Pertemuan XI (Konseling kelompok dengan pendekatan Rasional Emotif)

Pendahuluan

Konseling kelompok dengan pendekatan rasional emotif merupakan aliran psikoterapi yang dikembangkan pada pertengahan tahun 1950-an, pendekatan ini dikenal dengan rational emotive therapy (RET) oleh pelopornya Albert Ellis, Ia adalah seorang ahli yang sangat rajin dalam bekerja memberikan pelayanan psikoterapi, baik secara individualmaupun dalam situasi kelompok, dan juga dalam membericeramah di berbagai kesempatan disepanjang tahun. RET didasariasumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi rasional (berfikirlangsung) dan juga irasional (berfikir berliku-liku). Keyakinan irasional itu yang menyebabkan gangguan emosional.
RET tidak memandang hubungan antar pribadi antara konseli dan konselor sebagai sesuatu yang sangat penting dalam proses terapeutik. Yang penting bagi pendekatan ini adalah keterampilan dan kesediaan konselor untuk menantang, mengkonfrontasikan dan meyakinkan konseli mempraktikkan kegiatan (baik di dalam maupun di luar kelompok konseling) yang akan mengarah kepada perubahan yang konstruktif dalam pemikiran dan perbuatan konseli. Dengan demikiam, terapeutik ini sangat mengedepankan kemampuan konselor untuk melakukan berbagai upaya mencari berbagai alternatif dalam menantang konselinya untuk sampai pada kesimpulan berubah. RET yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur untuk berpikir irasional dan jahat.

Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualkan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan, ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhyul, intoleransi. perfeksionisme dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.

Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungsional dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri. Manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengondisian awal. RET menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Bagaimanapun, menurut RET, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain. Ellis; (Corey, 2013: 238)

Unsur pokok terapi Rasional-Emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah. Menurut Ellis, pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan di prasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran memengaruhi emosi dan sebaliknya emosi memengaruhi pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran. 

Konseling Rational-Emotive menekankan bahwa perilaku menyalahkan adalah merupakan inti dari sebagian besar gangguan emosional. Oleh karena itu untuk menemukan orang yang neurotic atau psikotik konselor harus menghentikan penyalahan diri dan penyalahan pada orang lain yang ada pada orang tersebut (Corey,1990). Menurut Corey, orang perlu belajar untuk menerima dirinya sendiri dengan semua kekurangannya. Oleh karena itu, untuk menyembuhkannya orang harus didorong untuk memiliki pemikiran-pemikiran yang objektif dan rasional terhadap perasaan-perasaan yang berkembang pada dirinya. Menurut Ellis (Latipun, 2006: 113) perilaku seseorang khususnya konsekuensi emosi; senang, sedih, frustrasi, bukan disebabkan secara langsung oleh peristiwa yang dialami individu, perasaan-perasaan itu diakibatkan oleh cara berpikir atau sistem kepercayaan seseorang. Peristiwa yang terjadi disekitar kita (seperti sikap orang lain) atau yang dialami individu (kegagalan melaksanakan tugas, misalnya) akan direaksi sesuai dengan sistem keyakinannya.

Keadaan neurotik umumnya dipelajari atau dibuat melalui pengajar awal atau keyakinan yang tidak rasional oleh anggota kluarganya atau masyarakat. Lebih jauh dikatakan bahwa Ellis berpandangan bahwa RET merupakan terapi yang sangat komprehensif, menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan emosi, kognisi dan perilaku. Ia termasuk ahli terapi yang berseberangan dengan penganut humanistik. (Latipun, 2006: 111)

Tujuan konseling kelompok Rasional Emotif

Ellis (Corey, 2013: 245) menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam RET yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu: "meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari konseli dan membantu konseli untuk memperoleh filsalat hidup yang lebih realistik". Menurut Ellis, tujuan utama psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada konseli bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari ganggang-gangguan emosional yang dialami oleh mereka. RET mendorong suatu reevaluasi filosofis dan ideologis berlandaskan asumsi bahwa masalah-masalah manusia berakar secara fiolosofis. Jadi, RET tidak diarahkan semata-mata pada penghapusan gejala Ellis, (Corey, 2006:245), tetapi untuk meudorong konseli agar menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar.

Jika masalah yang dihadirkan oleh konseli adalah ketakutan atas kegagalan perkawinan misalnya, sasaran yang dituju oleh terapis bukan hanya pengurangan ketakutan yang spesifik itu, melainkan penanganan atas rasa takut gagal pada umunnya. RET bergerak ke seberang penghapusan gejala, dalam arti tujuan utama proses terapeutiknya adalah membantu konseli untuk membebaskan dirinya sendiri dari gejala-gejala yang dilaporkan dan yang tidak dilaporkan kepada terapis. Ringkasnya, proses terapeutik terdiri atas penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidak bahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapi disini sebagian besar adalah proses belajar-mengajar.

Lebih lanjut Gladding (Rusmana, N, 2009: 55) dalam penerapannya dalam konseling kelompok RET mengajak konseli untuk dapat berpikir rasional, ajakan tersebut berupa:
Pertama: Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan konseli yang irasional menjadi rasional dan logis agar konseli dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualization-nya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif.  

Ke-dua: Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang rnerusak diri sendiri seperti: rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas,rasa was-was, rasa marah, sebagai konseling dari cara berpikir dan sistern keyakinan yang keliru dengan jalan melatih dan rnengajar konseli untuk meghadapi kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri.

Proses pemberibantuan melalui RET bersifat helping relationship yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalarn hubungan konseling atau terapeutik, terapis/ konselor lebih aktif membantu mengarahkan konseli dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
  2. Kognitif-eksperiensasi, artinya bahwa hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif dari konseli dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
  3. Emotif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk juga harus melihat aspek emotif konseli dan gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
  4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan yang dibentuk harus menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan perilaku dalam diri konseli.
  5. Kondisional, artinya bahwa hubungan dalarn terapi rasional-emotif dilakukan dengan rnembuat kondisi-kondisi tertentu terhadap konseli melalui berbagai teknik kondisioning untuk mencapai tujuan terapi konseling. (Rusmana, N, 2009: 55)
Ellis mengemukakan secata tegas pengertian tersebut mencakup meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri (self-defeating) dan mencapai kehidupan yang realistik, falsafah hidup yang toletan, termasuk di dalamnya dapat mencapai keadaan yang mengarahkan diri, menghargai diri, fleksibel, berpikit secara ilmiah, dan menerima diri. Latipun (2006: 122) Guna mencapai tujuan konseling tersebut maka pemahaman konseli tentang sistem keyakinan atau cara berpikirnya sendiri. Ada tiga tingkatan insight yang dicapai yaitu:
  1. Pemahaman (insight) dicapai ketika konseli memahami tentang perilaku penolakan diri yang dihubungkan pada penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyatannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) yang lalu dan saat ini.
  2. Pemahaman terjadi ketika konselor/ terapis membantu konseli untuk memahami bahwa apa yang mengganggu konseli pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irrasional terus dipelajari dan yang di peroleh sebelumnya.
  3. Pemahaman dicapai pada saat konselor membantu konseli untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hambatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan "melawan" keyakinan yang irrasional.
Secara khusus Ellis (Kurnanto, 2013: 71) cerminan keberhasilan RET ditandai dengan adanya perubahan pada konseli yang meliputi
  1. Minat kepada diri sendiri
  2. Minat sosial
  3. Pengarahan diri
  4. Toleransi terhadap pihak lain
  5. Fleksibelitas
  6. Menerima ketidakpastian
  7. Komitmen terhadap sesuatu yang diluar dirinya
  8. Berfikir ilmiah
  9. Penerimaan diri
  10. Berani mengambil resiko
  11. non utopianism” yaitu menerima kenyataan

Prosedur konseling kelompok rasional emotif

George dan Cristiani (Latipun, 2006: 123) mengemukakan tahapan-tahapan konseling RET sebagai berikut:

Tahap pertama, proses untuk menunjukkan kepada konseli bahwa dirinya tidak logis, membantu mereka memahami bagaimana dan mengapa menjadi demikian, dan menunjukkan hubungan gangguan yang irasional itu dengan ketidak bahagiaan dan gangguan emosional yang dialami.

Tahap Ke-dua, membantu konseli meyakini bahwa berpikir dapat ditantang dan diubah. Kesediaan konseli untuk dieksplorasi secara logis terhadap gagasan yang di alami konseli dan konselor mengarahkan pada konseli untuk melakukan disputing terhadap keyakinan konseli yang irrasional,

Tahap Ke-tiga
membantu konseli lebih “mendebatkan” (disputing) gangguan yang tidak tepat atau irrasional yang dipertahankan selama ini menuju cara berpikir yang lebih rasional dengan cara reinduktrinasi yang rasional termasuk bersikap secara rasional.

RET sangat cocok untuk diterapkan pada terapi kelompok dengan asumsi semua anggota diajari untuk menerapkan prinsip-prinsip RET pada rekan-rekannya dalam setting kelompok. Mereka memperoleh kesempatan untuk mempraktekkan tingkah laku-tingkah laku baru yang melibatkan pengambilan risiko dan untuk pelaksanaan tugas pekerjaan rumah atau latihan-latiha kontinuitas yang dilakukan setelah konseling berakhir, seperti latihan asertif, permainan peran dan berbagai kegiatan pengambilan risiko lainnya. Mereka bisa belajar kecakapan-kecakapan sosial dan berinteraksi dengan orang lain sesudah pertemuan-pertemuan kelompok. Baik para anggota lain maupun pemimpin kelompok bisa mengamati tingkah laku seorang anggota serta memberikan umpan balik atas tingkah lakunya itu. Dalam setting kelompok para konseli bisa melibatkan diri ke dalam peristiwa kontak-kontak kelompok yang dirancang untuk menunjang suatu perubahan filosofis yang radikal.

Ellis (Corey, 2013: 256) telah mengembangkan suatu bentuk terapi kelompok yang dikenal dengan nama A Weekend of Rational Encounter yang memanfaatkan metode-metode dan prinsip-prinsip RET. Terapi kelompok ini dibagi ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama terdiri atas 14 jam terapi rational-encounter tanpa berhenti, yang diikuti oleh waktu istirahat selama delapan jam; bagian kedua mencakup terapi, 10 jam lagi. Selama tahap-tahap permulaan dari pertemuan akhir pekan ini para anggota mengalami serangkaian kegiatan yang diarahkan, baik verbal maupun non-verbal, yang dirancang untuk menjadikan mereka saling mengenal. Para peserta diminta untuk berbagi pengalaman yang paling memalukan dan didorong untuk terlibat dalam pengambilan risiko.

Pada tahap-tahap permulaan, prosedur-prosedur emotif-evokatif tidak digunakan, dan tidak pula diusahakan pemecahan masalah dan pembuatan putusan. Setelah terapi berjalan lancar, prinsip-prinsip logika berpikir rasional yang biasa digunakan dalam terapi individual, diterapkan pada kelompok. Jadi, terapi maraton yang terdiri atas suatu dosis berat metode-metode rasional-kognitif dan tingkah laku-tindakan, lebih dari suatu session eksperiensial di mana perasaan-perasaan dieksplorasi dan dibagi.

Pada tahap-tahap selanjutnya, masalah-masalah pribadi yang terdalam dari para anggota dieksplorasi dengan prosedur-prosedur kognitif. Ellis (Corey, 2013:257) menunjukkan bahwa pada jam-jam terakhir dari terapi marathon akhir pekan rational-encounter ini "kelompok dan pemimpinnya biasanya menegur anggota yang belum mengemukakan suatu masalah yang akan dibahas secara rinci. Orang-orang seperti ini langsung ditanya mengapa mereka sebelumnya tidak banyak bercerita tentang diri mereka sendiri dan dibujuk agar mencari suatu masalah pokok untuk didiskusikan secara terbuka". Juga menjelang akhir pertemuan terapi, pelaksanaan pekerjaan rumah yang spesifik diberikan kepada masing masing anggota. Suatu pertemuan akhir dilangsungkan tujuh atau delapan minggu kemudian guna memeriksa kemajuan para konseli dalam melaksanakan pekerjaan rumahnya dan guna mengevaluasi keadaan para konseli tersebut.

Meskipun Ellis (1969) yakin bahwa akhir pekan rational-encounter sangat mungkin bukan kata akhir dalam terapi kelompok maraton, ia memandangnya sebagai suatu pengalaman yang intensif yang berfungsi sebagai pengantar yang baik kepada RET. Ia menyatakan bahwa format ini "khusus dirancang untuk menunjukkan kepada para anggota kelompok, filsafat-filsafat mendasar apa yang mengalahkan dirinya dan menunjukkan bagaimana mereka bisa bekerja menantang filsafat-filsafat itu, disini dan sekarang dan di kemudian hari. Jadi, merupakan suatu pengalaman terapeutik yang diorientasikan ke arah mengalami dan memodifikasi tingkah laku menuju ekspresi diri dan pengajaran khusus tentang kecakapan-kecakapan · kepribadian baru" (Ellis, Corey, 2013: 256 – 259).

Dalam penerapan menggunakan RET Latipun, (2006: 125) memberikan penguatan bahwa konseli yang sangat cocok untuk RET adalah konseli yang mengalami kecemasan pada tingkat moderat, gangguan neurotic, gangguan karakter, problem psikosomatik, gangguan makan, ketidak mampuan dalam hal hubungan interpersonal, problem perkawinan, keterampilan dalam pengasuhan, adiksi, dan disfungsi seksual. Kesemuanya efektif dengan catatan tidak terlalu serius gangguannya.

Lebih jauh dikatakan bahwa RET tidak diberikan kepada: (1) anak-anak khususnya yang lagi mengalami autism, (2) gangguan mental grade bawah; (3) skizofrenia jenis katatonik atau gangguan penarikan diri yang berat; (4) mania atau mania depresi. 

Beberapa teknik RET yang dapat digunakan dalam settink konseling kelompok sebagaimana Oemarjoedi, (Rusmana, N, 2009: 55 – 58) dikemukakan sebagai berikut:

Teknik-teknik emotif (afektif)

  1. Teknik Assertive Training: yaitu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan konseli untuk secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri konseli.
  2. Teknik Sosiodrama: yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang didramatisasikan sedemikian rupa sehingga konseli dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis.
  3. Teknik Self Modeling atau diri sebagai model, yakni teknik yang digunakan untuk meminta konseli agar "berjanji" atau mengadakan "komitmen" dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. Dalam self modeling ini, konseli diminta untuk tetap setia pada janjinya dan secara terus menerus menghindarkan dirinya dari perilaku negatif.
  4. Teknik Imitasi, yakni teknik yang digunakan dimana konseli diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.

Teknik-teknik Behavioristik

Dalam banyak hal, konseling rasional-emotif banyak menggunakan teknik terapi behavioral terutama dalam upaya memodifikasi perilaku-perilaku negatif dari konseli dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tidak rasional dan tidak logis. Beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:
  1. Teknik Reinforcement (penguatan), yakni teknik yang digunakan untuk mendorong konseli ke arah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment (hukuman). Bila perilaku konseli mengalami kemajuan dalam arti positif, maka ia dipuji "baik" bila mundur dalam arti masih negatif, maka dikatakan "tidak baik". Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irasional pada konseli dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka konseli akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
  2. Teknik Sosial Modeling (pemodelan sosial), yakni teknik yang digunakan untuk memberikan perilaku-perilaku baru pada konseli.
    Teknik ini dilakukan agar konseli dapat hidup dalam suatu model sosial yang qiharapkan dengan cara imitasi (peniruan), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dengan model sosial yang dibuat itu. Dalam teknik ini, konselor mencoba mengamati bagaimana proses konseli mempersepsi, menyesuaikan dirinya dan mengintemalisasi norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor atau terapis.
  3. Teknik Live Models (model dari kehidupan nyata), yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah.

Teknik-teknik kognitif

Teknik-teknik konseling atau terapi berdasarkan pendekatan kognitif memegang peranan utama dalam konseling rasional-emotif. Teknik-teknik ini digunakan dengan maksud untuk mengubah sistem keyakinan yang irasional konseli serta perilaku-perilakunya yang negatif. Dengan teknik ini konseli didorong untuk memodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berpikir dengan cara yang rasional dan logis sehingga konseli dapat bertindak atau berperilaku sesuai sistem nilai yang diharapkan baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya. Beberapa teknik kognitif yang cukup dikenal dikemukan sebagai berikut:
  1. Home Work Assigments (Pemberian tugas rumah). Dalam teknik ini, konseli diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih membiasakan diri serta mengintrnalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, konseli diharapkan dapat mengurangi dan atau menghilangkan ide-ide serta perasaan-perasaan yang irasional dalam situasi-situasi tertentu, mempraktekkan respons-respons tertentu, berkonfrontasi dengan verbalisasi dari yang mendahului, mencari bahan-banan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Selanjutnya, pelaksanaan homework assigments yang diberikan konselor dilaporkan oleh konseli dalam suatu pertemuan tatap muka dengari konselor di kantor, disekolah atau di tempat lain. Teknik ini sebenamya dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap bertanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri konseli serta mengurangi ketergantungannya kepada konselor atau terapis.
  2. Teknik Assertive. Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian konseli dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui; role playing atau bermain peran, latihan, dan sosial modeling atau meniru model-model sosial. John L. Shelton (Supriatna, N. 2009: 58) mengemukakan bahwa maksud utama teknik assertif training adalah untuk: (1) mendorong kemampuan konseli· mengekpresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya; (2) membangkitkan kemampuan konseli dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain, (3) mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri, (4) meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku asertif yang cocok untuk dirinya sendiri.
Berbagai teknik konseling rasional-emotif Albert Ellis menganjurkan untuk menggunakan dan menggabungkan beberapa teknik tertentu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi konseli. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa teknik home work assignment perlu digunakan sebagai syarat utama untuk sesuatu terapi atau konseling yang tuntas.

Peran konselor konseling kelompok rasional emotif

Aktivitas-aktivitas terapeutik utama RET dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu: membantu konseli untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan konseli menginternalisasikan suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana ia menginternalisasikan keyakinan-keyakinan dragmatis yang irasional dan takhayul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.

Konseling kelompok menggunakan pendekatan RET, sebagaimana RET pada dasarnya adalah suatu proses terapeutik kognitif dan behavioral yang aktif-direktif, RET sering meminimalkan hubungan yang intens antara terapis dan konseli. RET adalah suatu proses edukatif, dan tugas utama konselor adalah mengajari konseli cara-cara memahami dan mengubah diri. Konselor terutama menggunakan metodologi yang gencar, direktif, dan persuasif yang menekankan aspek-aspek kognitif. Ellis (Corey, 2013: 247) memberikan suatu gambaran tentang apa yang dilakukan oleh konselor dalam menerapkan konseling RET

Pertama: mengajak konseli untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku; Ke-dua: menantang konseli untuk menguji gagasan-gagasannya; Ke-tiga: menunjukkan kepada konseli ketidak logisan pemikirannya; Ke-empat: menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional konseli; Ke-lima: menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan; Ke-enam: menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran konseli. Ke-tujuh: menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris;
Terakhir: mengajari konseli bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara berpikir sehingga konseli bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis untuk sekarang maupun pada masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku; yang merusak diri.

References

Adhiputra, N (2015) “konsling kelompok teori dan aplikasi”. Yogyakarta: Media Akademik.
Berg, R., Landreth, G, L., & Fall, K, A., (2006) “group counseling concepts and procedures. Fourth edition New York: Brunner-Routledge
Brown, N.W (1994) “ group counseling for elementary and middle school children”. Connecticut London: Praeger
Corey, G. (2012) “Theory & Practice of Group Counseling”. Eighth Edition. Canada: Cengage Learning
Jacobs, ED.E., Masson, R., Harvill, R., Schimmel, C, J. (2009) “ group counseling strategi and skiils”. Canada: Linda Schreiber-Ganster.
Kurnanto, E. (2013) “ Konseling Kelompok”. Alfabeta. Bandung
Latipun. (2006) “Psikologi Konseling”. Malang: UMM Press
Rusmana, N. (2009) “ Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung: Rizke Press
Sonstegard, M., Bitter, J, R., & Pelonis, P. (2004) “ Adlerian Group Counseling and Therapy Step-by Step. New York: Brunner-Routledge
Share this article :
 
Comments
0 Comments
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger