PENDAHULUAN
Konseling merupakan suatu proses yang melibatkan prilaku individu partisipan yang terkait di dalamnya, yaitu konselor dan konseli serta unsur yang terkait yaitu interaksi dan situasi internal dan eksternal. Konseling merupakan inti kegiatan bimbingan secara keseluruhan dan lebih berkenaan dengan masalah individu secara pribadi. Mortensen dalam M. Surya (2003) mengatakan bahwa, “counseling is the heart of the guidance program”.
Jones (M. Surya, 2003) menyebutkan bahwa konseling sebagai suatu hubungan profesional antara seorang konselor yang terlatih dengan klien. Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan ini biasanya bersifat individual atau seorang-seorang, meskipun kadang-kadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya.
Pengertian konseling tersebut menunjukkan
bahwa hubungan atau pertalian antara konselor dengan konseli memegang
peranan yang penting bagi keberhasilan konseling. Hubungan dalam konseling,
berbeda dengan hubungan dalam situasi lain. Dalam konseling terjadi pertemuan
antara konselor dengan konseli melalui serangkaian wawancara. Menurut Shostrom
dan Brammer (M. Surya, 2003) karakteristik hubungan dalam konseling ditandai dengan
hubungan yang bersifat unik dan umum, adanya keseimbangan obyektivitas dan
subyektivitas, adanya keseimbangan unsur kognitif dan konatif, adanya
keseimbangan antara kesamar-samaran dan kejelasan, dan adanya keseimbangan
tanggungjawab.
Konseling merupakan suatu proses yang
dirancang untuk merangsang berpikir agar
ide-ide dapat mengendap, berkembang dan bertumbuh ke arah suatu konsepsi pribadi.
Dengan demikian, ada prinsip-prinsip forma yang harus dilakukan dalam proses
konseling. Prinsip-prinsip ini dengan sendirinya menuntuk kompetensi
profesional bagi konselor agar konseling bisa mendadi suatu layanan bantuan.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan
konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang
dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap
tahapan teknik konseling. Sehingga konselor sedapat mungkin mampu menyediakan
lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi kliennya.
Terkait dengan upaya helping relationship, konselor dituntut untuk memahami tentang
aspek-aspek dalam setiap tahapan yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya
pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang
karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, konselor
harus benar-benar dapat menguasai keterampilan-keterampilan konseling. Dalam
makalah ini akan dibahas salah satu keterampilan yaitu attending personally.
Pengertian Attending
Attending merupakan keterampilan dasar dalam setiap proses komunikasi yang
bersifat dialogis, karena attending
seolah-olah merupakan pembukaan
pintu pertama untuk memulai suatu komunikasi dialogis. Keterampilan
attending merupakan keterampilan komunikasi
melalui isyarat-isyarat verbal
dan non verbal, sehingga memberikan kemungkinan
para mitra memberikan perhatian
kepada pembicara pada tahap paling awal. (M. Surya, 2003).
Pengertian lain, attending adalah suatu keterampilan menghampiri, menyapa, dan
membuat klien agar betah dan mau berbicara dengan konselor. Attending dipahami sebagai kehadiran
secara psikologis, bukan hanya kehadiran secara fisik, tetapi kehadiran
psikologis jauh lebih berpengaruh dalam menentukan intensitas komunikasi yang
dibangun. Attending merupakan
perhatian penuh konselor atau terapis kepada konseli yang sedang dihadapinya,
ditandai oleh adanya keterlibatan kognitif dan emotif konselor dengan situasi
konseling yang tampak berupa tingkah laku, seperti menghadap dan melihat klien
atau mendekati klien. (Andi Mappiare, 2006).
Sedangkan menurut Carkhuff dalam The art of Helping (1983), mengatakan
bahwa melalui attending secara personal seorang
konselor membawa konseli pada jarak yang lebih
dekat. Dengan
demikian seorang konselor dapat mengkomunikasikan kepedulian
mereka kepada konseli.
Mengkomunikasikan minat terhadap konseli cenderung mendatangkan respon timbalik kepedulian dari konseli.
Attending secara personal meliputi
sikap memberikan perhatian penuh dan tak terbagi kepada konseli. Attending secara personal menekankan pada menghadapi konseli secara penuh
melalui sikap: (a) menghadap secara tepat kepada konseli;
(b) condong kedepan ke arah konseli; dan (c) kontak mata dengan klien. Attending secara personal terhadap konseli mempersiapkan
konselor untuk mengamati konseli sepenuhnya.
Secara psikologis, attending merupakan suatu situasi yang memberikan suasana hubungan yang sedemikian rupa di mana klien merasa dirinya diterima,
merasa dekat, merasa penting, dan dihargai martabatnya. (M. Surya, 2003).
Lebih lanjut Truax dan Carkhuff dalam Winkel
(1997), mengatakan bahwa ada empat komponen kondisi yang memperlancar dan
memungkinkan proses komunikasi
antarpribadi (facilitating conditions),
yaitu pengertian terhadap konseli yang dikomunikasikan juga kepada konseli (emphatic understanding); penerimaan,
penghargaan, dan perhatian tulen kepada konseli yang tidak membuat konseli
menggantungkan diri kepada konselor (respect;
nonpossessive warmth); keiklasan dan kejujuran, yang berarti konselor tidak
berpura-pura atau bersandiwara (genuineness,
congruence); berbagi tanggapan verbal yang menunjuk pada perasaan, pikiran,
pengalaman, dan prilaku tertentu pada konseli (concreteness and specfity).
Terdapat
tiga tingkatan keterampilan attending “One way of structuring personal
attending while sitting is to view ourselves in terms of the skills involved.
Indeed, we may rate ourselves as follows according to our demonstration of the skills”. Pertama, High attending: Squared, eye contact, and leaning 20 degrees or
more. Kedua, Moderate attending: Squared, eye contact. Dan, ketiga,
Low
attending: Not squared, slouching.(carkhuff, 1983)
Komponen Attending
Keterampilan attending disebut juga sebagai sikap yang
mencakup komponen: kontak mata, bahasa badan, dan bahasa lisan (verbal dan non
verbal). Prilaku attending yang baik merupakan kombinasi ketiga komponen tersebut, sehingga akan memudahkan konselor untuk membuat klien terlibat pembicaraan dan
terbuka.
1. Kontak Mata.
Dalam
kontak mata perlu memperhatikan konteks budaya, karena ada budaya yang
membolehkan adanya kontak mata antara laki-laki dan perempuan, tetapi ada juga
budaya yang tidak membolehkan. Kontak mata merupakan salah satu sarana untuk
melakukan komunikasi. Dari kontak mata dapat diketahui tentang perasaan
seseorang dan dapat diperoleh pesan non verbal. Dalam kontak mata perlu juga
memperhatikan jarak antara konselor dan konseli agar merasa nyaman. Sebagai
contoh, ada konseli yang merasa tidak nyaman berada pada jarak kurang dari tiga
kaki karena lingkungan sosial menentang hal tersebut.
2. Sikap Badan.
Sikap
badan yang santai itu penting bagi konselor agar dapat berempati terhadap apa
yang dirasakan oleh konseli. Sikap yang tegang akan dirasakan cenderung
mengubah perhatian dari konseli terhadap konselor
sehingga konselor akan merasa
ikut tegang. Salah satu sikap badan yang baik adalah mencondongkan badan
kedepan. Sikap ini menunjukkan ketertarikan kepada pembicaraan yang sedang
dilakukan. Seseorang yang mendapati lawan bicaranya melakukan gerakan condong
kedepan biasanya akan lebih merasa dihormati. Jauh lebih baik untuk melakukan
gerakan condong ke depan secara rileks dan alami. Catatan penting yang harus
diperhatikan adalah berhati-hatilah dengan ruang pribadi lawan bicara. Posisi
yang terlalu dekat juga seringkali membuat seseorang tidak nyaman dalam
berbicara, pastikan kita berada pada posisi jarak yang tepat.
3. Gesture atau gerak-isyarat.
Komunikasi bisa melalui gerakan-gerakan badan. Pesan bisa
dikirimkan oleh konselor melalui gerakan-gerakan isyarat dan sikap
badan. Menjadi konselor yang efektif dalam sebuah percakapan
tidak hanya dipengaruhi oleh baik buruknya kalimat dan pilihan kata yang
digunakan. Ada hal yang lebih menentukan dan berdampak lebih besar dari hal
tersebut, yaitu penggunaan bahasa tubuh yang baik dan empatik.
Ada sejumlah gesture
yang bisa mengirimkan pesan kepada konseli. Diantaranya sebagai berikut:
a) Seyum
Senyum
manis adalah indikasi yang kuat dari sikap ramah dan terbuka serta kesediaan
untuk berkomunikasi. Senyum merupakan sinyal non verbal reseptif yang
dikirimkan dengan harapan orang lain juga ikut tersenyum. Ketika kita
tersenyum, memperlihatkan bahwa kita memperhatikan orang tersebut secara
positif. Dengan tersenyum kita memperlihatkan sikap terbuka untuk melakukan
percakapan.
b) Tangan Terbuka
Gerakan tangan terbuka menunjukkan adanya sebuah penerimaan sosal. Sedangkan sebaliknya gerakan tangan menyilang membuat kita tampak tertutup untuk melakukan pembicaraan maupun untuk melakukan interaksi lainnya. Baik itu dilakukan dalam kondisi duduk maupun dalam kondisi berdiri. Apalagi jika ditambah dengan gerakan tangan menutup mulut, akan mengesankan menjadi seorang yang sedang berpikir keras, dan seperti melemparkan pesan “jangan ganggu saya”.c) Sentuhan
Berjabatan tangan adalah
salah satu teknik yang baik dalam membangun sebuah percakapan yang menarik.
Jadilah orang pertama yang mengulurkan tangan untuk saling berjabatan, maka kita akan membuat
percakapan menjadi lebih menarik. Sertailah uluran tangan ini dengan memberikan
salam yang ramah, tersenyum manis, dan menyebutkan nama, maka itu berarti kita
telah memecahkan batu karang penghambat komunikasi dan membuka saluran
komunikasi dengannya menjadi semakin lancar. Penting pula untuk mengakhiri
percakapan dengan berjabatan tangan yang hangat dan bersahabat, dalam situasi helping relationship maupun sosial.
Sertailah dengan senyuman ceria dan pernyataan bersahabat. Itulah yang akan
menjadi kesan yang tak terlupakan dalam pembicaraan kita.
d) Anggukan Kepala
Anggukan
kepala menunjukkan kita memahami dan mendengarkan apa yang sedang disampaikan.
Anggukan juga biasanya menunjukkan persetujuan sehingga mendorong lawan bicara
untuk tetap nyaman dalam menyampaikan pesan-pesan yang sedang dibicarakannya.
Anggukan kepala disertai dengan senyuman yang ramah juga dapat digunakan untuk
menyapa orang lain yang anda temui, karena anggukan itu seperti bahasa tubuh
pelembut lainnya mengirimkan pesan yang sama yaitu, ”Saya akan dengan senang
hati berkomunikasi dengan Anda”.
4. Verbalisasi dari konselor.
Apa yang dikatakan oleh konselor berhubungan dengan apa yang
dikatakan oleh konseli. Konselor tidak mengajukan beberapa
pertanyaan, tidak membuat topik pembicaraan yang baru, atau menambah maksud
dari konseli dan mengambil intinya. Beberapa penegasan yang tidak
tergantung pribadi, misalnya: ”Saya tahu maksud anda”, sering membantu konseli
untuk bercerita lebih banyak. Konseli bebas mengemukakan secara verbal
tentang ide-ide atau perasaannya dengan caranya sendiri. Salah satu tugas
paling sulit adalah untuk membuat konseli mulai bercerita tanpa bertanya
secara mendalam dan melompat-lompat dari satu topik ke topik lain. Komunikasi verbal (verbal
communication) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan
kepada pihak lain melalui tulisan (written) dan lisan (oral).
Tanpa komunikasi verbal, komunikasi non verbal yang kaya makna akan menjadi
sesuatu yang ambigu dan akan mengakibatkan salah penafsiran. Dengan demikian
prilaku attending yang dasar utamanya adalah aktivitas non verbal harus dibalut
dengan kelokan komunikasi lisan, sebuah sinergi yang ampuh dalam kemantapan helping relationship maupun komunikasi
sosial lainnya. Aribowo Prijosaksono
dan Ping Hartono (20020 menjelaskan lima hukum komunikasi yang efektif. Pada dasarnya
komunikasi adalah upaya kita untuk meraih perhatian, cinta kasih, minat,
kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain.
a)
Respect
Rasa hormat dan saling
menghargai (respect) merupakan hukum pertama dalam kita berkomunikasi dengan
orang lain. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap
saling menghargai dan menghormati, kita dapat membangun kerjasama yang
menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik
secara individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim.
b) Empathy
Empati adalah kemampuan kita
untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain.
Salah satu prasarat utama dalam memiliki sifat empati adalah kemampuan kita
untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau
dimengerti oleh orang lain.
c) Audible
Pesan yang kita sampaikan
harus audible, artinya pesan dapat
diterima dan dimengerti oleh penerima pesan dengan baik. Dari sisi kebulatan
berbicara menjadi penting sehingga pesan bisa
diterima dan mudah ditangkap/cerna.
d) Clarity
Hukum keempat dalam
membangun komunikasi yang efektif adalah pesan yang kita sampaikan harus jelas
sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berlainan. Pesan yang dapat
menimbulkan berbagai penafsiran akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana. Clarity dapat pula berarti keterbukaan.
Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap transparan sehingga dapat
menimbulkan rasa percaya dari penerima pesan atau anggota tim kita. Keterbukaan
akan mencegah timbulnya sikap saling curiga yang akan menurunkan semangat dan
antusisme tim kita.
e) Humble
Sikap ini merupakan unsur
yang terkait dengan hukum pertama, yaitu respect. Untuk membangun rasa
menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita
miliki. Sikap rendah hati adalah sikap yang penuh melayani, sikap menghargai,
mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong, tidak memandang rendah orang
lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh
pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar.
Contoh
perilaku attending yang baik :
- Kepala : melakukan anggukan jika setuju
- Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
- Posisi tubuh :agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
- Tangan :variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan
- Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh
perilaku attending yang tidak baik :
Kepala :kaku
- Muka :kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, mata melotot.
- Posisi tubuh :tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
- Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.
- Perhatian: terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar
Penampilan attending yang baik dapat mendorong: (a)
meningkatkan harga diri klien; (b) menciptakan suasana yang aman, dan (c) dapat
mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Tantangan dalam Attending Personally
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi
interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan
klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno
(2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam
komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan
bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai;
dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak
yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun
sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak
belakang.
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu
berdasarkan prasangka subyektif (social
prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain
disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula
menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu
memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan
yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia
tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar
komuniskasi antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima
hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Membangun Sikap Attending
Attending merupakan sikap yang bisa
dipelajari. Berikut ini adalah petunjuk agar tingkah laku attending
menjadi efektif: (a) Mengadakan kontak dengan konseli selama
pembicaraan; (b) Mempertahankan sikap
tubuh yang santai dengan tetap memberi perhatian; (c) Menggunakan
gerakan-gerakan isyarat untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang diharapkan;
(d) Menggunakan pertanyaan verbal tanpa interupsi, pertanyaan, atau membuat
topik baru.
Mohammad Surya (2003) mengatakan bahwa
keterampilan attending dapat dikembangkan
melalui berbagai cara seperti:
- Ungkapan salam dan sapaan yang penuh sopan, dengan nada suara yang baik;
- Penampilan diri dengan postur (perawakan) fisik yang meyakinkan;
- Gerakan fisik yang disertai dengan perhatian secara menyeluruh;
- Pengakuan, sentuhan, dan kontak fisik yang sederhana dan penuh perhatian, disertai dengan sikap yang menunjukkan bahwa kehadiran konselor sebagai sesuatu yang akan memberikan makna bagi konseli;
- Memelihara kontak mata secara menyeluruh dan tepat sesuai dengan situasi dan topik bahasan, dan
- Mengamati dan menyimak dengan penuh perhatian
Kesimpulan dan Implementasi
Bimbingan dan
konseling merupakan Proses interaksi antara konselor dengan klien/konselee baik
secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung (melalui media : internet,
atau telepon) dalam rangka mem-bantu klien agar dapat mengembangkan potensi
dirinya atau memecahkan masalah yang dialaminya, untuk sampai pada
titik final dalam penentasan suatu masalah yang dialami oleh klien maka
seyogyanya seorang konselor mengetahui dan mempunyai keterampilan dalam
melakukan bimbingan dan konseling tersebut agar bisa terentaskan secara
maksimal suatu permasalahan sesuai dengan apa yang diharapkan bersama. Berdasarkan
teori, konselor yang efektif adalah yang mampu menemukan aspek-aspek diri klien yang paling
dirasakan dan menarik perhatiannya. Jika klien bicara
bebas tentang dirinya, maka pernyataan yang
mengandung emosi berat dan bahasa tubuh pengiringnya harus direspon terlebih dahulu, sehingga klien makin
bebas menyatakan perasaan itu, dan dia akan merasa lega. Sebab klien
adalah manusia dengan segala totalitas kemanusiaannya. Dengan demikian prilaku
attending yang dasar utamanya adalah aktivitas non verbal harus dibalut dengan
kelokan komunikasi lisan, sebuah sinergi yang ampuh dalam kemantapan helping relationship maupun komunikasi
sosial lainnya.
Menurut Stephen Covey, komunikasi merupakan
keterampilan yang penting dalam hidup manusia. Unsur yang paling penting dalam
berkomunikasi adalah bukan sekedar apa yang kita tulis atau yang kita katakan,
tetapi karakter kita dan bagaimana kita menyampaikan pesan kepada penerima
pesan. Penerima pesan tidak hanya sekedar mendengar kalimat yang disampaikan
tetapi juga membaca dan menilai sikap kita. Jadi syarat utama dalam komunikasi
yang efektif adalah karakter kokoh yang dibangun dari fondasi etika serta
integritas pribadi yang kuat.
Konselor yang
efektif akan: (1) Memelihara postur tubuh yang menarik;
(3) Selalu mempertahankan topik masalah klien, dan; (3) Tidak pernah memotong
pembicaraan klien. Kesalahan besar konselor adalah sering mengubah-ubah topik pembicaraan dan mengabaikan serta acuh tak acuh dalam mendengarkan apa yang dikatakan
klien
REFERENSI
Carkhuff, R. Robert.
1985. The Art
of Helping. Massachusetts:
Human
Resource Development Press.
Covey, R. Stephen.
Living the 7 Habit. 2002. Jakarta:
Bina
Rupa Aksara.
Surya, M. 2003. Psikologi
Konseling. Bandung: Pustaka
Bani Quraisy
Kasim,
Anwar dan Happy Karlina Mardjo. 2008. Keterampilan
Konseling. (Diktat). Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Prijosaksono, Aribowo dan Ping Hartono. 2002. Make Yourself A Leader. Jakarta: Elex Media.
Winkel, W.S. 1997. Bimbingan dan
Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo