Profesionalisasi Konseling



Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah

Istilah Bimbingan dan Konseling sudah sangat populer dewasa ini, bahkan sangat penting peranannya· dalam sistem pendidikan. Ini semuanya terbukti karena Bimbingan dan Konseling telah dimasukkan dalam kurikulum Pendidikan sekolah yang merupakan salah satu komponen dari pendidikan, mengingat bahwa Bimbingan dan Konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah dalam rangka meningkatkan mutunya. Hal ini sangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pendidikan itu adalah merupakan usaha sadar yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi-potensinya (bakat, minat, dan kemampuannya). Kepribadian menyangkut masalah perilaku atau sikap mental dan kemampuannya meliputi masalah akademik dan keterampilan. Tingkat kepribadian dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang merupakan suatu gambaran mutu dari orang bersangkutan. Pada masyarakat yang semakin maju, masalah penemuan identitas pada individu menjadi semakin rumit. Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat maju kepada anggota-anggotanya menjadi lebih berat.

Persyaratan untuk dapat diterima menjadi anggota masyarakat bukan saja kematangan fisik, melainkan juga kematangan mental psikologis, kultural, vokasional, intelektual, dan religius. Kerumitan ini akan terus meningkat pada masyarakat yang sedang membangun, sebab perubahan cepat yang terjadi pada masyarakat yang sedang membangun, akan merupakan tantangan pula bagi individu atau peserta didik. Keadaan semacam inilah yang menuntut diselenggarakannya bimbingan dan konseling di sekolah.

Prayitno, 2009: 464 – 468) menyatakan semua tenaga professional pendidik diwajibkan memenuhi persyaratan dan melaksanakan fungsi dan tugas professional dalam wilayah pendidikan dalam pengetian dan batasan yang amat luas sesuai dengan setting penugasan, sebagai contoh pada settink sekolah dan madrasah di sana bertugas dua jenis pendidik yaitu guru dan konselor; diperguruan tinggi bertugas dosen dan konselor. Ketiga tenaga professional pendidik tersebut bekerja pada wilayah kerja yang sama yaitu wilayah pendidikan, namun ketiganya menangani bidang kegiatan yang berbeda.

Kompetensi dasar

Berkaitan dengan kompetensi dasar keprofesionalan pendidik dalam hal ini profesionalisasi guru Bimbingan dan Konseling Prayitno, (2009: 464 – 465) menyatakan bahwa ketetapan bahwa pendidikan adalah tenaga professional membawa konsekuensi bahwa pendidik wajib memenuhi persyaratan profesionalnya sebagaimana dinyatakan pada PP No 19 Tahun 2009 Pasal 28 Ayat 1) yaitu 

“Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pandidikan nasional".

Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku" (PP No.19 Tahun 2005 Pasal 28 Ayat 2).

Di atas persyaratan tersebut di atas, seorang pendidik wajib memahami dan mengamalkan dengan sebaik-baiknya pengertian atau batasan tentang pendidikan yang mejadi wilayah kerja profesionalannya, yaitu:

"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara" (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 1).

Lebih lanjut dikatakan sebagai guru Bimbingan dan Konseling yakni sebagai pengampu pelayanan konseling, menyelenggarakan proses pembelajaran melalui kegiatan pelayanan konseling dalam bidang pengembangan pribadi, kemampuan sosial, kemampuan belajar, dan pengembangan karier di satuan pendidikan tertentu (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, dan perguruan tinggi.

Selaras dengan pernyataan di atas ABKIN (2008) sendiri mengeluarkan rambu-rambu Kompetensi Konselor di Sekolah yang diperkuat UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6 dimana keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur. Kesejajaran posisi ini tidaklah berarti bahwa semua tenaga pendidik itu tanpa keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Demikian juga konselor memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak persis sama dengan guru. Hal ini mengandung implikasi bahwa untuk masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, perlu disusun standar kualifikasi akademik dan kompetensi berdasar kepada konteks tugas dan ekspektasi kinerja masing-masing.

Standar Kompetensi Konselor di Sekolah yang termaktub dalam rambu-rambu ABKIN 2008: 135 – 146) di uraikan sebagai berikut.
  1. Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani
  2. Manguasai landasan teoritik Bimbingan dan Konseling
  3. Menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling yang memandirikan
  4. Mengembangkan pribadi dan profesionalitas secara berkelanjutan
Selanjutnya the Higher Education Long-Term Strategy (HELTS) 2003-2010, mengamanatkan kepada pendidikan tinggi untuk berperan dalam pembangunan masyarakat masa depan Indonesia melalui pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki karakter yang kuat serta menghargai keragaman sebagai perekat integrasi bangsa di samping mampu bersaing baik di tingkat regional dan nasional, maupun di tingkat global dalam rangka peningkatan daya saing bangsa. Untuk mencapai sasaran tersebut, salah satu upaya yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah meningkatkan mutu guru bimbingan dan konseling yang harus bekerja bahu-membahu dengan guru yang mengawaki jalur pendidikan formal di tanah air mulai dari jenjang taman kanak-kanak, sampai dengan jenjang perguruan tinggi, melalui profesionalisasi jabatan guru bimbingan dan konseling yang dalam hal ini disebut sebagai konselor sekolah.

Sebagaimana lazimnya dipahami dalam bidang layanan lainnya, proses profesionalisasi mempersyaratkan kepada konselor untuk mampu memberikan layanan ahli sesuai dengan profesinya sebagai konselor, sehingga layak mendapat penghargaan yang lebih baik dari masyarakat dan pemerintah. Tentu saja, untuk menyediakan konselor profesional yang handal kualitas serta memadai jumlahnya, perlu diselenggarakan Program Pendidikan Profesional Konselor yang pada gilirannya perlu diawaki oleh jajaran Pendidik Konselor lulusan Program Pendidikan Profesional Pendidik Konselor, yang juga handal kualitasnya serta memadai jumlahnya.

Pembahasan mengenai profesionalisasi konselor mencakup alasan pentingnya kualitas layanan bagi konseling, deskripsi mengenai bagaimana profesionalitas itu dimanifestasikan, hambatan-hambatan dalam mewujudkan profesionalisasi itu Surya, M. (2011: 57 – 71) mengemukakan beberapa karakteristik kualitas bagi guru Bimbingan dan Konseling ketika menjalani tugas sebagai praktisi Bimbingan dan Konseling di sekolah yang diuraikan sebagai berikut:

  1. Pengetahuan mengei diri sendiri
  2. Kompetensi
  3. Kesehatan psikologis yang baik
  4. Dapat dipercaya
  5. Kejujuran
  6. Kekuatan ata daya (strength)
  7. Kehangatan
  8. Pendengaran yang aktif
  9. Kesabaran
  10. Kepekaan
  11. Kebebesan
  12. Kesadaran holistik
Dengan mempertimbangkan berbagai kenyataan serta pemikiran yang telah dikaji, bisa ditegaskan bahwa pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh Konselor berada dalam konteks tugas "kawasan pelayanan yang bertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum melalui pendidikan".

Sedangkan ekspektasi kinerja konselor yang mengampu pelayanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan, sehingga pengampu pelayanan profesional itu juga dinamakan "the reflective practitioner”.

Selanjutnya Sukardi, D, K. (2008: 92) mengemukakan tugas guru Bimbingan dan Konseling di sekolah yaitu
  1. Melaksanakan layanan Bimbingan dan Konseling
  2. Memasyaraktkan layanan Bimbingan dan Konseling
  3. Merencanakan program Bimbingan dan Konseling
  4. Melaksanakan segenap program layanan Bimbingan dan Konseling
  5. Mengevaluasi proses dan hasil pelaksanaan program Bimbingan dan Konseling
  6. Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil evaluasi program Bimbingan dan Konseling
  7. Mengadministrasikan kegiatan layanan Bimbingan dan Konseling
  8. Mempertanggung jawabkan tugas dan kegiatannya dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling kepada coordinator Bimbingan dan Konseling
Lebih lanjut Surya (2010: 57) menyatakan sosok utuh kompetensi konselor terdiri atas 2 komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak bisa dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi professional

Pengawasan dan pembinaan

Terkait dengan pengawasan Bimbingan dan Konseling di sekolah Sukardi, D  K, (2008: 114 – 115) mengemukakan bahwa sasaran pengawasan bidang bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, sejak dari SD, SMP, sampai SMA/SMK, baik di sekolah-sekolah dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Nasional maupun departemen-departemen lainnya. Sasaran pengawasan bidang bimbingan dan konseling sekolah dapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Sasaran pengawasan bidang bimbingan dan konseling adalah kegiatan bimbingan dan konseling di SMP, SMA/SMK atau sekolah-sekolah lain yang sederajat yang dilaksanakan oleh guru pembimbing dan kegiatan bimbingan dan konseling di SD atau sekolah-sekolah lain yang sederajat yang dilaksanakan oleh guru kelas.
  2. Pengawas bidang bimbingan dan konseling di SMP, SMA/SMK atau sekolah-sekolah lain yang sederajat diselenggarakan oleh pengawas sekolah bidang bimbingan dan konseling, sedangkan pengawasm bidang bimbingan dan konseling di SD atau sekolah-sekolah lain yang sederajat diselenggarakan oleh pengawas sekolah bidang taman kanak-kanak/sekolah Dasar.
  3. Pengawasan bidang bimbingan dan konseling sarnpai menjangkau para siswa sebagai sasaran pokok kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah. Penilaian terhadap keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling difokuskan kepada berbagai hal positif yang diperoleh siswa dari berbagai kegiatan layanan bimbingan dan konseling
  4. Guru pembimbing dan guru kelas bekerja sama dan saling membantu di antara sejawat mereka, baik yang berada di sekolah yang sama maupun antarsekolah. Demikian juga, guru pembimbing di SMP, SMA/SMK dan guru kelas di SD perlu saling mendukung demi kesinambungan dan lebih efektifnya kegiatan bimbingan dan konseling di semua jenjang persekolahan. Kerja sama, saling membantu, dan saling mendukung itu untuk sebesar-besarnya memanfaatkan hasil penilaian dan pembinaan melalui kegiatan; kepengawasan pengawas sekolah.
  5. Untuk pengembangan bimbingan dan konseling di segenap jenjang persekolahan, pengawas sekolah bidang Bimbingan dan Konseling, dan pengawas sekolah bidang TK/SD, selain memahami wawasan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling di jenjang sekolah masing-masing juga perlu saling membantu dan mendukung. Kerja sama seperti itu akan meningkatkan keberhasilan pengawasan bidang bimbingan dan konseling di sekolah secara menyeluruh.
Untuk unsur-unsur kepengawasan itu sendiri tercantum di dalam SK Mendikbud No. 020/U/1998 tentang Petunjuk Teknik Jabatan Fungsional Pengawas Dan Angka Kreditnya.

Berkaitan dengan kualitas pribadi konselor dalam menjalani layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah Nurihsan, J & Yusuf, S. (2010: 37) menyatakan bahwa kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam konseling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif, disamping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik atau konseling.

Lebih lanjut dikatakan bahwa kenyataan di lapangan menunjukkan tidak sedikit para peserta didik tidak mau datang ke ruang Bimbingan dan Konseling bukan karena guru Bimbingan dan Konseling yang kurang keilmuannya dalam bidang bimbingan akan tetapi peserta didik memiliki kesan bahwa pembimbing bersifat judes atau kurang ramah

Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK)

Musyawarah guru Bimbingan dan Konseling atau yang sekarang dikenal dengan MGBK merupakan wahana bagi guru Bimbingan dan Konseling untuk dapat mengembangkan sejumlah keterampilan berkaitan dengan proses layanan Bimbingan dan Konseling yang diaplikasikan dan atau pengadministrasian disamping sebagai sarana untuk saling berbagi pada fokus permasalahan yang dialami oleh peserta didik sebagai binaan dengan muatan rasio, 1:150. Sebagaimana PP no 111 tahun 2014.

Musyawarah guru Bimbingan dan Konseling merupakan organisasi guru Bimbingan dan Konseling yang terbentuk di kabupaten/ kota yang tersusun dalam program tahunan jangka panjang, menengah dan pendek.

Badrujaman, (2014: 115) menyatakan malalui musyawarah guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat beberapa kendala dalam penyelenggaraan program bimbingan dan konseling di indonesia. Secara organisatoris dan yuridis formal, profesi bimbingan dan konseling menunjukkan kondisi yang semakin mantap. Namun dalam tataran implementasi masih mengalami kelemahan dalam berbagai aspeknya. 

Selanjutnya pernyataan di atas diperkuat oleh Nurihsan, J., Yusuf, S. (2010:100 -102) yang mengemukan bahwa melalui Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) masih terjadi persoalan dalam penyelenggaraan program Bimbingan dan Konseling diantaranya sebagai berikut:
  • Masih terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah dan jumlah peserta didik. Sehingga dampak yang timbul adalah: (a.) Di sekolah tertentu tidak ada guru pembimbing; (b.) Di sekolah tertentu jumlah guru pembimbing tidak seimbang dengan banyaknya peserta didik; (c.)    Guru-guru mata pelajaran diangkat menjadi guru pembimbing.
  • Kebijakan mengangkat guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing memberikan dampak yang kurang baik bagi profesi bimbingan, yaitu melahirkan citra buruk bagi profesi bimbingan dan konseling itu sendiri
  • Meskipun Bimbingan dan Konseling dipandang sebagai kegiatan profesional, namun secara hukum belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh
  • Bimbingan dan Konseling masih belum familier dikalangan masyarakat. Popularitasnya masih terbatas dalam komunitas tertentu.
  • Masih ada Kepala Sekolah yang belum memahami secara tepat program Bimbingan dan Konseling di sekolah, sehingga dapat meruntuhkan  citra atau martabat konselor di kalangan peserta didik.
  • Citra bimbingan dan konseling semakin diperburuk karena masih ada guru pembimbing yang kinerjanya tidak profesional. Mereka masih lemah dalam : (a.)    Memahami konsep-konsep Bimbingan dan Konseling secara komprehensif ; (b.)    Menyusun program bimbingan dan konseling; (c.) Mengimplementasikan teknik-teknik Bimbingan dan Konseling; (d.) Kemampuan berkolaborasi dengan pimpinan sekolah atau guru mata pelajaran; (e.) Mengelola Bimbingan dan Konseling; (f.) Mengevaluasi program Bimbingan dan Konselin; (g.) Penampilan kualitas pribadi masih kurang percaya diri, kurang ramah, kurang kreatif, kurang kooperatif dan kolaboratif;
  • LPTK masih belum memiliki kurikulum yang mantap untuk melahirkan konselor-konselor yang profesional

Partisipasi anggota dalam organisasi profesi

Prayitno, (2010: 468) menyatakan bahwa Tenaga profesional dalam profesi yang sama membentuk suatu organisasi profesi untuk mengawal pelaksanaan tugas-tugas profesional mereka, melalui tridarma organisasi profesi, yaitu: (1) ikut serta mengembangkan ilmu dan teknologi profesi, (2) meningkatkan mutu praktik pelayanan profesi, dan (3) menjaga kode etik profesi. Organisasi profesi ini secara langsung peduli atas realisasi sisi-sisi objek praktik spesifik profesi, keintelektualan, kompetensi dan praktik pelayanan, komunikasi, kode etik, serta perlindungan atas para anggotanya. Organisasi profesi membina para anggotanya untuk memiliki kualitas tinggi dalam mengembangkan dan mempertahankan kemartabatan profesi. Organisasi profesi di samping membesarkan profesi itu sendiri, juga sangat berkepentingan untuk ikut serta memenuhi kebutuhan dan membahagiakan warga negara dan masyarakat luas.

Perkembangan keprofesian guru Bimbingan dan Konseling di Indonesia menjadi semakin mantap dengan terjadinya perubahan nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) pada tahun 2001. Pemunculan nama ini dilandasi terutama oleh pemikiran bahwa Bimbingan dan Konseling harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan publik.

Berdasarkan penelaahan yang cukup kritis terhadap perjalanan historis gerakan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.

Prayitno (Nurihsan, J., Yusuf, S. 2010: 97) mengemukakan bahwa periodesasi perkembangan gerakan Bimbingan dan penyuluhan di Indonesia melalui lima periode yaitu: 
  1. Periode prawancana
  2. Pengenalan
  3. Pemasyarakatan
  4. Konsolidasi dan
  5. Tinggal landas.

Periode I Dan II 

Prawacana dan Pengenalan (sebelum 1960 sampai 1970-an)

  1. Pembicaraan tentang BK telah dimulai terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya di luar negeri
  2. Periode ini berpuncak dengan dibukanya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung
  3. Pembukaan jurusan ini menandai dimulainya periode II yang secara tidak langsung memperkenalkan pelayanan BP kepada masyarakat akademik dan pendidik.
  4. Sukses periode ini ditandai dengan 2 keberhasilan, yaitu diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut

Periode III 

Pemasyarakatan (1970 sampai 1990-an)

  1. Diberlakukannya Kurikulum 1975 untuk SD sampai SMTA
  2. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan kedalamnya layanan BP untuk siswa
  3. Terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia)
  4. Juga ditandai dengan pemberlakukan kurikulum 1984, pelayanan BP difokuskan pada bidang bimbingan karir.
  5. Pada periode ini muncul beberapa permasalahan: (a.) Berkembangnya pemahaman yang keliru yaitu mengidentikan bimbingan karir BK dengan bimbingan penyuluhan BP, sehingga muncul istilah BK / BP; (b.)  Kerancuan dalam mengimplementasikan SK Menpan No. 26 /Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan disekolah.

Periode IV

Konsolidasi (1990 – 2000)

  1. IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru
  2. Pada periode ini ditandai oleh: (a.) Diubahnya secara resmi kata “penyuluhan” menjadi “konseling” sehingga istilahnya menjadi Bimbingan dan Konseling (BK); (b.) Pelayanan BK disekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing secara khusus; (c.) Mulai diselenggarakan penataran (Nasional dan Daerah) untuk guru-guru pembimbing; (d.) Mulai adanya formasi  pengangkatan untuk menjadi guru pembimbing; (e.) Pola pelayanan BK disekolah dikemas dalam “BK pola 17; (f.) Dalam bidang kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK; (g.) Dikembangkannya sejumlah panduan BK disekolah yang lebih operasional oleh IPBI.

Periode  V

Lepas Landas (Mulai dari tahun 2001)

  1. Masih ada permasalahan yang belum terkonsolidasi berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM).
  2. Kelemahan ini berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommited pada pelaksana layanan.
  3. Setelah masa konsolidasi terdapat beberapa peristiwa penting sebagai tonggak menuju era lepas landas: (a) Penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia); (b) Lahirnya Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang didalamnya termuat ketentuan bahwa Konselor termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (BAB I Pasal 1 Ayat 4); (c) Terjalin kerjasama pengurus besar ABKIN dengan Dikti Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling; (d) Kerjasama ABKIN dengan Direktorat PLP dalam merumuskan  kompentensi  guru pembimbing (Konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan pada mereka.
Perkembangan layanan bimbingan di Indonesia berbeda dengan di Amerika : Di Amerika : dimulai dari usaha perorangan dan pihak swasta kemudian berangsur- angsur menjadi usaha pemerintah. Sementara di Indonesia : dimulai dengan kegiatan disekolah dan usaha-usaha pemerintah.

References

ABKIN (2008) Penataan Pendidikan Profesionalan Konselor Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Oendidikan Formal.
Badrujaman, A. (2014) Bimbingan dan konseling; Teori dan aplikasi evaluasi Program. Jakarta: PT Indeks Permata Puri Media.
Lesmana, J, M. (2008) Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI-Press
Munandir, (1996), Program Bimbingan Karir di Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Prayitno dan Amti, Erman, 2004, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta.
Suherman, Uman. 2009. Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bandung : Rizqi Pres
Sukardi D, K. (2008) Pengantar pelaksanaan program Bimbingan dan Konseling di sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sukmadinata, Nana Syaodih, (2007), Bimbingan dan Konseling dalam Praktek Mengembangkan Potensi dan Kepribadian Siswa, Bandung : Maestro.
Surya, Mohamad. (2010) Psikologi konseling). Bandung: Maestro
Syamsul Yusuf LN, & Juntika Nurihsan, (2008), Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung : Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia & Remaja Rosda Karya.
W.S, Winkel, 1991, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : PT Grasindo.
Yusuf, Syamsu dan Nurishan, A. Juntika, 2006, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung : Remaja Rosdakarya

Share this article :
 
Comments
0 Comments
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger