran, lebih jauh bagaimana tahapan tersebut memberikan nilai tambah (add value) atas kredibilitas dan mutualisme guru bk dan praktisi itu sendiri.

Megenai tahapan konseling kelompok ini Prayitno (Kurnanto, 2013: 136) memberikan penegasan bahwa tahapan-tahapan konseling kelompok sudah semestinya dipahami dan merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh konselor disamping kompetensi lainnya dalam memberikan layanan terhadap konseli.

Oleh karena perbedaan tersebut tidak harus mendapatkan pertentangan dan tidak mesti harus diperbincangkan lebih lanjut, atau bahkan menjadi thesis dan anti thesis antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini penulis hanya bermaksud mencoba mengeksplorasi dan mengelaborasi tahapan yang dikemukakan oleh Corey dalam bukunya “theory & practice of group counseling” edisi kedelapan dengan tujuan sekedar memperkaya wawasan, adalah suatu keniscayaan dengan mempertimbangkan kearifan okal (Local Wisdom) dalam pelaksanaannya sehingga dapat secara fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kelompok tanpa mengikis nilai-nilai Khas Indonesia.

Adapun tahap-tahap tersebut diuraikan sebagai berikut

Tahap satu: pembentukan (the formation stage)

Pada tahapan pembentukan diawali dengan pembuatan rencana yang dituangkan dalam bentuk rancangan kerja tertulis, memuat tujuan dasar dari kelompok; populasi yang akan dilayani; alasan yang jelas untuk kelompok yaitu kejelasan atas struktur kelompok; cara untuk mewartakan kelompok dan merekrut anggota; penyaringan dan seleksi anggota; ukuran dan durasi kelompok; struktur dan format kelompok apakah tertutup atau terbuka, apakah bertolak pada keinginan anggota atau keterpaksaan; tindak lanjut dan prosedur evaluasi.

Corey (2012: 71) menyatakan bahwa penekanan pada tahap ini ialah bagaimana seorang pemimpin dapat berpikir dengan baik tentang jenis kelompok yang diinginkan serta dapat mempersiapkan diri secara psikologis dalam menciptakan situasi dan kondisi konseling yang efektif, jika harapan, tujuan dan struktur kelompok tidak jelas maka dapat berpotensi pada ketidaknyamanan anggota mengikuti prosesi konseling kelompok.

Selanjutnya Gladding (Supriatna, N (2009: 87) mengklarifikasikan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam melaksanakan proses pembentukan kelompok yakni: (a) rnengembangkan alasan-alasan pembentukan kelompok (developing a rationale for the group; (b) Menentukan format teoretis (deciding on a theoretical format); (c) Menentukan kerangka kerja (practical considerations); (d) Melakukan publikasi kelornpok (publicizingthe group); dan (e) Melakukan persiapan latihan (pretraining) dan (f) melakukan seleksi anggota dan pendamping kelompok ( selection of members and leaders).

Mewartakan kelompok dan merekrut anggota juga sama pentingnya dalam keterlaksanaan konseling kelompok yang efektif, bagaimana mewartakan sebuah kelompok dengan cara yang baik sehingga dapat diterima oleh anggota yang berpotensi hingga membuatnya ketertarikan tersendiri untuk mengikuti kelompok, hal yang dilakukan adalah cukup dengan mengatakan prospektif calon anggota; gambaran, alasan dan tujuan yang jelas tentang kelompok.

Selanjutnya dalam merekrut calon anggota, pembuatan kontak lansung pada calon anggota merupakan cara yang efektif dilakukan misalnya, perencanaan kelompok yang akan dilakukan di sekolah maka pemimpin dapat melakukan kunjungan pribadi ke beberapa kelas untuk memperkenalkan diri dan memberitahu peserta didik tentang kelompok, selain itu pemimpin kelompok juga dapat dapat mendistribusikan formulir aplikasi singkat kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kelompok.

Disamping itu melalui screening memberikan kesempatan bagi pemimpin kelompok untuk mengevaluasi calon anggota dan untuk menentukan pengalaman yang seperti apa yang mereka inginkan dari kelompok, sesi screening juga merupakan kesempatan anggota untuk mengenal pemimpin, jika kesan yang ditangkap oleh calon anggota adalah baik maka anggota cenderung bersemangat untuk mengikuti kelompok, sebaliknya apabila calon anggota menangkap kesan yang kurang baik ini merupakan tugas pemimpin selanjutnya untuk menjadi lebih baik, titik tekan pada sesi screening adalah pertukaran dua arah artinya dapat memastikan bahwa anggota merasa bebas untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan membantu mereka menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan kelompok. 

Berikut beberapa pertanyaan yang Corey pertimbangkan harus ada pada sesi screening yaitu:
  1. Apakah calon terlihat ingin melakukan sesuatu untuk menjadi anggota yang produktif?
  2. Apakah kebutusannya bergabung dalam kelompok dibuat oleh seseorang?
  3. Apakah calon dapat hadir untuk tugas-tugas kelompok?
  4. Apakah calon memiliki selera untuk berada di kelompok guna mencapai apa yang diharapkannya?
  5. Apakah calon bersikap terbuka dan dapat berbagi sesuatu hal yang sifatnya pribadi kepada para anggota?
  6. Bagaimana calon anggota mempunyai kecocokan dengan anggota lain, sehingga kelompok dapat bekerja dengan baik. (Corey, 2012:73)
Selanjutnya Berg, et al (2006: 136) beberapa hal yang harus diperhatikan pada tahap awal dalam melakukan wawancara diantaranya sebagai beeikut:
  1. Mengakses kesiapan para anggota untuk mendapatkan sejumlah pengalaman dari kelompok, anggota harus mempunyai motivasi yang baik untuk mencapai keberhasilan terhadap harapannya.
  2. Memilih anggota yang mempunyai hubungan baik dengan anggota lainnya sekurang kurangnya mereka dapat menjaga hubungan baik dengan sesama, anggota yang dapat menjaga dan mempunyai hubungan baik menjadi langkah awal keberhasilan konseling kelompok.
  3. Memilih anggota yang tidak memiliki kelainan atau memiliki masalah yang terlalu ekstrim bagi anggota kelompok untuk menanganinya. Faktor ini
    dikombinasikan dengan no 2
  4. Menentukan anggota cocok “fit” dalam kelompok. Idealnya secara keseluruhan anggota kelompok cukup heterogen dalam hal kepribadian ( personality dynamics).
Pemilihan anggota sedapat mungkin memerhatikan keseimbangan kelompok sebagaimana Yalom (Corey, 2012: 73) menyatakan dalam settting psikoterapi kelompok lebih mudah mengidentifikasi orang-orang yang harus dikeluarkan daripada mengidentifikasi orang-orang yang dimasukkan ke dalam kelompok. Pemilihan anggota kelompok hendaknya memperhatikan apakah ia dapat melakukan sesuatu untuk tujuan kelompok, hal yang paling penting dalam memilih anggota adalah apakah ia dapat bekerjasama dengan kelompok karena kearifan pemilihan ini menyangkut kebaikan dirinya dan juga kelompok.

Keseimbangan anggota kelompok hendaknya juga diperhatikan guna menjaga tingkat kenyamanan para anggota itu sendiri, tingkat kenyamanan tersebut merupakan sinyal; para anggota bahwa mereka siap mengikuti kelompok. Kurnanto, E (2013: 147) megemukakan jumlah anggota kelompok dapat berkisar antara 5 hingga 10 orang, tetapi jumlah yang ideal untuk kelompok terapi interaksional adalah 7 atau 8 orang.

Hal-hal yang harus diperhatikan guna mengatisipasi masalah-masalah praktis dalam pembentukan kelompok sebagaimana dikemukakan Corey (2012: 74 – 76) diantaranya sebagai berikut:

1. Apakah Jenis kelompok terbuka dan tertutup

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam tahap pembentukan kelompok adalah membuat kesepakatan tentang jenis kelompok, apakah kelompok tertutup atau terbuka hal tersebut perlu dibicarakan sebelum kelompok bertemu, kedua jenis kelompok ini mempunyai keuntungan tersendiri, pada kelompok tertutup tidak ada penambahan anggota baru karena jenis kelompok ini menawarkan kestabilan yang membuat keberlansungan serta mendorong satu kesatuan antara anggota kelompok, jika terlalu banyak anggota yang putus dalam kelompok tertutup akan sangat berpengaruh terhadap proses kerja kelompok itu sendiri.

Sebaliknya dalam kelompok terbuka, anggota baru dapat masuk ke dalam kelompok dengan menempati tempat anggota yang meninggalkan kelompok tersebut, kelemahan dari jenis kelompok terbuka ialah anggota baru mungkin merasa sulit untuk menjadi bagian dari kelompok karena tidak mengetahui apa yang telah dibahas sebelum mereka bergabung, kelemahan lainnya ialah dengan mengubah keanggotaan kelompok dapat memiliki efek buruk pada kohesi kelompok, oleh karenanya jika hal ini diperlukan pemimpin perlu mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk mempersiapkan anggota baru dan membantu mereka menjadi terintegrasi dengan kelompok. Jenis kelompok hendaknya juga memperhatikan situasi dan kondisi kapan, dimana dan siapa yang menjadi anggota dan pemimpin kelompok.

2. Apakah anggota terdiri dari atas kemauannya sendiri atau sebaliknya

Keanggotaan yang bergabung atas dasar kemauannya sendiri mempunyai peluang sukses dalam kegiatan kelompok tersebut karena mereka telah menemukan hakikat pertemuan kelompok yaitu merubah diri menjadi lebih baik, sebaliknya mereka yang bergabung karena di suruh atau diperintahkan Corey (2012: 74) menyatakan keanggotaan yang dikirim oleh seseorang atau diperintahkan oleh seseorang sering kali meminimalkan peluang sukses. Ditinjau dari kesiapan secara psikologis maka anggota yang bergabung atas dasar kemauan sediri cenderung lebih siap daripada anggota yang diperintahkan.

3. Apakah kelompok terdiri atas homogenitas atau heterogenitas

Homoginitas disini sebagaimana yang dimaksudkan Corey (2012: 75) yaitu kesamaan jenis seperti usia, kelompok untuk anak-anak; remaja atau orang tua, homoginitas lainnya seperti keanggotaan yang terdiri dari kepentingan yang sama atau masalah yang sama, kelompok jangka pendek biasanya ditandi dengan keanggotaan homogenitas, focus dalam kelompok homogenitas yaitu mendorong kohesifitas masalah kelompok dengan berbagi pengalama dan belajar dari satu sama lain.

Sementara itu Supriatna, N. (2009: 6) menegaskan dalam setting kelompok siswa homoginitas atau kesamaan permasalahan siswa tidaklah begitu penting karena siswa melakukan proses pembelajaran suatu medode (misalnya solusi terfokus, pemecahan masalah, kognitif-behavioral) diaman berbagai masalah dapat dibahas. Siswa juga mempelajari bahwa metode yang terpilih dapat diterakan pada situasi lain yang mungkin mereka hadapi.

Lebih lanjut Berg et al (2006: 8) menyatakan seorang konselor harus mengetahui dasar keefektifan konseling kelompok, para anggota mungkin saja ada yang merasa tidak nyaman masuk dalam kelompok yang akhirnya mereka akan kesulita berinvestasi secara emosional dalam kelompok.

4. Tempat pertemuan

Sangat penting menemukan tempat yang memungkinkan untuk interaksi tatap muka, pengaturan privasi dan daya tarik tempat menjadi faktor pendukungnya dengan tetap memperhatikan mobilitas sosial dilingkungan sekitar, pengaturan tersebut akan berpengaruh terhadap kohesifitas kelompok, yang perlu dilakukankan adalah memastikan bahwa tempat tersebut dapat digunakan, pemilihan tempat pertemuan hendaknya mempermudah pemimpin dan anggota dalam melakukan pekerjaan yang mendalam

5. Ukuran kelompok

Ukuran kelompok seyogyanya memperhatikan faktor-faktor seperti usia, pengalaman konselor dan jenis masalah, faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah apakah kelompok terdiri dari satu pemimpin atau lebih, Corey (2012: 75) memberikan penegasan untuk ukuran kelompok yang terdiri dari sekitar delapan orang dewasa akan lebih baik memiliki satu orang pemimpin namun jika anggota kelompok terdiri dari anak-anak maka tiga atau empat pemimpin menjadi ukuran yang baik.

6. Frekuensi dan durasi pertemuan

Frekuensi dan durasi pertemuan seberapa sering kelompok harus bertemu dan untuk berapa lama, masalah-masalah ini juga bergantung pada jenis kelompok hingga pada batas waktu tertentu, Corey (2012: 75) menjelaskan bahwa sekali seminggu adalah format khas untuk sebagian besar kelompok konseling, kelompok yang terdiri dari anak-anak dan remaja akan lebih baik sering bertemu dengan memperpendek sesi pertemuan sementara kelompok yang terdiri dari orang dewasa yang bekerja yaitu dua jam perminggu dengan sesi yang relative, kendatipun demikian Corey memberikan penekanan kepada konselor bahwa, bagi pekerja yang menghendel banyak tugas seperti pada umumnya tidak harus memenuhi pertemuan mingguan karena boleh jadi meninggalkan (terkait pekerjaannya dikator dsb) akan membawa masalah baru yang berefek pada keefektifan kelompok. Dengan kata lain frekuensi dan durasi pertemuan bervariasi dan fleksibel yang disesuikan dengan kebutuhan anggota Sementara itu Berg et al (2006: 218) umumnya konseling kelompok mengadakan pertemuan satu kali dalam seminggu namun yang lebih penting adalah bagaimana seorang pemimpin dapat menentukan efek dari berbagai jumlah waktu antara sesi dalam konseling kelompok tersebut, karena jumlah waktu juga  merupakan faktor pendukung keefektifan konseling kelompok itu sendiri.

Selanjutnya Jacobs, et al (2012: 78: untuk sebagian besar kelompok tahap pemanasan biasanya kurang dari 10 menit dan tidak boleh lebih dari 15 menit, kecuali untuk sesi pertama dimana tahap pemanasan sangat diperlukan, bagi kelompok siswa sekolah sesi dapat berlangsung antara 30 samapi 40 menit sedapat mungkin konselor dapat mengawali dengan singkat agar memiliki waktu interaksi yang berkualitas selama fase tengah.

7. Jangka pendek atau jangka penjang

Adalah bijaksana untuk menetapkan tanggal terminasi pada awal kelompok tertutup sehingga anggota memiliki gagasan yang jelas tentang komitmen mereka, penetapan jangka pendek atau jangka penjang bergantung pada jenis kelompok, populasi/ jumlah, dan kesehatan fisik.

Fungsi dan kemungkinan masalah anggota sebelum bergabung pada kelompok, individu harus memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk membuat keputusan tentang partisipasi mereka. Anggota harus aktif dalam proses pembuatan keputusan kelompok seperti apakah kelompok itu tepat untuknya.

Berikut beberapa hal yang dikemukakan Corey (2012: 79) berkaitan dengan peran anggota pada tahap pembentukan:
  1. Anggota harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang sifat kelompok, serta dapat memahami dampak kelompok untuk dirinya
  2. Anggota harus mengetahui jenis kelompok yang sesuai untuk dirinya saat sekarang
  3. Para anggota mendapatkan manfaat dapat mempersiapkan diri untuk kelompok berikutnya dengan berpikir tentang apa yang mereka inginkan dari pengalamannya yang pernah bergabung dalam kelompok.
Masalah bisa muncul jika angota dipaksa untuk bergabung pada kelompok, anggota tidak memiliki cukup informasi tentang sifat kelompok, anggota pasif dan tidak memikirkan tentang apa yang mereka inginkan atau apa harapan mereka terhadap kelompok. (Corey 2012: 79)

Tugas utama pemimpin kelompok selama tahap pembentukan kelompok diantaranya
  1. Mengidentifikasi tujuan umum dan khusus dari kelompok
  2. Membuat rencana kerja yang ditungkan dalam bentuk rancangan kerja tertulis untuk pembentukan kelompok
  3. Mengumumkan kelompok dengan cara memberikan informasi yang memadai kepada calon kelompok
  4. Melakukan wawancara pra-kelompok untuk tujuan screening/ penyaringan dan orientasi
  5. Membuat keputusan tentang pemilihan anggota
  6. Mengatur rincian yang praktis yang diperlukan untuk memulai sebuah kelompok yang sukses
  7. Mendapatkan izin orang tua (jika diperlukan)
  8. Mempersiapkan tugas dan menemukan co-konselor yang sesuai dengan kelompok
  9. Pengaturan sesi awal untuk berkenalan dan mempersipkan anggota untuk masuk pada kelompok yang sukses
  10. Membuat ketentuan untuk izin tertulis dan mengeksplorasi dengan peserta bentuk-bentu resiko yang berpotensi berdasarkan pengalaman kelompoknya. (Corey, 2012: 79)
Selanjutnya Prayitno (Kurnanto, E. 2013: 139 140) mengemukakan bahwa peranan konselor kelompok pada tahap awal konseling kelompok adalah sebagai orang yang benar-benar dapat dan bersedia melakukan hal-hal berikut:
  1. Membantu para konseli dalam mencapai tujuan mereka. Konseor harus mendedikasikan diri sepenuhnya untuk membantu konselinya. Dalam hal ini, konselor kelompok perlu: (a) menjelaskan tujuan umum yang ingin dicapai dalam kegiatan konseling kelompok; (b) menjelaskan cara-cara yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan; (c) memperkenalkan diri agar kegiatan kelompok berjalan dengan lancar; (d) memperlihatkan komunikasi yang menghargai konseli dan (e) menampilkan ketulusan hati, kehangatan, dan empati kepada para konseli. Penampilan konselor kelompok diharapkan dapat menjadi contoh bagi konseli dalam mengikuti kegiatan konseling kelompok.
  2. Merangsang dan memantapkan partisipasi anggota-anggota dalam suasana kelompok seperti yang diharapkan.
  3. Membangkitkan minat dan kebutuhan serta rasa pentingnya anggota-konseli untuk mengikuti kegiatan konseling kelompok yang akan diikutinya.
  4. Menumbuhkan sikap kebersamaan dan perasaan sekelompok.
  5. Merangsang dan memberi semangat semua konseli untuk ikutserta dan bertanggung jawab dalam kegiatan konselingkelompok.
  6. Menjelaskan tentang asas-asas yang perlu diikuti konseli, yakni asas: (a) kerahasiaan, (b) kesukarelaan, (c) keterbukaan, (d) kegiatan, dan (e) kenormatifan sebagai pedoman bagi mereka untuk mengarahkan peranannya dalam pencapaiantujuan bersama.
  7. Menumbuhkan rasa saling mengenal antar sesama konseli.
  8. Menumbuhkan sikap saling percaya dan saling menerima antar sesama konseli.
  9. Memulai pembahasan tentang tingkah laku dan suasana perasaan anggota-anggota dalam kelompok.

Simpulan tahap pembentukan

Banyak kelompok yang mempunyai fondasi yang jelek pada tahap awal, dicerminkan pada label penolakan “resistance” dari para anggota, hal tersebut
merupakan hasil dari kegagalan pemimpin untuk memberikan orientasi yang memadai. Sifat dan ruang lingkup persiapan pra kelompok ditentukan terutama oleh jenis kelompok, namun unsur umum dapat diatasi pada kebanyakan kelompok seperti harapan anggota dan pemimpin, dasar prosedur kelompok, kesalahpahaman tentang kelompok, keunggulan dan keterbatasan partisipasi kelompok, persiapan ini dapat dimulai di screening individu dan dapat dilanjutkan selama sesi awal. Meskipun membangun persiapan pra-kelompok kedalam desain kelompok membutuhkan usaha yang cukup, waktu yang digunakan tersebut merupakan bentuk persiapan dan upaya mengatasi hambatan-hambatan yang berpotensi untuk kemajuan kelompok yang dihindari dengan perencanaan dan persiapan yang matang. (Corey, 2012: 80)

Tahap dua: orientasi dan eksplorasi

Menemukan sebuah identitas dalam kelompok dan menentukan sejauh mana anggota menjadi anggota kelompok yang aktif merupakan tugas utama pada tahapan ini sebagaimana Corey (2012: 80) pada tahap orientasi dan eksplorasi anggota akan bertanya pada dirinya tentang beberapa kemungkinan pertanyaan berikut:
  1. Apakah saya diterima atau ditolak di kelompok ini?
  2. Berapa banyak yang harus saya ungkapkan tentang diri saya?
  3. Berapa banyak resiko yang saya ambil?
  4. Seberapa amannya jika saya mengambil resiko?
  5. Apakah saya dapat mempercayai orang ini?
  6. Apakah saya cocok bergabung pada kelompok ini?
  7. Siapa yang membuat saya tertarik bergabung dan siapa yang membuat aku tidak tertarik untuk bergabung?
  8. Apakah saya dapat menjadi diri saya sendiri dan di saat yang sama menjadi bagian dari kelompok?
Corey (2012: 80 – 81) mengklarifikasikan dua faktor fondasi kelompok–kepercayaan pertama membangun kepercayaan dan menjaga kepercayaan. Membangun kepercayaan adalah penting untuk pengembangan lebih lanjut dari kelompok. Tanpa kepercayaan interaksi kelompok akan dangkal. Interaksi diri akan menyempit, tantangan yang konstruktif dari anggota tidak akan terjadi, dan kelompok akan berjalan di bawah hambatan perasaan yang tersembunyi. Adalah kekeliruan berasumsi bahwa para anggota secara alami “naturally” percaya satu sama lain segera setelah mereka bergabung pada kelompok. Bagaimana mungkin mereka bisa mengetahui bahwa kelompok akan menawarkan iklim, lebih menerima dan lebih aman daripada masyarakat pada umunya, Corey (2012: 81) memberikan pandangan bahwa pemimpin harus dapat menunjukkan kepada aggota bahwa kelompok merupakan tempat yang aman dimana anggota dapat mengungkapkan tentang diri mereka, dengan mendorong mereka berbicara tentang faktor-faktor yang menghambat kepercayaan mereka.

Seorang pemimpin juga harus berbicara tentang hal-hal seperti hak-hak peserta, perlunya kerahasiaan, keragaman yang ada dalam kelompok dan menghormati orang lain menunjukkan bahwa pemimpin memiliki sikap yang serius terhadap kelompok dan menghargai hak-hak individu jika pemimpin terlihat peduli dengan para anggota maka, para anggota cenderung juga akan peduli dan melibatkan dirinya, dan keterlibatan dirinya merupakan nilai tambah kesuksesan kelompok.

Seorang pemimpin hendaknya juga dapat menjaga kepercayaan para anggotanya mungkin ada beberapa anggota dengan cepat memberikan solusi kepada permasalahan setiap orang, tugas pemimpin adalah memastikan bahwa problem solving intervnentions tidak akan menjadi pola dalam kelompok, anggota yang memberikan solusi tersebut mendatangkan kesan yang tidak bagus bagi anggota lainnya. anggota lainnya cenderung akan mengendapkan pemikirannya kepada mereka yang terlalu cepat memberikan solusi untuk masalah setiap orang. Jika hal ini harus terjadi seorang pemimpin harus dapat menjelaskan kepada para anggota bahwa hal tersebut dapat diterima sebagai upaya pengungkapan berbagai perasaan dan kelompok sebagai akomodasinya. (Corey 2012: 82)

Selanjutnya Supriatna, N. (2009: 6) mengaskan bahwa “…konseling kelompok bukanlah tentang memberikan saran kepada orang lain, anggota kelompok memberikan perspektif mereka sendiri; dan perspektif ini bisa saja ada informasi dan strategi coping yang dipandang bermanfaat oleh anggota kelompok.

Sementara itu Jacobs. et.al (2012: 80) mengemukakan apabila diketahui bahwa tingkat kepercayaan para anggota rendah maka, tingkat kepercayaan tersebut dapat ditingkatkan dengan cara melakukan kegiatan sharing pribadi. Atmosfer kepercayaan kelompok juga dipengaruhi oleh perasaan negatif anggota yang sering terjadi pada tahap awal menuju pada anggota lainnya bahkan kearah pemimpin, ini merupakan titik balik yang penting dalam kelompok, kepercayaan bisa hilang dan dapat ditingkatkan bergantung pada cara dimana konflik dapat diatasi. Jika konflik dapat dibawa keperasaan terbuka dan dapat mendengarkan yang tidak membela diri non defensively ada kesempatan baik situasi tersebut dapat diubah.

Peran anggota dan tugas-tugas penting anggota untuk membentuk kelompok yang efektif sebagaimana dikemukakan Corey (2012: 85) sebagai berikut:
  1. Mengambil tindakan aktif guna menciptakan iklim kepercayaan
  2. Belajar untuk mengekspresikan perasaan dan jalan pikiran seseorang, terutama karena mereka berhubungan dengan interaksi pada sebuah kelompok
  3. Bersedia mengungkapkan kekhawatiran, harapan dan keprihatinan tentang kelompok
  4. Bersedia dirinya di ketahui orang lain dalam kelompok
  5. Terlibat dalam penciptaan norma kelompok
  6. Menetapkan tujuan pribadi, dan tujuan khusus yang akan mengatur partisipasinya dalam kelompok
  7. Mempelajari dasar-dasar proses kelompok, terutama bagaimana untuk terlibat dalam interaksi dalam kelompok.
Sementara itu beberapa masalah yang dapat timbul dari anggota
  1. Anggota menunggu secara pasif “something to happen.”
  2. Anggota meredam perasaan mereka sendiri atas ketidakpercayaan, ketakutan yang berkaitan dengan kelompok, dengan demikian mereka membiarkan hambatan mereka sendiri
  3. Anggota menjaga diri agar tetap menjadi kabur dan tidak dapat diketahui, sehingga makna interaksinya sulit difahami
  4. Para anggota tergelincir pada “problem-solving”
Selanjutnya Jacobs et al (2012: 91) menyatakan sesi pertama dan kedua dari kelompok manapun seringkali menjadi paling penting dan biasanya yang paling sulit untuk menjalaninya, kesulitan pada sesi pertama dikarenakan pemimpin mempunyai keberbedaan dinamika “different dynamics” untuk mengelolah kelompok tersebut seperti memulai kelompok; memperkenalkan anggota; memperkenalkan konten kepada para anggota; dan pemantauan reaksi para anggota.

Tugas utama pemimpin pada tahap orientasi dan ekpslorasi dalam sebagaimana Corey (2012: 86) ialah
  1. Mengajar para anggota beberapa pedoman umum dan cara-cara untuk berpartisipasi aktif yang akan meningkatkan peluang mereka memiliki kelompok yang produktif
  2. Mengembangkan aturan dasar dan pengaturan norma-norma
  3. Mengajari para anggota dasar-dasar proses kerja kelompok
  4. Membantu anggota mengekspresikan ketakutan dan harapan mereka menuju pengembangan kepercayaan
  5. Sebagai model modelling dan sebagai fasilitator terapi perilaku the facilitative dimensions of therapeutic behavior
  6. Bersikap terbuka dengan anggota
  7. Mengklarifikasi pembagian tanggung jawab
  8. Membantu anggota menetapkan tujuan pribadi
  9. Menangani secara terbuka pertanyaan dan keprihatinan para anggota
  10. Memberikan penataan yang baik kepada para anggota
  11. Membantu anggota untuk berbagi apa yang mereka pikirkan dan rasakan tentang apa yang terjadi dalam konteks kelompok disini dan sekarang here-and-now group context
  12. Mengajari dasar keterampilan interpersonal seperti mendengarkan secara aktif dan memberikan respon
  13. Menilai kebutuhan kelompok dan memfasilitasinya sehingga kebutuhan terpenuhi

Tahap tiga: Transisi

Kegelisahan pada tahap transisi umumnya ditandai dengan meningkatnya kecemasan dan sikap defensif. Para peserta mengartikulasikan kecemasan mereka dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan yang diarahkan untuk dirinya sendiri atau kepada kelompok sebagaimana dikemukakan oleh Corey (2012: 87) sebagai berikut:
  1. Saya ragu apakah orang-orang ini benar-benar memahami saya dan apakah orang-orang ini memperdulikan saya?
  2. Saya tidak tahu berapa banyak kesamaan saya dengan orang-orang disini, saya tidak yakin saya akan mengerti
  3. Seberapa baiknya saya menceritakannya di sini, karena saya sudah mencobanya diluar kelompok ini, saya tidak ingin kekecewaan itu terulang lagi
  4. Bagaimana jika saya kehilangan control? Bagaimana jika saya menangis?
  5. Saya melihat diri saya berdiri di depan pintu tapi takut untuk membukanya karena takut apa yang saya temukan dibalik itu. Saya takut untuk membuka pintu karena setelah saya membukanya saya tidak yakin saya bisa menutupnya lagi.
  6. Seberapa dekat saya dengan orang-orang di kelompok ini, dan apakah saya bisa mempercayai orang-orang ini memahami perasaan terdalam yang saya rasakan. Corey (2012: 87)
Tahap transisi merupakan tahap dimana terjadinya konflik dalam kelompok. Konflik yang terjadi dalam kelompok tersebut dikarenakan adanya kekhawatiran
anggota kelompok dalam memasuki proses konseling. Pada tahap kekacauan ini anggota pada awalnya khawatir melakukan interaksi dengan anggota lain, kekhawatiran ini biasanya berkaitan dengan rasa takut akan kehilangan control, salah pengertian, terlihat bodoh, atau ditolak. Beberapa anggota menghindari resiko dengan bersikap diam sementara beberapa nggota lain yang ingin mendapatkan posisi dalam kelompok bersifat terbuka dan mempengaruhi anggota kelompok yang lain.

Kegagalan dalam mengatasi kekacauan ini akan berakibat pada terhentinya prose konseling. Gladding (Supriatna, N. 2009: 91) seorang konselor perlu melakukan langkah antisipasi aktif dalam upaya mengatasi kekacauan diantaranya melalui (1) peningkatan hubungan anggota kelompok (peer relationship): konselor perlu menunjukkan mengembangkan kepemimpinan dan menunjukkan kekuasaan yang terbuka dan asertif. Melalui peningkatan hubungan diharapkan para anggota focus pada isi dan pesan kelompok yang pada gilirannya tercapai saling pengertian. (2) Resistensi : resistensi didefinisikan sebagai perilaku kelompok menghindari daerah yang tidak nyaman dan situasi konflik. Bentuk resistensi itu sendiri terbagi atas dua macam yaitu langsung dan tidak langsung. Resistensi langsung diantaranya intelektualisasi; pertanyaan (questioning); memberikan nasehat; (giving advice); menghalangi orang lain (bad aiding); ketergantungan (dependency). Sedangkan resistensi tidak langsung diantaranya memonopoli (monopolizing); dan melawan pimpinan ( attack on the leader). (3) Task Processing dapat dilakukan dengan melalui tiga cara pertama proses loveling (process of leveling) yaitu anggota dimotivasi untuk dapat berinteraksi secara terbuka dan bebas; ke-dua menyadarkan anggota bahwa kekacauan dalam kelompok merupakan hal yang wajar; ke-tiga meminta umpan balik dari anggota mengenai kondisi mereka saat ini dan apa yang mereka pikir perlu dilakukan.

Fungsi anggota dan kemungkinan masalah sentral yang berupa pembelaan diri pada tahap transisi diantaranya sebagai berikut:
  1. Mengenali dan mengekspresikan berbagai prasaan dan pikiran
  2. Menghargai upaya mereka yang belum di eksplorasikan ke dalam kelompok
  3. Berpindah dari ketergantungan menuju kemandirian
  4. Meningkatkan tanggung jawab atas keberadaan mereka dalam kelompok
  5. Belajar menghadapi orang lain dengan cara yang konstruktif
  6. Bersedia menghadapi segala bentuk yang terjadi dalam kelompok
  7. Dapat dan bersedia menghadapi konflik daripada menghindarinya
  8. Anggota dapat mengkategorikan tipe masalah “problem type
  9. Anggota dapat menolak untuk tidak mengekspresikan reaksi negatif yang berkontribusi terhadap iklim ketidakpercayaan
  10. Jika konfrontasi terlihat jelek anggota dapat menarik mundur
  11. Anggota dapat mengidentifikasikan kambing hitam untuk memproyeksikan perasaan mereka sendiri
  12. Anggota dapat beradu dengan membentuk sub kelompok dan kelompok. Corey (2012: 93 – 94)
Selanjutnya tantangan utama fungsi pemimpin selama fase transisi adalah diperlukannya campur tangan dalam kelompok dengan cara yang tepat dan pada waktu yang tepat, tugas dasarnya adalah mendorong anggota atas tantangannya menghadapi dan menyelesaikan konflik yang ada dalam kelompok serta melunakkan pertahanan kecemasan para anggota

Tugas utama yang harus dilakukan pemimpin kelompok sebagaimana yang dikemukakan Corey (2012: 94) sebagai berikut:
  1. Ajarkan kepada anggota kelompok pentingnya mengenali dan mengekspresikan kecemasan mereka disini dan sekarang “here-and-now”
  2. Membantu para anggota mengenali kapan mereka bereaksi defensif defensively dan kapan mereka menghadapi resistensi resistances secara terbuka
  3. Ajari kepada anggota nilai-nilai dalam menghadapi konflik secara terbuka dalam kelompok
  4. Kemukakan perilaku yang merupakan manifestasi perjuangan untuk mengontrol, dan mengajarkan anggota bagaimana bisa menerima bagian tanggung jawabnya yang mengarah pada tujuan kelompok
  5. Membantu anggota kelompok dalam menangani setiap masalah yang akan mempengaruhi mereka untuk menjadi mendiri dan lebih baik
  6. Mengingatkan anggota tentang apa yang mereka harapkan dari kelompok
  7. Memberikan contoh atau menjadi model yang berhadapan langsung dengan anggota sebagai pribadi yang jujur, dan professional
  8. Terus memantau reaksi sendiri terhadap anggota yang menampilkan tingkah laku yang salah

Tahap empat: Tahap kerja: cohesion and productivity

Karakteristik keefektifan kelompok kerja

Tahap empat ditandai dengan produktivitas yang dibangun di atas karya yang efektif yang di lakukan pada tahap awal dan tahap transisi. Pada tahap ini mereka telah menjadi satu kesatuan dalam sebuah kelompok, mereka kurang bergantung pada pemimpin, cenderung mempunyai kebersamaan dan peningkatan eksplorasi diri, dan memfokuskan pada hasil kerja, karakteristik pada tahapan ini sebagaimana (Corey, 2012: 99) diantaranya sebagai berikut:
  1. Konsentrasi pada di sini dan sekarang here-and-no. para anggota kelompok telah dapat berbicara secara langsung dalam kelompok tentang apa yang
    mereka rasakan dan apa yang mereka lakukan; berbicara tentang sesama dan bukan tentang satu dari yang lainnya; mereka lebih memperhatikan apa yang terjadi di dalam kelompok daripada cerita tentang orang di luar kelompok; ketika masalah yang terjadi di luar dibesarkan, mereka menghubungkannya kedalam masalah yang ada dalam kelompok.
  2. Anggota lebih mudah mengidentifikasi tujuan dan keprihatinan mereka dan anggota dapat mempertanggung jawabkannya; mereka telah mengetahui dengan jelas tentang kelompok dan harapn pemimpin terhadap mereka.
  3. Anggota bersedia bekerja dan berlatih di luar kelompok guna mencapai perubahan perilaku; mereka melakukan sejumlah latihan di luar kelompok “ homework assignments” mereka membawa kesulitan mereka ke dalam sesi dan mereka telah menerapkan cara berpikir, berperasaan dan berperilaku yang baru, mereka bersedia mencoba mengintegrasikan pikiran, emosi, dan perilaku dalam situasi sehari-hari mereka, mereka mampu menangkap ketika mereka berpikir dan berperilaku dalam pola yang lama
  4. Sebagian besar anggota merasa bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok yang merupakan satu kesatuan yang kokoh.
  5. Tahapan ini bagaikan pertunjukkan orkestra di bawah individu yang mendengarkan satu sama lain serta dapat melakukan pekerjaan yang produktif bersama-sama; meskipun peserta mungkin masih melihat kepada pemimpin sebagai konduktor penghantar isyarat dan arah namun mereka juga dapat memulai arah kemana mereka harus berpindah.
  6. Mereka terus mengakses tingkat kepuasan mereka terhadap kelompok, dan mereka mengambil langkah-langkah aktif untuk mengubah hal-hal jika mereka melihat bahwa sesi perlu di ubah. Dalam kelompok yang produktif para anggota menyadari bahwa mereka mendapatkan hasil dari kerja dan apabila mereka tidak mendapatkannya mereka akan mengatakannya.
Sementara itu Natawidjaja (Kurnanto, E. (2013: 160 – 161) menjelasakan bahwa konseling kelompok pada tahap kegiatan meliputi diskusi, saling berbagi
pendapat dan pangalaman, memecahkan masalah atau tugas-tugas. Pada kegiatan ini saatnya para anggota berpartisipasi untuk menyadari bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kehidupan mereka.

Lebih lanjut Gladding (Supriatna, N (2009: 95 – 96) terdapat enam tahapan dalam fase kerja yakni: (a) Peer Relationship (b)Task Processing During the working Stage (c) Teamwork and Team Building During the Working Stage (d)Problems in the Working Stage of Groups (e) Strategies for Assisting Groups in the Working Stage (f) Outcomes of the Working Stage. Peserta lebih akrab setelah masalah dipecahkan. Perasaan empati, keharuan, perhatian penuh, dan kedekatan emosional kelompok berangsur-angsur tumbuh. Keterpaduan dan kekompakan biasanya bertambah dalam kelompok. Hal ini sebagai akibat interaksi antar anggota kelompok dan pemahaman masing-masing anggota kelompok yang lebih baik. Hal lain yang berpengaruh terhadap hubungan antar anggota kelompok adalah keterbukaan diri ( self disclosure). Keterbukaan diri merupakan aktivitas multi dimensional. Keterbukaan diri meliputi mendengar dan menerima umpan balik dan juga berbicara. Keterbukaan diri dihubungkan dengan banyak faktor lain seperti tipe kelompok, tingkat penyingkapan yang lain, norma kelompok, dan timing atau ketepatan waktu.

Faktor terapeutik konseling kelompok sebagaimana dikemukakan Corey, (2012: 100 – 104) hal-hal berikut:
  1. Kepercayaan dan penerimaan (Trust and Acceptance)
  2. Empati dan kepedulian (Empathy and Caring)
  3. Keakraban (Intimacy)
  4. Harapan akan perubahan (Hope If change is to occur)
  5. Kebebasan untuk bereksperimen (Freedom to Experiment)
  6. Katarsis (penyucian diri) Catharsis
  7. Restrukturisasi kognitif (Cognitive Restructuring)
  8. Komitmen untuk berubah (Commitment to Change)
  9. Pengungkapan diri (Self-Disclosure)
  10. Konfrontasi (Confrontation Like self-disclosure).

Fungsi anggota dan kemungkinan masalah pada tahap kerja

Untuk mencapai kesuksesan pada tahap kerja, Corey, (2012: 109) menyatakan para anggota harus dapat memenuhi peran dan tugas-tugas berikut:
  1. Anggota bersedia membawa masalah mereka ke dalam kelompok
  2. Memberikan umpan balik pada orang lain dan terbuka menerima hal tersebut
  3. Saling berbagi dan bagaimana kerja mereka dipengaruhi oleh kehadiran orang lain dalam kelompok
  4. Mempraktekkan kemampuan dan perilaku yang baru ke dalam kehidupannya sehari hari dan membawa hasilnya ke dalam sesi
  5. Mengakses secara kontinu tingkat kepuasan mereka dengan kelompok dan secara aktif mengambil langkah-langkah untuk mengubah tingkat keterlibatan mereka dalam sesi.

Beberapa masalah yang bisa muncul pada tahap ini diantaranya

  1. Anggota memperoleh wawasan ketika berada dalam sesi namun tidak terlihat bahwa mereka perlu melakukan tindakan di luar kelompok untuk membawa perubahan.
  2. Anggota menarik diri setelah pengungkapkan diri secara intensif karena ketidaknyamanannya dengan anggota lain.
  3. Anggota berlindung dari pengamatan orang lain. (Corey, 2012: 109)
Sementara itu Supriatna, N (2006: 97) beberapa strategi yang dapat digunakan dalam fase kerja diantaranya sebagai berikut: (a) Modeling; (b)Exercises; (c) Group Observing Group; (d) Brainstorming; (e) Nominal- Group Technique (j) Synectics; (g) Written Projections; (h) Group Processing. Modeling adalah metode yang digunakan untuk mengajarkan perilaku yang kompleks pada anggota kelompok dalam periode waktu yang singkat dengan cara menyalin (copying) atau mencontoh (imitating). Modeling sangat tergantung pada timing, reinforcement (penguatan) dan banyaknya umpan balik positif yang diterima.

Mengenai modeling ini Sutja, A (2016: 66) memberikan penguatan bahwa modeling merupakan teknik TT dengan penyajian percontohan kepada klien tentang bagaimana melakukan sesuatu atau bagaimana sesuatu itu terjadi, dengan melihat, mengobservasi atau mengamati orang lain, dengan melakukan sesuatu akan mendatangkan pemahaman klien yang pada gilirannya akan dapat mengubah perilakunya. Selanjutnya exercise digunakan oleh pimpinan kelompok untuk menghubungkan keadaan (a) apakah latihan direncanakan tierlebih dahulu untuk digunakan dalam kelompok; (b). kapan latihan digunakan.

Fungsi pemimpin kelompok pada tahap kerja sebagaimana dikemukakan Core (2012: 109) hal-hal berikut:
  1. Memberikan penguatan “reinforcement” kepada para anggota tentang hal yang mendukung kohesifitas kerja yang produktif dalam kelompok.
  2. Mencari tema umum “common themes” secara universal dengan mempertimbangkan pekerjaan para anggota
  3. Selalu pada permodelan perilaku yang tepat terutama memperdulikan confrontasi; reaksi pengungkapan diri; dan persepsi para anggota
  4. Manafsirkan pola perilaku yang tepat pada waktu yang tepat yang memungkinkan para anggota mampu mencapai tingkat yang lebih dalam pada pengeksplorasian diri.
  5. Memahami faktor-faktor terapeutik yang mendukung seperti membantu para anggota melakukan perubahan pada pikiran, perasaan dan tindakannya.

Tahap lima: tahap akhir: Consolidation and Termination

Salah satu keterampilan pemimpin kelompok yang sangat penting dalam menciptakan sebuah kelompok yang berkembang dan bergerak menuju tahap akhir adalah kemampuan untuk membantu para anggota mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam kelompok dan membawanya ke lingkungan luar mereka. Menerapkan pelajaran yang didapat dari masing-masing tahapan kedalam kehidupannya sehari-hari.

Selanjutnya Corey, (2012: 113) mengklarifikasikan karakteristik pada tahap akhir yang ditandai dengan hal-hal berikut:
  1. Memungkinkan adanya kesedihan dan atau kegelisahan
  2. Adanya kecenderungan anggota menarik kembali dan berpartisipasi dengan cara yang kurang intens untuk pengakhiran sebuah kelompok
  3. Anggota memutuskan tindakan apa yang harus mereka ambil
  4. Anggota mengungkapkan harapan dan kekhawatirannya kepada satu sama lain
  5. Kemungkinan adanya pembicaraan tentang rencana pertemuan tindak lanjut, karena anggota merasa perlu malakukannya guna perubahan yang bernilai tinggi.
Menurut Gladding (Supriatna, N. 2009:99) terdapat sejumlah cara untuk mengakhiri sebuah sesi konseling kelompok. Diantaranya ialah: (1) MemberiSummarization; (2) Leader Summarization; (3) Rounds; (4) Dyads; (5) Written Reactions; (6) Rating Sheets; (7) Homework.
  1. Member Summarization: Dengan cara ini beberapa anggota kelompok diminta untuk merangkum hasil dari pertemuan aktivitas kelompok. Setiap minggunya bergantian secara sistematis sehingga aktivitas kelompok terasa tidak membosankan.
  2. Leader Summarization: dengan cara ini pemimpin kelompok akan merangkum dan mengomentari setiap anggota kelompok yang hadir dalam sesi konseling kelompok.
  3. Rounds: cara ini adalah bentuk lain dari member summarization.
  4. Dyads: dengan cara ini kelompok akan dibagi menjadii sub kelompok yang terdiri dari dua orang, kemudian masing masing anggota kelompok mengomentari hasil dari sesi konseling kelompok.
  5. Written Reactions: dengan cara ini masing-masing anggota kelompok diminta untuk menuliskan kritik, saran dan hasil yang diperoleh dari sesi konseling kelompok.
  6. Rating Sheets: dengan cara ini anggota kelompok diminta untuk menuliskan apa yang paling berkesan saat aktivitas konseling kelompok, siapa anggota kelompok yang paling memberikan inspirasi dan lain sebagainya.
  7. Homework: cara ini adalah cara yang paling lumrah dilakukan, yaitu dengan cara memberikan pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan pada sesi konseling kelompok berikutnya.
Dalam pembubaran konseling kelompok biasanya akan selalu muncul masalah diantaranya: (1) Denial (2) Tranference (3) Counter transference (4) Handling Termination Correctly.
  1. Denial adalah suatu aksi anggota kelompok yang menolak untuk pembubaran kelompok. Untuk menangani masalah ini pemimpin kelompok harus mampu meyakinkan anggotanya bahwa akan ada pertemuan pasca pembubaran sebagai tindak lanjutnya
  2. Transference adalah pemindahan pengaruh dari salah seorang anggota kepada anggota lainnya, atau dari suatu situasi ke dalam situasi lainnya. Hal ini akan mengganggu karena jika pengaruh yang ditularkannya adalah pengaruh negative, maka akan merambat pada anggota lain. Cara rnengatasinya adalah hendaknya pemimpin kelornpok bersikap bijaksana dalam menangani pengaruh tersebut.
  3. Counter treansference adalah reaksi emosional dari pemimpin kelompok sebagai reaksi dari transference anggota kelompok. Counter transferance terjadi ketika pimpinan kelompok rnengalami kecemasan atau kekhawatiran yang tinggi. Untuk rnengatasi masalah ini hendaknya meminta bantuan ahli untuk dilakukan konseling individual. Pada dasarnya tidak ada teknik yang paling baik dalam proses pembubaran kelompok, namun ada beberapa ciri pembubaran kelompok yang tidak baik diantaranya adalah: (a) adanya persoalan kelompok yang belum terselesaikan; (b) tidak adanya tindak lanjut. (Supriatna, N 2009: 101)
Tahap akhir merupakan upaya pemimpin kelompok bagaimana memberikan bantuan yang efektif bagi para anggota kelompok, pemimpin harus terlibat dalam pengembangan dan kesadaran diri para anggota serta mengambil umpan balik dari pengalaman yang didapat dalam kelompok.

Breg et al (2006: 197) menyatakan beberapa hal penting yang harus dilakukan oleh pemimpin kelompok pada tahap akhir untuk kelompok jangka pendek diantaranya sebagai berikut:
  1. Mempersiapkan sesi tindak lanjut
  2. Mengembangkan sumber rujukan yang profesional kepada para anggota yang mungkin akan melajutkan pertemuan sementara pemimpin berhalangan.
  3. Menginformasikan kepada anggota sumber-sumber bantuan lainnya.
Selanjutnya Prayitno (Kurnanto, E (2013: 173) menyatakan pada tahap akhir konseling kelompok perhatian utama bukanlah pada berapa kali kelompok itu harus bertemu namun pada hasil yang telah dicapai oleh kelompok ketika menghentikan pertemuan.

Sementara itu Corey, (2012: 113) mengklarifikasikan tugas anggota kelompok pada tahap akhir yang dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Berhubungan dengan perasaan dan pikiran tentang pemisahan dan pemberhentiannya.
  2. Menyelesaikan urusan yang belum selesai, baik masalah dirinya atau masalah para anggota yang di bawah ke dalam kelompok.
  3. Membuat keputusan dan rencana tentang cara-cara mereka dalam menggeneralisasikan apa yang telah mereka pelajari ke dalam kehidupannya sehari hari.
  4. Mengidentifikasi cara-cara memperkuat diri mereka sendiri sehingga mereka akan terus tumbuh dan berkembang
  5. Mengeksplorasi cara yang konstruktif ketika bertemu dengan kemunduran setelah pengakhiran kelompok
  6. Mengevaluasi dan mengungkapkan dampak dari pengalaman kelompok.
Beberapa masalah yang bisa terjadi pada tahap akhir diantaranya:
  1. Adanya kemungkinan para anggota menghindari peninjauan terhadap pengalaman mereka dan gagal memasukkannya kedalam kerangka kerja kognitif sehingga membatasi generalisasi belajar mereka.
  2. Karena akan berpisah anggota mungkin menjauhkan diri
  3. Anggota dapat saja memikirkan konflik yang pernah terjadi pada kelompok mereka
  4. Anggota mungkin beranggapan bahwa pengakhiran merupakan hal yang universal dan tidak memanfaatkan tujuan dari kelompok itu untuk pekembangan mereka. (Corey, 2012: 113 – 114)
Tugas utama pemimpin pada fase konsolidasi ini ialah bagaimana pemimpin dapat menyediakan struktur yang dapat memperjelas makna pengalaman para anggota ketika berada dalam kelompok dan mendorong para anggota mengeneralisasikan hasil yang di dapat dalam kelompok untuk di terapkan dalam kehidupan sehari-sehari mereka. Adapun tugas-tugas pemimpin tersebut meliputi:
  1. Memberikan penguatan tentang sesuatu yang ingin di ubah oleh para anggota, dan memastikan bahwa anggota memiliki pemahaman bahwa mereka dapat melakukan perubahan tersebut.
  2. Membantu para anggota memahami bagaimana mereka dapat merealisasikan keterampilannya dalam berbagai bentuk variasi kehidupannya sehari hari, termasuk membantu para anggota mengembangkan rencana tindakan mereka guna melakukan suatu perubahan.
  3. Membantu para anggota mengkonseptualisasikan apa yang terjadi dalam kelompok dan apa titik balik untuknya.
  4. Membantu para anggota membuat ringkasan tentang perubahan yang akan mereka perbuat dan melihat kesamaan dengan anggota lainnya.
  5. Membantu para peserta mengembangkan, memahami, mengintegrasikan, mengkonsolidasikan dan mengingat apa yang telah mereka pelajari dalam kelompok.
  6. Membuat rencana pasca penanganan untuk anggota yang mungkin akan kembali lagi setelah beberapa waktu pengakhiran kelompok. (Corey, 2012: 114)
Sementara itu Gladding (Supriatna, N. 2009: 101) beberapa cara untuk menindak lanjuti pertemuan kelompok yang akan dibubarkan, diantaranya adalah: (1) arrange for a private interview; (2) reunion; (3) evaluations questionnaire.

Pertama, mengatur jadwal berbincang dengan anggota kelompok, pembicaraan berkenaan dengan kesepakatan waktu pertemuan berikutnya, tujuan pertemuan, yang disesuaikan dengan kondisi anggota kelompok saat ini.

Kedua, menindak lanjuti satu pertemuan dengan melakukan reuni kelompok setelah tiga bulan atau enam bulan dari waktu pembubaran. Cara yang paling efektif adalah dengan mengumumkannya sebelum pembubaran kelompok.

Ketiga, dengan membuat evaluasi. Setidaknya mencakup tiga hal. yakni: (1) hubungan dengan kepemimpinan kelornpok (the leadership of the group); (2) fasilitas yang digunakan selama konseling kelompok (the facilities in which the group was held); (3) pencapaian tujuan kelompok ( the effectiveness if the group in achieving it's object).

Tahap enam: evaluasi dan tindak lanjut evaluation and follow-up

Sebagaimana tahap pembentukan kelompok dan persiapan pemimpin merupakan hal yang sangat memengaruhi kemajuan kelompok disetiap tahapannya, pekerjaan pemimpin setelah kelompok ini berakhir juga sangat penting, sesi terakhir dari kelompok bukanlah merupakan sinyal bahwa tugas pemimpin berakhir, dua hal yang memberikan sumbangan besar kepada keberhasilan kelompok secara tuntas adalah evaluasi dan tindak lanjut. (Corey 2012:114)

Evaluasi merupakan aspek dasar dari setiap pengalaman kelompok dan dapat membuat keuntungan tersendiri baik bagi para anggota maupun pemimpin, praktek etis memerlukan penilaian yang realistis dari pembelajaran yang telah terjadi. Evaluasi bukanlah suatu prosedur yang digunakan sebagai pemutusan hubungan namun merupakan sebuah proses yang berkelanjutan.

Selanjutnya Berg et al (2006: 196) menyatakan tahap tindak lanjut pada konseling kelompok penting dilakukan sebagai upaya memberikan kesempatan kepada para anggota menangani isu-isu yang yang belum selesai dan dapat menerima dukungan dan dorongan dari kelompok, tahap tindak lanjut yang dijadwalkan 2 sampai 3 bulan setelah pengakhiran kelompok memberikan nilai tambah bagi anggota kelompok untuk terus tumbuh pada bagian perubahannya

References

Berg, R., Landreth, G, L., & Fall, K, A., (2006) “group counseling concepts and procedures. Fourth edition New York: Brunner-Routledge
Brown, N.W (1994) “ group counseling for elementary and middle school children”. Connecticut London: Praeger
Corey, G. (2012) “Theory & Practice of Group Counseling”. Eighth Edition. Canada: Cengage Learning
Jacobs, ED.E., Masson, R., Harvill, R., Schimmel, C, J. (2009) “ group counseling strategi and skiils”. Canada: Linda Schreiber-Ganster.
Kurnanto, E. (2013) “ Konseling Kelompok”. Alfabeta. Bandung
Rusmana, N. (2009) “ Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung: Rizke Press
Sonstegard, M., Bitter, J, R., & Pelonis, P. (2004) “ Adlerian Group Counseling and Therapy Step-by Step. New York: Brunner-Routledge
Sutja, A (2016) naskah buku masih dalam proses penerbitan.
Share this article :
 
Comments
0 Comments
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger