Untuk dapat berkembang
dengan baik dan mandiri, individu memerlukan pengetahuan dan keterampilan, jasmani dan rohani yang sehat, serta
kemampuan penerapan nilai dan norma-norma
hidup kemasyarakatan. Integrasi bimbingan dan konseling dalam pendidikan juga tampak dari
dimasukannya secara terus menerus program-program bimbingan dan konseling ke dalam program-program
sekolah (Belkin,1975; Borbers &
Drury,1992); konsep-konsep dan praktek-praktek bimbingan dan konseling
merupakan bagian integral
upaya pendidikan (Mortensen &
Schmuller,1964). Kegiatan bimbingan, bimbingan dan konseling akan selalu terkait dengan pendidikan, karena keberadaan
bimbingan dan konseling dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendidikan itu sendiri.
Bimbingan dan konseling merupakan proses
yang menunjang pelaksanaan pendidikan di sekolah (Natawidjaja, 1978:30), karena program bimbingan dan konseling meliputi
aspek-aspek tugas perkembangan individu,
khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan dan karir,
kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial. Hasil-hasil
bimbingan dan konseling
pada kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan yang bermutu pada umumnya.
Dengan kata lain, pendidikan dapat memanfaatkan bimbingan dan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya
secara fungsional,
bimbingan dan konseling sangat signifikan sebagai salah satu upaya
pendidikan untuk membantu
individu memperkembangkan diri secara
optimal sesuai dengan tahap-tahap
perkembangan dan tuntutan lingkungan. Bimbingan dan konseling membantu
individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupan
yang memiliki berbagai wawasan,
pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat guna berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungan.
Bimbingan dan konseling
merupakan proses yang menunjang pelaksanaan program pendidikan di sekolah, karena program-program bimbingan dan konseling meliputi aspek- aspek
perkembangan individu, khususnya menyangkut
kawasan kematangan pendidikan, kematangan karir, kematangan persona dan emosional, serta kematangan
sosial. Hasil bimbingan dan konseling dalam kawasan ini diyakini sangat menunjang keberhasilan pendidikan pada umumnya.
Pendidikan sebagai proses interaksi, selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berkembang
dalam proses menjadi. Pendidikan
bertugas membantu manusia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi, dan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan merupakan proses yang bersifat individual sehingga strategi pendidikan harus dilengkapi dengan strategi khusus yang lebih
intensif dan menyentuh dunia kehidupan secara individual.
Strategi ini dapat memperhalus, menginternalisasi, dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola
perilaku yang dipelajari lewat proses pendidikan secara umum (Kartadinata,2007: 104). Bentuk strategi khusus ini dapat ditemukan dalam
kegiatan bimbingan dan konseling baik bimbingan dan konseling
individual maupun kelompok
yang dilakukan oleh konselor
profesional yang
mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tujuan.
Intervensi bimbingan dan konseling dalam merealisasikan fungsi pendidikan
akan
terarah kepada upaya membantu individu yang dapat dilakukan melalui
bimbingan dan konseling untuk memperhalus,
menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang
mandiri. Dalam proses bimbingan dan konseling amat mungkin diperlukan dan digunakan berbagai metode dan teknis psikologis untuk memahami dan
mempengaruhi perkembangan perilaku individu, dengan tetap berstandar
dan terarah kepada pengembangan
manusia sesuai dengan hakikat
eksistensinya.
Bimbingan
dan konseling mengemban tanggung jawab untuk membantu individu mampu menyesuaikan diri terhadap dinamika
dan kehidupan sosial. Hakikat manusia dengan segenap dimensi kehidupan manusia yang perlu
dikembangkan, yaitu dimensi spiritual dan psikologis, sosio-emosional, fisik,
serta segenap tujuan dan tugas kehidupan menjadi landasan bagi konsepsi dan penyelenggaraan
bimbingan dan konseling itu sendiri. Manusia adalah segala-
galanya bagi pelayanan bimbingan dan konseling.
Ini berarti bahwa hakikat tujuan bimbingan dan konseling
harus bertolak dari sistem nilai dan kehidupan yang menjadi rujukan manusia yang
ada dalam sistem kehidupan
tersebut.
Teori dan konsep bimbingan dan konseling yang didasarkan pada sistem
kehidupan sosial dan budaya tertentu
belum tentu berlaku bagi sistem
kehidupan sosial dan budaya lain, untuk itu diperlukan perspektif sosiologis secara khusus dipersiapkan untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan
konseling, dalam hal ini secara eksplisit telah ditetapkannya:
- Pelayanan bimbingan dan konseling sebagai salah satu layanan pendidikan yang harus diperoleh semua peserta didik telah termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
- ”Konselor” sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I Pasal 1 butir 6 dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”.
- Pelayanan bimbingan dan konseling yang merupakan bagian dari kegiatan pengembangan diri telah termuat dalam struktur kurikulum yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Menengah.
- Beban kerja Guru bimbingan dan konseling atau konselor pada Pasal 54 ayat (6) Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang menyatakan bahwa beban kerja Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memperoleh tunjangan profesi dan masalah tambahan adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 54 ayat (6) yang dimaksud dengan “mengampu layanan bimbingan dan konseling” adalah pemberian perhatian, pengarahan, pengendalian, dan pengawasan kepada sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) peserta didik, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pelayanan tatap muka terjadwal di kelas dan layanan perseorangan atau kelompok bagi yang dianggap perlu dan memerlukan.
- Penilaian kinerja Guru bimbingan dan konseling (konselor) pada Pasal 22 ayat (5) Peraturan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 tahun 2010 tentang petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dinyatakan bahwa penilaian kinerja Guru bimbingan dan konseling (konselor) dihitung secar proporsional berdasarkan beban kerja wajib paling kurang 150 (seratus lima puluh) orang siswa dan paling banyak 250 (dua ratus lima puluh) orang siswa per tahun.
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor, yang menyatakan bahwa kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah: (i) sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang bimbingan dan konseling ; (ii) berpendidikan profesi konselor. Kompetensi konselor meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional, yang berjumlah 17 kompetensi dan 76 sub kompetensi.
Berbagai upaya kearah profesionalisasi bimbingan
dan konseling telah banyak dilakukan dan telah membawa profesi bimbingan dan konseling
khususnya dalam setting pendidikan persekolahan lebih baik dari sebelumnya. Perubahan
dan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan dalam rentang diversifikasi kebutuhan
yang amat luas menuntut profesi bimbingan dan konseling untuk menyesuaikan diri
kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat tersebut. tatanan masyarakat dewasa mengindikasikan
bahwa pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dibutuhkan dalam setting pendidikan
persekolahan tetapi juga dalam setting kehidupan masyaraka yang lebih luas.
Profesi bimbingan dan konseling menjadi makin
kokoh terlebih dapat menjadi pilar kepercayaan public (public trust) yang akan segera diwujudkan dengan didukung oleh konselor
sebagai tenaga profesional dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan
Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor. Disisi lain menguak tentang hakikat tujuan konseling
dan kehidupan individu yang hendak
dilayani, pengakuan ini terus mendorong perlunya tenaga profesional yang merupakan
penegasan kualifikasi pendidikan guru bimbingan dan konselingdan
atau konselor.
Berorientasi pemecahan masalah
baik dalam tataran obyektif (dalam proses
mempelajari) maupun
dalam tataran normative
(dalam proses membawa).
Orientasi masalah dalam tataran obyektif terfokus kepada persoalan apa dan mengapa individu berada dalam kondisi demikian, dan
orientasi masalah pada tataran normative terkait dengan bagaimana mengembangkan, mengubah, dan memperbaiki kondisi tersebut. Pelayanan
bimbingan dan konseling harus didasarkan norma-norma yang berlaku, baik isinya,
prosesnya, tekniknya, hingga instrumentasi
yang dipergunakan.
Pelayanan
yang tidak normatif
bukanlah merupakan pelayanan bimbingan dan
konseling. Bimbingan dan konseling
yang
dimaksud disini merupakan pelayanan bantuan yang berakar
pada budaya kita, dan mempunyai landasan
ilmiah psikologi dan pendidikan.
KAJIAN LANJUTAN
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
kependidikan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (2016) Modul Guru
pembelajar; Bimbingan dan Konseling
sekolah menengah pertama (SMP). Teori dan praksis Pendidikan; Konsep dan
Praksis Asesmen.