Pertemuan VI (Konseling kelompok dengan pendekatan psikoanalitik)


Pedahuluan

Sebagaimana diketahuai bahwa teori konseling psikoanalisis merupakan hasil pemikiran Freud. Namun demikian, menurut Natawidjaja (2009: 179), Freud sendiri tidak pernah mengaplikasikan teorinya ini dalam layanan konseling kelompok. Beberapa dokter di Amerika mulai menggunakan teori psikoanalisis sebagai dasar psikoterapi kelompok sebelum Perang Dunia I. Di antara orang yang paling terkenal adalah E. W. Lazell, yang mengadakan psikoterapi kelompok terhadap penderita "schizophrenics" (suka mengasingkan diri). Orang pertama yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip psikoanalisis beserta teknik-tekniknya dalam kegiatan kelompok menurut Natawidjaja (2009: 179), adalah Alexander Wolf, yaitu seorang psikiatris dan psikoanalis. Wolf mengembangkan teknik-teknik dasar psikoanalisis dalam kelompok, seperti transference, asosiasi bebas, analisis mimpi, dan analisis deterrninan historis dari perilaku sekarang. Ia menekankan penciptaan kembali keluarga yang asli, sehingga anggota-anggota kelompok dapat menangani masalah-masalah yang tidak sempat diselesaikan sebelumnya.

Reaksi mereka terhadap anggota yang lain dan terhadap pemimpin kelompok diharapkan akan memunculkan kunci-kunci simbolis terhadap dinamika relasi mereka dengan tokoh-tokoh tertentu dalam keluarganya yang sebenarnya. Lebih lanjut dikatakan sampai tahun 1938, model kerja kelompok psikoanalisis diselenggarakan dengan dasar yang kuat. Alexander Wolf, seorang psikiatris dan psikoanalisis, secara umum diakui sebagai orang pertama yang menerapkan prinsip-prinsip dan teknik psikoanalisis secara sistematik untuk kelompok (Corey, 1990; Hansen, et al., 1980). Ia mengembangkan psikonalisisnya lebih berdasarkan pertimbangan ekonomis (ketegangan finansial konseli untuk memberikan layanan individu dalam tahun 1930-an) alih-alih kepentingan dalam kerja kelompok. Tidak memerlukan waktu yang lama ia menyadari kegunaan kelompok psikoanalisis dan menjadi antusias untuk mendukungnya. kontributor awal yang lain terhadap model kerja kelompok psikoanalisis adalah Samuel Slavon, yang membentuk aktivitas kelompok bagi anak-anak usia 8-15 tahun berdasarkan prinsip-prinsip psikoanalisis. Dia menggambarkan pendekatannya sebagai terapi situasional (Mullan & Rosen baum, 1978).

Teori ini biasanya dihubungkan dengan bagian dalam yang mendasari masalah psikologis individu. Bagaimanapun teori ini memiliki perubahan dari keaslian orientasi individu ke dalam kelompok-kelompok kerja psikoanalisis memiliki beberapa akar psikologis (Gusril Kenedi, Supriatna, M, (Adhiputra, N. 2015:106).

Tujuan konseling kelompok psikoanalisis

Tujuan proses analisis adalah untuk menata kembali strukturwatak dan kepribadian konseli. Menurut Natawidjaja (2009: 179) tujuan itu dicapai dengan membuat konflik-konflik yang tidakdisadari menjadi disadari dengan menguji dan menjajaki materiyang bersifat intrapsikis. Secara khusus psikoanalitik memerankan kembali keluarga yang asli secara simbolik melalui kelompok sehingga latar belakang historis dari kehidupan anggota pada masalalu terulang kerlibali dalam kehadirannya dalam kelompok itu. Millan dan Rosenbaum (1978) menyebut proses itu sebagaipendekatan regresif-rekonstruktif dalam terapi kelompokpsikoanalisis. Dia memandang kelompok terapi sebagai suatupilihan kehidupan yang dalam banyak hal merupakan keluargayang asli. 

Proses dan teknik konseling dalam praktiknya, yang terpenting dari teori ini adalah bagaimana seorang konselor mampu membuat pikiran konseli yang berada di luar kesadarannya menjadi disadari. Dalam hal ini adalah bagaimana kita bisa menata interaksi yang terjadi antara id, ego dan superego. Menurut Glading (Kurnanto, E, 2013: 37), ada beberapa perbedaan yang terjadi antara penerapan teori psikoanalisis dalam layanan konseling kelompok dengan layanan konseling individu, yaitu terletak pada proses dan faktor yang ditekankan pada layanan konseling, pada psikoanalisis, proses terapi berpusat pada menciptakan kembali, menganalisis, mendiskusikan dan menafsirkan pengalaman masa lampau dan menangani (working through) pertahanan diri dan penolakan yang berkembang pada tahap ketaksadaran. lstilah working trough merupakan istilah yang khusus digunakan sebagai suatu konsep psikoanalisis yang berarti pengulangan tafsiran dan mengatasi penolakan (resistance), memungkinkan konseli untuk memecahkan pola penyimpangan fungsi perilaku yang berakar pada masa kanak-kanak dan membuat pilihan yang didasarkan atas wawasan-wawasan baru.

Prosedur konseling kelompok psikoanalisis

Prosedur konseling kelompok analitik sebagaimana Wolf (Natawidjaja, 2009: 2014) dapat ditempuh melalui enam tahapan yaitu sebagai berikut:

Tahap Persiapan dalam Bentuk Analisis lndividu

Pada tahap ini konselor kelompok memilih para peserta -yangvcocok untuk melaksanakan kegiatan kelompok yang akan dipimpinnya. Perlu diusahakan bahwa mereka memiliki kondisi yang sesuai dengan kegiatan kelompok. Kondisi itu diantaranya kemampuan untuk mengadakan kontak dengan kenyataan, kemampuan untuk berhubungan secara pribadi, luwes, dan potensi untuk menjadi katalisator dalam kegiatan kelompok

Tahap Pembentukan Hubungan Melalui Penafsiran Mimpi dan Fantasi

Pada tahap kedua ini merupakan sarana untuk mengembangkan iklim saling mempercayai diantara anggota-anggota kelompok; hal tersebut juga memungkinkan menghadirkan kesan-kesan tertentu antar sesame anggota kelompok.

Interaksi Melalui Asosiasi Bebas Antarpribadi (Interpersonal Free Association)

Ditandai penggunaan yang mendalam tentang asosiasi bebas, yaitu komunikasi tanpa sensor mengenai perasaan dan pemikiran seseorang secepat hal itu muncul dalam ingatannya; hal ini juga mengandung arti bahwa keberhasilan tahap kedua dicerminkan dengan terjadinya asosiasi bebas atau berjalannya tahapan ketiga ini; jika pada tahapan ini didapati bahwa anggota terlihat canggung dalam pengeksplorasian maka, bukan tidak mungkin bahwa ia merasa belum nyaman atau mempunyai kesan negative atau semacamnya pada tahap sebelumnya

Tahap Analisis Penolakan

Pada tahap ini penolakan itu muncul secara jelas pada waktu setiap anggota kelompok melakukan penafsirannya tentang mimpi dan mengadakan asosiasi bebas tentang anggota-anggota lainnya. Tahap perkembangan kelompok ini dapat diumpamakan sebagai masa pemberontakan kelompok menentang konselor. Mereka mempertahankan dirinya dengan cara mengisolasikan diri, memberikan alasan-alasan rasional, dan mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal yang mendetail mengenai aturan kegiatan dalam kelompok.

Tahap Analisis Pengalihan

Pada tahap ini konselor benar-benar perlu menemukan ketakutan setiap anggota kelompok untuk mengubah dirinya dan juga mengenai trauma yang menahan perkembangan dirinya. Pada tahap ini, seyogyanya dibangun "persekutuan kerja" dalam kelompok, yaitu suatu bentuk kerja sama yang sehat dan realistik antara para anggota kelompok dengan konselor serta diantara anggota kelompok itu sendiri.

Tahap Tindakan Pribadi yang Disadari dan lntegrasi Sosial

Tahap ini ditandai dengan berakhirnya distorsi pengalihan yang sangat kuat yang terjadi dalam kelompok. Pada tahap ini terdapat suatu pola berbagi kepemimpinan dan pemisahan diri serta penyadaran individual yang realistik. Distorsi pengalihan kelompok terhadap konselor telah ditangani secara tuntas dan para anggota kelompok memandang konselor lebih realistis. Tujuan tahap ini adalah untuk membantu konseli menemukan cara-cara yang lebih efektif untuk berhubungan dengan orang lain dan meningkatkan pertumbuhan pribadi konseli sehingga konseli itu dapat berpikir mancari dan berdiri sendiri dalam  perbuatannya. Selanjutnya Glading (Supriatna, N (2009: 30 – 31) dalam pelakasanaan proses konseling kelompok psikonalisa terdapat lima teknik dasar yang digunakan yaitu: 
  1. Asosiasi bebas (Free Association); 
  2. Penafsiran (dream interpretation); 
  3. Analisis resistensi ( interpretation of resistance); 
  4. Analisis transferensi (transference); 
  5. Wawasan dan penanganan (insight and working trough). 

Asosiasi bebas (Free Association)

Dalam praktik konseling kelompok penggunaan asosiasi bebas (free association) sebagaimana dikemukakan Corey (1990) asisiasi bebas merupakan tipe“free-floating discussion” atau mengadakan diskusi bebas anggota menyampaikan perasaan dan kesan mereka dengan segera. Asosiasi bebas ( Free Association) merupakan teknik utama dari terapi psikoanalitik yang merupakan suatu rnetode penataan kernbali pengalaman-pengalaman masa lalu dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi-situasi traumatik di masa lalu, yang dikenal dengan sebutan katarsis. Katarsis hanya rnenghasilkan peredaan sementara atas pengalarnan-pengalaman rnenyakitkan yang dialarni konseli, tidak rnemainkan peran utama dalarn proses treatment psikoanalitik kontemporer; katarsis rnendorong konseli untuk rnenyalurkan sejumlah perasaannya yang terpendam, dan karenanya meratakan jalan bagi pencapaian pernahaman. Untuk rnembantu konseli dalam memperoleh pernaharnan dan evaluasi diri yang lebih objektif, analis menafsirkan makna-makna utarna dari asosiasi bebas.

Selama proses asosiasi bebas berlangsung, tugas analis adalah rnengenali bahan yang direpres dan dikurung dalam ketidaksadaran. Urutan asosiasi-asosiasi mernbirnbing analis dalam rnemaharni hubungan-hubungan yang dibuat oleh konseli diantara peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Penghalangan-penghalangan atau pengacauan-pengacauan oleh konseli terhadap asosiasi-asosiasi rnerupakan isyarat bagi adanya bahan yang rnembangkitkan kecernasan. Analis menafsirkan bahan dan rnenyarnpaikannya kepada konseli, rnernbimbing konseling ke arah peningkatan pemaharnan atas dinamika-dinamika yang mendasarinya, yang tidak disadari oleh konseli.

Menurut Natawidjaja (Supriatna, N. 2009: 31) tujuan asosiasi bebas dalam konseling kelompok adalah untuk mendorong para konseli menjadi lebih bersikap spontan dan membukakan proses-proses yang tidak disadari sehingga mereka memperoleh wawasan yang lebih jelas mengenai psikodinamika dalam dirinya sendiri. Dalam proses layanan, tugas konselor adalah membantu konseli untuk mendapatkan pemahaman dan evaluasi diri yang obyektif. Dalam hal ini, konselor harus dapat memberikan tafsiran makna dari asosiasi bebas, yaitu mengungkap dan mengenali perasaan yang dikurung dalam ketidaksadaran konseli. Selanjutnya konselor menyampaikan hasil tafsirannya kepada koseli, membimbing konseli ke arah peningkatan pemahaman atas dirinya secara obyektif. Dengan demikian konseli akan mendapatkan pemahaman yang benar atas situasi yang sedang dihadapinya.

Penafsiran

Penafsiran adalah suatu prosedur dasar dalam menganalisis asosiasi-asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transferensi-transferensi. Prosedurnya terdiri atas tindakan-tindakan analisis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari konseli terhadap makna-makna tingkah laku yang dimanifestasikan oleh mimpi-mimpi asosiasi bebas, resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi penafsiran-penafsiran adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses penyingkapan bahan tak sadar lebih lanjut. Penafsiran-penafsiran analis menyebabkan pemahaman dan tidak terhalanginya bahan taksadar pada pihak konseli.

Dalam praktiknya, konselor melakukan berbagai tindakan analisis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari konseli untuk memaknai tingkah laku yang dimanifestasikan melalui mimpi-mimpi, asosiasi bebas, resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Nandang Rusmana (2009: 32) mengatakan bahwa dalam melakukan penafsiran, seorang konselor mesti tepat waktu, karena ketidaktepatan waktu dalam melakukan penafsiran akan berakibat pada kemungkinan munculnya penolakan dari konseli. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada tiga aturan umum dalam melakukan penafsiran, yaitu: pertama; disajikan pada saat gejala yang hendak ditafsirkan itu dekat dengan kesadaran konseli, kedua; penafsiran harus berawal dari permukaan serta menembus hanya sedalam konseli mampu menjangkaunya, terutama saat konseli mengalami situasi itu secara emosional, dan ketiga; resistensi atau pertahanan, paling baik ditunjukkan sebelum dilakukan penafsiran atas emosi atau konflik yang ada di baliknya.

Selain berlakunya tiga aturan umum tersebut, dalam melakukan penafsiran, menurut Natawidjaja (2009: 191), seorang konselor mesti memperhatikan butir-butir aturan sebagai berikut: pertama: Konseli akan lebih mempertimbangkan penafsiran yang bersifat hipotesis dan bukan fakta. Ke-dua: Penafsiran seyogyanya berkenaan dengan materi yang mendekati kesadaran konseli. Artinya hal yang disampaikan sebagai penafsiran itu adalah yang telah mendekati ambang kesadaran konseli. Oengan kata lain, konselor perlu menafsirkan materi yang belum dilihat konseli, tetapi mereka telah bersiap dan mampu menemukannya. Ke-tiga: Penafsiran itu mesti dimulai dari permukaan dan menuju kearah penafsiran yang lebih mendalam, yaitu mengenai masalah yang mempunyai bobot emosional yang besar. Dengan demikian, penafsiran tersebut berlangsung berangsur-angsur, sehingga hal-hal yang berbobot emosional yang besar itu dapat ditafsirkan pada waktu yang tepat,yaitu pada waktu konseli telah siap untuk menerima keadaan yang menyakitkan. Ke-empat: Sebaiknya ditunjukkan terlebih dahulu pertahanan diri atau penolakan yang ada pada konseli sebelum menafsirkan perasaan atau konflik yang terdapat di bawah pertahanan diri atau penolakan diri itu. Aturan-aturan tersebut berlaku untuk semua anggota kelompok, akan tetapi juga dapat diberlakukan kepada peserta kelompok secara individual.

Transferensi

Transferensi muncul dengan sendirinya dalam proses terapeutik pada saat di mana kegiatan-kegiatan konseli masa lalu yang tak terselesaikan dengan orang lain, menyebabkan ia merubah masa kini dan mereduksi kepada analisis sebagai yang dia lakukan kepada ibu dan ayahnya. Kini, dalam hubungannya dengan konselor mengalami kembali perasaan penolakan atau permusuhan yang pemah dialami terhadap orang tuanya. Jadi transferensi merupakan upaya memproyeksikan emosi yang tidak tepat kepada pemimpin atau anggota yang lain Hansenet at. all, (Gladding, 1991). Transferensi dalam psikoanalisis kelompok memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan psikoanalisis indiviudal Thompson dan Kahn, 1970 (Gladding,1991).

Anaisis mimpi

Analisis mimpi adalah sebuah prosedur yang penting untuk menyingkap bahan yang tak disadari dan memberikan kepada konseli pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, dan perasaan-perasaan yang direpresi muncul ke permukaan. Freud memandang mimpi-mimpi sebagai jalan istimewa menuju ketidaksadaran, sebab melalui mimpi-mimpi itu hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan-ketakutan yang tidak disadari, diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak bisa diterima oleh orang yang bersangkutan sehingga diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan alih-alih diungkapkan secara terang-terangan dan langsung. Mimpi-mimpi memiliki dua taraf isi, yaitu isi laten dan isi manifest. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, dorongan-dorongan seksual dan agresif tak sadar yang merupakan isi laten ditransformasikan ke dalam isi manifest yang lebih dapat diterima, yakni impian sebagaimana yang tampil pada si pemimpi. Proses transformasi isi laten mimpi ke dalam isi manifest yang kurang mengancam itu disebut kerja mimpi. Tugas analis adalah menyingkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat pada isi manifest mimpi. Selama jam analitik, analis bisa meminta konseli untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifest impian guna menyingkap makna-makna yang terselubung.

Analisis dan penafsiran transferensi

Hubungan transferensi juga memungkinkan konseli mampu menembus konflik-konflik masa lampau yang tetap dipertahankannya hingga pada masa sekarang dan bentuk-bentuk yang menghambat pertumbuhan emosionalnya. Transferensi disini ialah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, konseli diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang konseli bawa ke masa sekarang selanjutkan diserahkan ke konselor. Biasanya konseli bisa membenci atau mencintai konselor.
 
Bentuk nyata transferensi dalam proses konseling kelompok adalah fenomena dimana konseli mencoba menghadirkan pengalaman masa lampau mereka, yang mereka menganggap sebagai suatu urusan yang belum selesai, seperti contoh masalah dengan orang tua, permasalahan pacar dan sebagainya, pada situasi kini, dengan cara mendistorsi hubungannya dengan konselor seakan konselor adalah orang yang pernah membuat mereka "sakit" di masa lalunya. Dalam kaitan ini, konseli menjadi benci kepada konselornya. Bahkan, dalam situasi tertentu, menurut Natawidjaja (2009: 186) dalam konseling kelompok dapat terjadi multiple transference, yaitu pengalihan yang diarahkan ke berbagai individu, mengarah pada semua anggota kelompok. Konselor mengusahakan agar konseli mengembangkan transferensi-nya agar neurosisnya terungkap terutama pada usia selama lima tahun pertama dalam hidupnya. Konselor dapat menggunakan sifat-sifat netral, objek, anonim, dan pasif agar terungkap transferensi tersebut. 

Wawasan dan penanganan (insight and working trough)

Wawasan berarti kesadaran akan sebab-sebab dari kesulitan seseorang pada masa kini. Dalam model psikoanalitik wawasan juga berarti kesadaran intelektual dan emosional tentang hubungan antara pengalaman-pengalaman masa lampau dengan masalah masa kini. Jadi, apabila para anggota kelompok mengharapkan perubahan dalam beberapa aspek kepribadiannya, maka mereka harus mengenai penolakan dan pola perilakunya yang lama. Ini merupakan proses yang lama dan sulit. Penanganan secara tuntas itu merupakan aspek yang sangat kompleks dalam psikoanalisis dan mempunyai tuntutan yang mendalam. Penanganan tuntas ini merupakan suatu proses yang cocok untuk menaggulangi konflik-konfilk yang tidak terpecahkan, sikap dan kebutuhan, penolakan, pengalihan terhadap pemimpin kelompok dan rekan sekelompoknya dan hal-hal lain yang tidak terpecahkan dimasa lampau. Proses penanganan tuntas merupakan tahap akhir darikelompok psikoanalitik dengan hasil bertambahnya kesadaran dan integrasi.

Peran pimimpin kelompok dalam konseling kelompok

Pemimpin kelompok yang efektif sebagaimana yang dikemukan oleh Wolf (Adhiputra, N. (2015: 115) bahwa pemimpin kelompok prikoanalisis yang efektif mampu memajukan hubungan interpersonal anggota di atas hubungan anggota dan pemimpin kelompok Lebih lanjut Supriatna, N (2009: 35) menyatakan fungsi konselor dalam konseling kelompok yang berorientasi psikoanalisis adalah membantu konseli secara berangsur-angsur menemukan faktor-faktor penentu yang tidak disadari dari perilakunya pada masa kini. Fungsi itu dilaksanakannya dengan memperhatikan konsep-konsep pokok psikoanalisis dan menggunakan teknik-teknik bantuan yang telah dikemukakan dalam bagian terdahulu.
 
Fungsi lain dari konselor sebagai pemimpin kelompok sebagaimana Natawidjaja (2009: 194) meliputi: (1) Menciptakan iklim yang mendorong anggota-anggota kelompok menyatakan dirinya secara bebas (2) Manyatakan batas antara perilaku dalam kelompok dan perilaku di luar kelompok (3) Memberikan dukungan terapeutik apabila anggota kelompok tidak memberikannya (4) Membantu para anggota menghadapi dan menangani penolakan dalam diri mereka sendiri atau dalam kelompok sebagai satu kesatuan (5). Menumbuhkan kemandirian anggota-anggota kelompok dengan cara berangsur-angsur melepaskan fungsi-fungsi kepemimpinan-nya dan dengan mendorong interaksi diantara para anggota kelompok (6) Menarik perhatian para anggota kepada aspek-aspek yang samar-samar dalam perilaku para anggota kelompok, dan melalui pertanyaan-pertanyaan kepada mereka, membantu mereka meniti dirinya lebih jauh dan lebih dalam.
 
Lebih lanjut Wolf (Supriatna, N (2009: 36: fungsi-fungsi lain dari konselor sebagai pemimpin kelompok yaitu:  
  1. Berusaha untuk mengakui kesalahan sendiri dan merasa rela memberikan beberapa fungsi kepemimpinan kepada para anggota kelompok, apabila fungsi itu mempunyai manfaat terapeutik bagi kelompoknya.  
  2. Menghindari sikap diktator dan gaya kepemimpinan yang memojokkan anggota untuk mengikuti pendapat konselor. 
  3. Menyambut baik pemyataan pengalihan dalam kelompok sebagai kesempatan untuk keberhasilan kerja.  
  4. Membimbing anggota ke arah kesadaran penuh dan ke arah integrasi sosial.  
  5. Melihat kelompok yang dipimpinnya sebagai wahana yang mempunyai potensi yang kuat. 
  6. Mengakui kemampuan potensial para anggota kelompok dalam menafsirkan dan mengintegrasikan materi yang dihasilkan oleh anggota lain dan mengakui kemampuan mereka untuk mendekati kebenaran yang tidak disadarinya.  
  7. Waspada terhadap perbedaan individual di dalam kelompoknya.  
  8. Menggunakan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik di dalam kelompok.  
  9. Mempertahankan sikap optimistik apabila kelompok mulai merasa bimbang.  
  10. Memberi contoh mengenai kesederhanaan, kejujuran dan bertindak langsung.  
  11. Menciptakan suasana emosional yang bebas dengan membuka perasaannya sendiri Memperhatikan persekongkolan yang bersifat destruktif dalam kelompok.

References

Adhiputra, N (2015) “konsling kelompok teori dan aplikasi”. Yogyakarta: Media Akademik.
Berg, R., Landreth, G, L., & Fall, K, A., (2006) “group counseling concepts and procedures. Fourth edition New York: Brunner-Routledge
Brown, N.W (1994) “ group counseling for elementary and middle school children”. Connecticut London: Praeger
Corey, G. (2012) “Theory & Practice of Group Counseling”. Eighth Edition. Canada: Cengage Learning
Jacobs, ED.E., Masson, R., Harvill, R., Schimmel, C, J. (2009) “ group counseling strategi and skiils”. Canada: Linda Schreiber-Ganster.
Kurnanto, E. (2013) “ Konseling Kelompok”. Alfabeta. Bandung
Latipun. (2006) “Psikologi Konseling”. Malang: UMM Press
Rusmana, N. (2009) “ Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung: Rizke Press
Sonstegard, M., Bitter, J, R., & Pelonis, P. (2004) “ Adlerian Group Counseling and Therapy Step-by Step. New York: Brunner-Routledge



Share this article :
 

1 komentar :

  1. A1E114032 - Pembahasan mengenai tujuan konseling kelompok psikoanalitik, selain bertujuan untuk menata kembali struktur watak dan kepribadian konseli, proses konseling kelompok psikoanalitik juga mampu mewujudkan kepribadian mantap pada tiap-tiap anggota konseling kelompok. Dengan penataan kembali struktur id, ego dan super ego maka ketigaenergi psikis tersebut dapat menjalankan fungsinya secara seimbang. Peran id, ego dan super ego menentukan mantap atau tidaknya kepribadian seseorang karena kepribadian yang mantap dapat tercapai ketika:
    (1) seseorang terhindar dari kecemasan yang diakibatkan oleh ketegangan. Seperti kecemasan tentang kenyataan akibat dari ego, kecemasan neurosis disebabkan oleh id, dan kecemasan moral yang disebabkan oleh super ego.
    (2) Terpecahkan pertentangan antara Id, Ego dan Super ego.
    (3) terdapatnya kematangan dan keseimbangan antara cathexis dan anti-chantexis.

    Terimakasih. (Sumber: BAB I, Hal.22 - Sutja, Akmal. 2016. Teori dan Aplikasi Konseling. Yogyakarta:WR.)

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger