Latest Post

Refleksi dan Umpan Balik: Menyongsong Perjalanan Pembelajaran yang Lebih Baik


Di akhir setiap semester, ada sebuah ritual yang selalu memaksa saya untuk berhenti sejenak, merenung, dan menilai bukan hanya angka dan nilai yang tercetak dikolom ujian, tetapi seberapa jauh perjalanan pemahaman dan pertumbuhan yang telah kita capai bersama. Salah satu momen yang paling mengasikkan adalah olah nilai Ujian Akhir Semester (UAS) mahasiswa, yang tidak hanya menjadi sebuah titik evaluasi hasil akhir, namun juga kesempatan menilai bagaimana mahasiswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif selama satu semester mantap.

Setiap jawaban yang tertera di lembar ujian mengungkapkan cerita tentang pemahaman, perjuangan, dan tentang upaya mencapai puncak pengetahuan. Ada jawaban yang memukau menunjukkan kedalaman pemikiran dan pemahaman yang luar biasa. Ada pula jawaban yang memberikan gambaran tantangan-tantangan yang belum sepenuhnya terjawab, tetapi itu adalah bagian dari perjalanan belajar yang tak ternilai. Tidak jarang saya tersenyum sendiri Ketika membaca jawaban mahasiswa yang begitu unik, penuh kreativitas, bahkan lucunya kebangetan. Jawaban-jawaban itu memiliki daya Tarik yang begitu kuat sehingga bacaanpun  dikhatamkan subuhpun tak terasa. Bagai kecanduan intelektual terasa terhubung dengan proses berpikir mereka, seolah ikut merasakan proses pencarian mereka untuk menemukan jawaban yang paling tepat.


Konsep flow yang diperkenalkan Mihaly Csikszentmihalyi kondisi dimana seseorang merasa sepenuhnya terlibat dalam aktivitas yang mereka lakukan, dengan konsentrasi penuh dan kepuasan yang hebat. Ketika saya membaca jawaban mahasiswa, sebetulnya saya tidak hanya membaca teks namun hadirnya rasa spektrum alir dinamika pemikiran yang mengalir tenang, mengikat untuk terus mengikutinya. Daya Tarik yang saya rasakan untuk membaca lebih jauh dan dalam adalah bentuk dari pengalaman flow, adanya rasa terhubung dengan proses pembelajaran mahasiswa. Sebuah momen yang tidak hanya memuaskan rasa penasaran namun juga mendorong untuk lebih memahami perspektif yang mereka bawa ke dalam ujian bahkan kerapkali melampaui batas-batas materi yang diajarkan.


Dalam konteks pembelajaran nilai bukanlah satu-satunya tujuan. Setiap interaksi baik diskusi di forum e-learning, percakapan langsung di kelas, atau melalui email singkat merupakan jembatan memberikan umpan balik yang membangun. diharapkan tidak hanya menunjukkan area-area yang perlu diperbaiki namun juga trajektoris yang mengarahkan mahasiswa untuk terus berkembang, memperbaiki diri, dan mengasah keterampilan lebih jauh lagi. Mengingatkan hal-hal kecil, seperti penulisan yang benar, "terima kasih" merupakan bagian dari pembelajaran yang lebih besar tentang kesadaran dan ketelitian.


Tentu, teknologi pembelajaran juga memberikan kontribusi nyata dalam proses ini. Dengan adanya Learning Management System (LMS), kami tidak hanya dapat berkomunikasi lebih mudah dan cepat, namun juga menciptakan ruang diskusi yang lebih fleksibel dan mandiri. Teknologi memungkinkan kami untuk terus berinteraksi meskipun berada di luar ruang kelas, dan lebih penting lagi, memberikan mahasiswa ruang yang lebih luas untuk bertanya, mengklarifikasi, dan mengeksplorasi materi lebih mendalam di luar jam kuliah formal.

Meminjam ungkapan Prof Sutja, A Pendidikan bukan hanya tentang menyampaikan materi, tetapi juga tentang memberikan ruang bagi setiap mahasiswa untuk berkembang, baik secara akademis maupun pribadi. Saya percaya bahwa setiap umpan balik, baik yang diberikan melalui media elektronik atau secara langsung di kelas, adalah bentuk kontribusi kecil membentuk individu yang lebih baik, lebih bijak, dewasa dalam bermasyarakat, dan lebih siap menghadapi tantangan di masa depan. Setiap interaksi ini adalah langkah kecil dalam perjalanan panjang menuju pemahaman yang lebih dalam dan keahlian yang lebih matang


Baca Juga

  1. Kendala dan Solusi Pendidikan Orangtua dan Pengajaran dalam Keluarga
  2. Driver Canon PIXMA iP2770
  3. JENIS DAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN ANGGOTA KELUARGA




UAS Lingkungan Keluarga dalam Pendidikan Anak R003-2024

UAS Evaluasi dan Diagnosis Kesulitan Belajar R001-2024

UAS Benchmarking Bimbingan dan Konseling R001;002;003-2024

UAS Bimbingan Konseling-PBA-2024

 


 

Kendala dan Solusi Pendidikan Orangtua dan Pengajaran dalam Keluarga

Pendidikan anak dalam keluarga memainkan peran yang sangat penting bagi perkembangan anak, baik dalam aspek kognitif, sosial, emosional, maupun moral. Orangtua utamanya ayah dan ibu, adalah figur utama dalam proses pendidikan anak. Namun, dalam perjalanannya, pendidikan yang diberikan oleh orangtua sering kali menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Keterbatasan ekonomi, kurangnya kepercayaan diri orangtua,Pendidikan orangtua hingga kesenjangan generasi orangtua yang kemudian memengaruhi polas asuhnya kepada anak adalah diantara kendala yang dialami orantua. Sebagai orangtua seyogianya bijaksana dalam merespon berbagai kesenjangan yang terjadi baik melalui peran aktif orangtua, pengelolaan kondisi ekonomi keluarga, maupun pemberdayaan karier perempuan dalam mendidik anak.

A. Peran Ayah dan Ibu dalam Mendidik Anak

Peran orangtua dalam mendidik anak adalah faktor penting dalam perkembangan anak. Erikson, (Hamdi, 2016) menyatakan hubungan orangtua dan anak pada tahap pertama kehidupan sangat berpengaruh pada perkembangan psikososial anak, khususnya rasa percaya diri. Keberhasilan membentuk hubungan yang aman dengan orangtua pada usia dini cenderung menentukan kepercayaan diri anak dalam menjalani tahapan perkembangan berikutnya. Selaras dengna itu Bowlby, (2017) menyatakan bahwa hubungan yang aman dengan orangtua membentuk dasar yang kuat untuk perkembangan sosial dan emosional anak. Anak yang merasa aman dengan orangtua cenderung lebih percaya diri dan mampu mengatasi stres serta tantangan dalam kehidupanya. 

Peran orangtua dalam menddikan anak juga terlibat dalam perkembangan social dalam hal ini Vygotsky (1978) menyatakan bahwa pengaruh interaksi sosial terhadap perkembangan kognitif anak sangat besar. Orangtua yang terlibat aktif dalam mendidik dan memberikan pengarahan kepada anak melalui scaffolding atau bantuan bertahap dapat mengembangkan kemampuan anak dalam menghadapi tantangan belajar yang lebih besar. Senada dengan itu Piaget, (Adams, 1976) menyatakan pada tahap-tahap perkembangan kognitif anak pentingnya peran orangtua dalam memberikan stimulasi yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. 

Anak-anak melalui fase perkembangan yang berbeda, dan orangtua yang memahami hal tersebut dapat memberikan dukungan yang lebih sesuai dengan fase perkembangan anak. Temuan hasil penelitian Miller et al. (2006) menunjukkan bahwa interaksi yang positif dan responsif antara orangtua dan anak pada usia dini dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak secara signifikan. 

Selanjutnya dalam hubungannya orangtua dan anak selalu diikuti dengan pola asuh orangtua dalam hal ini Lamborn et al. (1991) mengungkapkan bahwa pola asuh demokratis, yang mengedepankan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, lebih efektif mendukung perkembangan emosional dan akademik anak

Dilain sisi Suyanto, (2013) menekankan pentingnya peran budaya dalam pengasuhan anak. Orangtua Indonesia, khususnya dalam keluarga tradisional, sering kali menggunakan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, hormat pada orang tua, dan kejujuran dalam mendidik anak.

B. Peran Kondisi Ekonomi dan Taraf Sosial Keluarga

Kondisi ekonomi dan status sosial keluarga sangat memengaruhi pola pengasuhan dan pendidikan yang diberikan kepada anak. Richardson (1986) mengemukakan bahwa modal ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki orangtua memengaruhi peluang pendidikan yang dapat diberikan kepada anak-anak. Modal sosial yang dimiliki orangtua dapat membuka akses diberbagai sumber daya pendidikan yang bermanfaat bagi anak. Penelitian Duncan et al (2012)  menunjukkan bahwa ketidakmampuan orangtua dalam menyediakan sumber daya ekonomi dan pendidikan seringkali berhubungan dengan pencapaian akademik anak yang lebih rendah

Dilain sisi Morrow & Scorgie Porter (2017) menyatakan keterlibatan orangtua dalam komunitas sosial dan jaringan sosial yang lebih luas dapat mendukung pendidikan anak-anak. Orangtua yang memiliki akses ke modal sosial yang lebih besar cenderung memberikan pengalaman belajar yang lebih kaya bagi anak-anaknya. Selain itu, Merton (2017) mengungkapkan bahwa tekanan ekonomi dapat menciptakan ketegangan dalam keluarga yang berujung pada pola pengasuhan yang kurang optimal. 

Stres yang dihasilkan oleh kondisi ekonomi yang lamah dapat mempengaruhi kualitas interaksi antara orangtua dan anak, yang pada gilirannya memengaruhi pendidikan anak. Lebih jauh lagi teori Ekologi Bronfenbrenner (Garbarino, 1980) menyatakan bahwa kondisi keluarga, termasuk faktor ekonomi dan sosial, merupakan bagian dari sistem ekologi yang mempengaruhi perkembangan anak secara menyeluruh


Unduh Materi Lengkap



Baca Juga:

Jenis dan Karakteristik Keluarga dan Anggota Keluarga

Prosedur Diagnosis Kesulitan Belajar

 

Driver Canon PIXMA iP2770

Printer adalah perangkat penting untuk kebutuhan cetak sehari-hari, baik di rumah, sekolah, maupun kantor. Meski belakangan banyak merek dan model yang beredar dipasaran, harga yang relative terjangkau dan kepraktisannya membuat Canon iP2770 masih tergolong dekat di berbagai kalangan. Agar performa printer Canon iP2770 tetap optimal, diperlukan pemasangan driver yang sesuai. Driver ini berguna untuk memastikan printer berjalan lancar, mendukung fitur-fitur bawaan, dan kompatibel dengan sistem operasi terkini.


Jika Anda mengalami kesulitan mencari driver ini, Anda bisa mengunduhnya dengan mudah melalui tautan di bawah ini.


 

JENIS DAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN ANGGOTA KELUARGA


 

Keluarga merupakan unit dasar dalam masyarakat yang memainkan peran penting dalam perkembangan individu dan pembentukan nilai-nilai sosial. Terdapat berbagai jenis keluarga dengan karakteristik yang berbeda-beda, baik dari segi struktur, fungsi, maupun peran anggotanya. Jenis-jenis keluarga dapat dikelompokkan menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family), di mana masing-masing memiliki dinamika yang unik. Karakteristik keluarga meliputi hubungan antar anggota keluarga, pola komunikasi, dan peran orang tua dalam pengasuhan. Pemahaman tentang jenis dan karakteristik keluarga ini penting untuk memahami bagaimana lingkungan keluarga mempengaruhi perkembangan psikologis, emosional, dan sosial setiap anggotanya, khususnya anak-anak. Setiap keluarga juga dipengaruhi oleh sistem nilai budaya, sosial, dan agama yang membentuk pola interaksi dan hubungan di dalamnya, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan dan perkembangan individu dalam keluarga.

Keluarga Inti (Nuclear Family)

Teori Ahli: Menurut Bronfenbrenner (1979) dalam teori Ecological Systems Theory, keluarga inti merupakan bagian dari microsystem yang memberikan pengaruh langsung dan mendalam terhadap perkembangan anak. Interaksi orang tua-anak dalam keluarga inti menjadi komponen penting dalam pembentukan identitas dan kepribadian anak.

Penelitian Carlson dan Corcoran (2001) menemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam keluarga inti dengan interaksi yang sehat antara orang tua dan anak, cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih baik dan kesejahteraan emosional yang lebih stabil.

Contoh: Keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan dua anak yang tinggal di rumah sendiri tanpa intervensi atau pengaruh langsung dari kerabat lain.


Unduh Materi Lengkap


Baca Juga: 

Beragam Permasalahan yang Timbul dalam Keluarga akibat Dampak Keberagaman Budaya

Melokalisasi Kesulitan Belajar dan Jenis-Jenis Kesulitan Belajar

 

Beragam Permasalahan yang Timbul dalam Keluarga akibat Dampak Keberagaman Budaya



Keberagaman budaya dalam keluarga adalah situasi di mana anggota keluarga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Keberagaman ini sering kali dipengaruhi oleh pernikahan antarbudaya, migrasi, serta kehidupan sosial yang semakin terbuka. Di satu sisi, keberagaman budaya dapat memperkaya nilai-nilai keluarga dengan perspektif yang luas. Dilain sisi keberagaman memunculkan berbagai permasalahan, terutama dalam hal penyesuaian nilai, norma, dan gaya hidup yang berbeda di antara anggota keluarga.

 

Melokalisasi Kesulitan Belajar dan Jenis-Jenis Kesulitan Belajar



Kesulitan belajar adalah kondisi di mana siswa mengalami hambatan dalam proses belajar, baik dalam memahami materi, mengingat informasi, atau menerapkan pengetahuan yang dipelajari. Untuk mengatasi masalah ini, guru harus mampu melokalisasi kesulitan belajar dan memahami jenis-jenis kesulitan yang mungkin dialami siswa. Lokalisasi kesulitan belajar membantu pendidik menemukan solusi yang tepat berdasarkan kebutuhan individu siswa

Silakan unduh materi




 

Beragam Permasalahan yang Timbul di Sekolah Sebagai Dampak Keberagaman Budaya



Sekolah merupakan tempat di mana beragam budaaya bertemu. Di Indonesia, keberagaman ini terlihat jelas dengan hadirnya sisw dari latar belakang budaya, etnis, dan agama yang berbeda. Keberagaman ini adalah sumber kekayaan, namun juga membawa tantangan tersendiri dalam menciptakan lingkungan belajar yang harmonis dan inklusif. Dalam konteks bimbingan dan konseling, pemahaman yang mendalam tentang perbedaan budaya menjadi penting untuk membantu siswa beradaptasi dan menyelesaikan masalah yang timbul akibat perbedaan tersebut.

Peran guru bk sekolah dapat membantu siswa memahami, menerima, dan menghormati perbedaan, serta berperan sebagai fasilitator menciptakan komunikasi yang efektif antara individu atau kelompok dengan latar belakang budaya yang berbeda. Permasalahan seperti bullying, pelecehan, dan konflik etnis sering kali muncul di lingkungan sekolah multikultural. Oleh karena itu, pendekatan multikultural dalam bimbingan dan konseling sangat penting dalam mencegah dan mengatasi masalah tersebut.

1. Bullying Berbasis Budaya di Sekolah Multikultural


Bullying adalah salah satu masalah paling umum yang terjadi di sekolah multikultural. Bullying berbasis budaya terjadi ketika siswa diintimidasi atau dilecehkan karena perbedaan budaya, etnis, agama, atau bahasa. Bentuk bullying ini bisa berupa bullying verbal (menghina, mengejek), non-verbal (gestur, isolasi sosial), atau bahkan fisik.

Dan Olweus (1993) mendefinisikan bullying sebagai perilaku agresif yang disengaja, berulang, dan terjadi ketika ada ketidakseimbangan kekuatan. Olweus juga menyatakan bahwa dalam lingkungan multikultural, perbedaan budaya dan etnis sering kali menjadi dasar bullying yang berbentuk intimidasi verbal, fisik, atau sosial.

James Banks (2009) dalam Multicultural Education berpendapat bahwa pendidikan yang inklusif, yang mengajarkan siswa tentang pentingnya menghargai perbedaan budaya, dapat membantu mencegah bullying berbasis budaya. Banks menekankan pentingnya integrasi nilai-nilai multikultural dalam kurikulum sekolah.

Guru bk sekolah dapat mengambil peran mengidentifikasi kasus bullying yang terjadi karena perbedaan budaya. Salah satu pendekatan efektif adalah dengan memberikan pendidikan kepada siswa tentang pentingnya empati, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan. Konselor juga dapat memberikan dukungan kepada korban bullying melalui sesi konseling individu maupun kelompok, serta melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif.

Studi oleh Verkuyten (2004) menemukan bahwa siswa minoritas budaya sering menjadi target bullying berbasis budaya karena perbedaan fisik, agama, atau bahasa. Penelitian lain oleh Thornberg (2015) menunjukkan bahwa pendekatan berbasis empati dan peningkatan kesadaran multikultural di kalangan siswa efektif dalam menurunkan tingkat bullying di sekolah-sekolah dengan keragaman budaya.

Di sekolah-sekolah di Jakarta, implementasi program "Peer Mediation" yang dipandu oleh konselor terbukti berhasil mengurangi kasus bullying berbasis budaya. Wardhani (2017) menunjukkan bahwa program ini meningkatkan keterampilan komunikasi lintas budaya siswa, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Program ini melibatkan siswa sebagai mediator antar teman, terutama dalam menangani konflik terkait perbedaan budaya.

Intervensi konselor yang efektif dalam menangani bullying berbasis budaya seyogianya melibatkan pendekatan empati, peer mediation, dan program pendidikan multikultural yang berkelanjutan.

2. Penanganan Kasus Pelecehan Berbasis Budaya di Sekolah


Pelecehan berbasis budaya sering kali terjadi ketika siswa dari kelompok minoritas mengalami diskriminasi atau tindakan yang merendahkan berdasarkan latar belakang budayanya. Pelecehan ini bisa berupa komentar rasis, perilaku diskriminatif, atau perlakuan yang tidak adil.

Guru bk sekolah seyogianya tanggap terhadap tanda-tanda pelecehan yang dialami siswa. memberikan intervensi langsung kepada korban melalui konseling untuk membantu memulihkan kepercayaan diri dan harga diri. Guru bk sekolah dapat bekerjasama dengan seluruh guru dan pemangku kepentingan juga orangtua siswa di sekolah untuk memastikan bahwa respon bk sesuai kebutuhan siswa dan aturan sekolah, Guru bk sekolah dapat membangun budaya sekolah yang inklusif. Misalnya, mengadakan program kesadaran budaya yang melibatkan siswa, guru, dan orang tua dalam membangun pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya menghargai perbedaan budaya

Glick dan Fiske (1996) dalam Ambivalent Sexism Theory menunjukkan bahwa prasangka berbasis stereotip budaya atau etnis sering kali menjadi dasar pelecehan, baik secara verbal maupun non-verbal. Cross (1989) menambahkan bahwa kompetensi budaya sangat penting bagi konselor untuk memahami dinamika ini dan menangani kasus pelecehan dengan tepat.

Sue dan Sue (1990) juga menekankan pentingnya cultural competence dalam menangani kasus diskriminasi dan pelecehan di sekolah. Menurut mereka, konselor harus memiliki keterampilan untuk mengenali pola-pola pelecehan yang halus (misalnya microaggressions) dan memberikan dukungan serta intervensi yang efektif.

Studi oleh Paradies et al. (2015) menunjukkan bahwa program pendidikan keragaman budaya di sekolah-sekolah di Australia secara signifikan mengurangi insiden pelecehan dan meningkatkan interaksi yang positif di antara siswa dari latar belakang budaya yang berbeda. Selain itu, penelitian oleh Sue et al. (2007) menunjukkan bahwa microaggressions sering terjadi dalam interaksi sehari-hari dan membutuhkan intervensi segera dari konselor.

Di Surabaya, sebuah kasus terjadi di mana siswa keturunan Tionghoa menjadi korban pelecehan verbal karena perbedaan bahasa. Wardana (2018), program multicultural competence di sekolah ini berhasil mengurangi pelecehan serupa setelah diterapkan. Konselor sekolah menggunakan pendekatan mediasi untuk menyelesaikan konflik dan memberikan pelatihan empati kepada pelaku.

Langkah-langkah yang diambil oleh konselor dalam menangani pelecehan berbasis budaya harus mencakup pendekatan berbasis kompetensi budaya, mediasi, serta pendidikan inklusif keragaman budaya.

3. Resolusi Konflik Etnis di Sekolah Multikultural


Konflik etnis sering kali muncul di sekolah multikultural akibat perbedaan dalam pandangan, nilai, atau stereotip yang berhubungan dengan budaya atau etnis tertentu. Konflik ini dapat berdampak buruk pada lingkungan belajar dan hubungan antar siswa.

Guru bk sekolah dapat sebagai mediator dalam konflik etnis. Menciptakan ruang dialog yang aman dan terbuka bagi siswa dari berbagai latar belakang budaya untuk berbicara keberagaman. Dengan membantu siswa memahami perspektif satu sama lain, konselor dapat memfasilitasi penyelesaian konflik secara damai. Dapat menggunakan pendekatan mediasi untuk menyelesaikan konflik etnis. Teknik seperti negosiasi dan restorative justice dapat membantu siswa yang terlibat konflik untuk saling memahami dan mencari solusi yang adil. Program bimbingan yang berfokus pada pembangunan kesadaran akan nilai-nilai budaya juga penting untuk meminimalisir konflik di masa depan.

Menurut Coser (1956) dalam The Functions of Social Conflict, konflik etnis di sekolah multikultural sering kali disebabkan oleh perbedaan dalam nilai-nilai budaya dan pandangan dunia. Konflik ini dapat menciptakan perpecahan yang dalam jika tidak ditangani dengan baik.

Lederach (1995) dalam Conflict Transformation Theory menekankan bahwa konflik etnis dapat menjadi peluang untuk memperbaiki hubungan jika dihadapi dengan pendekatan transformasi konflik yang berfokus pada mediasi dan pendidikan budaya.

Studi oleh Pettigrew dan Tropp (2006) menunjukkan bahwa kontak positif antar kelompok etnis yang difasilitasi secara sistematis oleh konselor dapat mengurangi prasangka. Lebih lanjut Penelitian Johnson dan Johnson (2000) bahwa resolusi konflik berbasis kolaborasi lebih efektif dalam mengatasi konflik etnis dibandingkan pendekatan kompetitif.

Rahman (2019), pendekatan mediasi dan mengadakan sesi kelompok mempromosikan pemahaman lintas budaya terbukti berhasil mengurangi ketegangan dan membangun hubungan positif di antara kelompok siswa yang mengalami konflik antara siswa dari dua kelompok etnis berbeda di bandung

Kseimpulan

Konselor sekolah dapat memfasilitasi penyelesaian konflik etnis dengan pendekatan mediasi, dialog lintas budaya, dan program pembelajaran kolaboratif yang melibatkan siswa dari berbagai latar belakang budaya.

4. Resolusi Konflik: Upaya Memahami Kultur Subjektif dalam Bimbingan dan Konseling Multikultural


Kultur subjektif" merujuk pada cara individu memaknai budayanya sendiri, yang bisa berbeda dari pandangan orang lain terhadap budayanya. Pemahaman terhadap kultur subjektif menjadi penting dalam bimbingan dan konseling multikultural, karena kesalahpahaman terkait perbedaan ini dapat memicu konflik antar siswa.

Guru bk/konselor sekolah dapat membantu siswa memahami bahwa setiap individu memiliki pengalaman budaya yang unik. Melalui pendekatan multikultural dalam konseling, konselor dapat mendorong siswa untuk menghargai perbedaan tersebut dan belajar untuk lebih terbuka dalam menerima perbedaan sudut pandang.Program konseling yang menekankan kesadaran budaya dapat membantu siswa mengidentifikasi dan menghargai perbedaan-perbedaan tersebut. Kegiatan seperti cross-cultural dialogue atau story-sharing dapat membantu siswa membangun pemahaman yang lebih mendalam terhadap kultur subjektif teman-temannya.

Hofstede (1980) dalam Cultural Dimensions Theory menunjukkan bahwa setiap budaya memiliki karakteristik subjektif yang unik, seperti individualisme vs. kolektivisme, yang sering kali menjadi sumber konflik antar siswa. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi ini sangat penting dalam bimbingan dan konseling multikultural.

Sue dan Sue (1990) dalam Multicultural Counseling Competencies menekankan bahwa konselor harus peka terhadap perbedaan-perbedaan subjektif antar budaya dan membantu siswa mengatasi konflik dengan cara yang menghormati perspektif budaya masing-masing individu.

Ting-Toomey (1999) menemukan bahwa perbedaan dalam interpretasi budaya sering kali menjadi sumber utama konflik dalam kelompok multikultural. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan keterampilan komunikasi lintas budaya dapat membantu menyelesaikan konflik yang muncul dari perbedaan budaya subjektif.

Terjadi konflik antara siswa dari latar belakang budaya Asia dan Eropa terkait metode belajar di sekolah internasional di Bali. Lestari (2020), menggunakan pendekatan cross-cultural dialogue untuk membantu siswa memahami perbedaan dalam gaya belajar, pendekatan ini terbukti efektif dalam mengurangi ketegangan dan meningkatkan saling pengertian.

Pemahaman terhadap kultur subjektif menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik budaya di sekolah. Konselor harus membimbing siswa untuk menghargai perspektif yang berbeda dan menggunakan dialog lintas budaya untuk menyelesaikan konflik.

5. Studi Perdamaian untuk Mengkaji Konflik di Sekolah Multikultural


Studi perdamaian merupakan pendekatan yang berfokus pada pencegahan konflik melalui pengajaran nilai-nilai toleransi, kerjasama, dan resolusi konflik damai. Di sekolah multikultural, pendekatan ini dapat diterapkan oleh konselor untuk menciptakan lingkungan yang lebih harmonis.

Guru bk sekolah dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip studi perdamaian ke dalam program bimbingan sekolah. Misalnya, melalui pengajaran tentang resolusi konflik non-kekerasan, kerjasama lintas budaya, dan pemahaman akan hak asasi manusia.

Konselor sekoah dapat memfasilitasi kegiatan yang berfokus pada penyelesaian masalah secara damai melalui diskusi kelompok, simulasi konflik, atau kegiatan pembelajaran bersama yang melibatkan siswa dari latar belakang budaya yang berbeda.

Johan Galtung (1996) dalam Peace by Peaceful Means mengusulkan konsep perdamaian positif, yang tidak hanya berarti tidak adanya kekerasan, tetapi juga adanya keadilan sosial. Prinsip-prinsip studi perdamaian, seperti non-kekerasan, dialog, dan transformasi konflik, relevan untuk diterapkan dalam konteks sekolah multikultural.

Penelitian oleh Harris dan Morrison (2003) menunjukkan bahwa program pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah multikultural dapat mengurangi kekerasan antar kelompok etnis dan meningkatkan toleransi di kalangan siswa. Program ini juga mengajarkan keterampilan penyelesaian konflik non-kekerasan, yang sangat penting dalam lingkungan yang beragam budaya.

Penelitian Matsumoto (2018) menerapkan program Peace Education di beberapa sekolah di jepang untuk meningkatkan pemahaman antar siswa dari latar belakang budaya yang berbeda, hasil peneltian menunjukkkan bahwa program Peace Education terbukti berhasil mengurangi insiden konflik dan memperkuat hubungan antar siswa di sekolah multikultural

Penerapan prinsip-prinsip studi perdamaian dalam bimbingan dan konseling sekolah multikultural efektif untuk mencegah konflik dan menciptakan lingkungan sekolah yang damai dan inklusif.

Daftar Pustaka

Banks, J. A. (2009). Multicultural Education: Issues and Perspectives. John Wiley & Sons.
Coser, L. A. (1956). The Functions of Social Conflict. Free Press.
Galtung, J. (1996). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. Sage Publications.
Glick, P., & Fiske, S. T. (1996). The Ambivalent Sexism Inventory: Differentiating Hostile and Benevolent Sexism. Psychology of Women Quarterly.
Harris, I. M., & Morrison, M. L. (2003). Peace Education. McFarland & Company, Inc.
Hofstede, G. (1980). Culture's Consequences: International Differences in Work-Related Values. Sage Publications.
Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (2000). The Impact of Conflict Resolution Training on Middle School Students. Journal of Conflict Resolution.
Lederach, J. P. (1995). Preparing for Peace: Conflict Transformation Across Cultures. Syracuse University Press.
Matsumoto, D. (2018). Cultural Differences in Emotional Reactions to Conflict. Asian Journal of Social Psychology.
Olweus, D. (1993). Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Blackwell Publishers.
Paradies, Y., Truong, M., & Priest, N. (2015). A Systematic Review of the Extent and Measurement of Healthcare Provider Racism. Journal of Social Issues.
Pettigrew, T. F., & Tropp, L. R. (2006). A Meta-Analytic Test of Intergroup Contact Theory. Journal of Personality and Social Psychology.
Sue, D. W., & Sue, D. (1990). Multicultural Counseling Competencies. Journal of Counseling & Development.
Thornberg, R. (2015). Bullying and Its Social Context: A Qualitative Study of Peer-to-Peer Bullying in Schools. Scandinavian Journal of Educational Research.
Ting-Toomey, S. (1999). Communicating Across Cultures. Guilford Press.
Verkuyten, M. (2004). Ethnic Diversity and Identity: Theoretical and Empirical Perspectives. University Press.
Wardhani, R. (2017). "Implementasi Program Peer Mediation dalam Mengurangi Bullying Berbasis Budaya di Sekolah Multikultural di Jakarta." Jurnal Pendidikan Multikultural.
Wardana, A. (2018). "Penggunaan Kompetensi Multikultural dalam Menangani Kasus Pelecehan Etnis di Sekolah." Jurnal Konseling dan Pendidikan.
Rahman, F. (2019). "Efektivitas Mediasi dalam Penyelesaian Konflik Etnis di Sekolah Menengah Bandung." Jurnal Ilmu Sosial.
Lestari, H. (2020). "Meningkatkan Pemahaman Lintas Budaya Melalui Pendekatan Komunikasi Antarbudaya di Sekolah Internasional di Bali." Jurnal Pendidikan Internasional.

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger