Sejarah singkat
William Herbert Sheldon lahir di Warwick, Rhode
Island, pada tanggal 19 November tahun 1898, Sheldon tumbuh dalam lingkungan
pertanian. Suasana desa selama awal kehidupannya dan hubungan yang erat` dengan
ayahnya, seorang pecinta alam dan peternak, besar pengaruhnya terhadap
nilai-nilai dan pandangannya mengenai tingkah laku manusia. Bahkan dewasa ini,
tulisannya memperlihatkan bukti yang jelas tentang perhatiannya terhadap dunia
binatang, dan banyak dari ide-idenya tentang faktor-faktor tingkah laku manusia
tampaknya berkembang dari pengetahuannya tentang cara-cara hidup binatang dan
jenis-jenisnya.
Sheldon menyelesaikan pendidikan Dasar dan menengahnya di
sekolah-sekolah negeri dan masuk Universitas Brown di mana ia mendapat gelar
B.A. pada tahun 1919. Kemudian mendapat gelar M.A. dari Universitas Colorado
dan Ph.D. dalam psikologi dari Universitas Chicago pada tahun 1926. Selanjutnya
pada tahun 1933 di Universitas yang sama ia mendapat gelar. M.D. Setelah bertugas dalam
dinas Angkatan Darat selama perang, pada tahun 1947 Sheldon menerima jabatan sebagai
direktur Constitution Laboratory, College of Psysicians and Surgeons,
Universitas Columbia, di mana ia menetap sampai pensiun, rnenggantikan George
Draper, seorang perintis dalam bidang Constitutional Medicine; meneliti
hubungan antara penyakit organik dan struktur jasmani. Sampai akhirnya
meninggal pada tanggal 17 September 1977 di Cambridge,
Massachusetts.
1) Teori Kepribadian Sheldon
Sheldon
beranggapan bahwa dalam jasmani psikolog dapat menemukan satuan-satuan konstan,
sub‑sub struktur kokoh yang sangat dibutuhkan untuk memasukkan konsep tentang
regularitas dan konsistensi ke dalam studi tentang tingkah laku manusia. Semua
ini tersirat dalam pernyataan berikut: “Sudah
menjadi semakin jelas bahwa situasi memerlukan suatu psikologi yang
berorientasi biologis, atau yang mcngambil sebagai kerangka acuan
operasionalnya, suatu gambaran struktur (beserta tingkah laku) organisme
manusia sendiri yang dapat di pertahankan secara ilmiah. Mungkin dapat
dikatakan juga bahwa psikologi membutuhkan antropologi jasmani sebagai
pendukung dasarnya yang langsung. Lebih dari itu, psikologi membutuhkan
antropologi jasmani yang disampaikan dalam bentuk komponen-komponen atau variabel-variabel yang dapat diukur dan
dikuantifikasikan baik dari segi struktur dan tingkah lakunya — dus, segi
antropologis dan segi psikologisnya dalam rangka kesinambungan struktur tingkah
laku, yakni kepribadian manusia (Sheldon, 1949, him. XV).”
2) Struktur Jasmani
Sesuai dengan pendekatan kebanyakan psikolog konstitusi
lain, Sheldon berusaha menentukan dan menciptakan ukuran-ukuran yang cocok
untuk berbagai komponen jasmaniah tubuh manusia. Perlu disadari bahwa ia tidak
hanya mencari sarana untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan ragam jasmani.
Tujuannya jauh lebih ambisius
menciptakan sebuah "label identifikasi biologis" (biological
identification tag). Sheldon beranggapan bahwa faktor-faktor genetik dan
faktor-faktor biologis lainnya memainkan peranan yang menentukan dalam
perkembangan individu. Ia yakin juga bahwa ada kemungkinan memperoleh sekedar
gambaran tentang faktor-faktor ini melalui serangkaian pengukuran yang
didasarkan pada jasmani. Dalam pandangannya ada sejenis struktur biologis
hipotetis (morfogenotipe) yang mendasari jasmani luar yang bisa diamati
(fenotipe) dan yang memainkan peranan penting tidak hanya dalam menentukan
perkembangan jasmani, tetapi juga dalam membentuk tingkah laku. Somatotype
merupakan suatu usaha untuk mengukur morfogenotipe, meskipun tujuan ini harus
didekati secara tak langsung, dan penjabarannya harus didasarkan pada
hasil-hasil pengukuran fenotipe (jasmani).
Di sini kita akan membicarakan
pendekatan Sheldon mengukur aspek-aspek jasmaniah individu, dan, selanjutnya
kita akan membahas usaha-usahanya untuk menentukan komponen-komponen
terpenting yang menjadi dasar tingkah laku.
a) Dimensi -dimensi Jasmaniah
Untuk menciptakan tipologi atau mengukur jasmani, Sheldon
memulai usahanya secara induktif yaitu dengan menggunakan teknik fotografi untuk mengambil gambar-gambar
foto individu-individu dari depan, samping, dan dari belakang berpose dalam
posisi tertentu di depan latar belakang tertentu yang baku. Cara ini disebut Somatotype Performance
Test dan dijelaskan secara rinci dalam Atlas of men, karangan Sheldon (1954). Dalam
penelitian pentingnya yang pertama tentang jasmani manusia, Sheldon
mengumpulkan kira-kira 4000 foto baku mahasiswa. Foto-foto ini kemudian
diperiksa dengan teliti oleh sejumlah penilai dengan tujuan menemukan
variabel-variabel pokok yang menjelaskan atau merupakan dasar variasi jasmani.
Setiap ciri yang diduga merupakan suatu komponen primer, segera dinilai
berdasarkan kriteria berikut: (1) Mungkinkah mengurutkan 4000 subjek tersebut
berdasarkan ciri ini?, (2) Dapatkah penilai penilai itu secara terpisah
mencapai kesepakatan dalam mengurutkan gambar-gambar fisik tersebut berdasarkan
ciri ini?, (3) Tidak mungkinkah menjelaskan variabel ini berdasarkan kombinasi
variabel-variabel tertentu lain yang telah berhasil ditentukan sebelumnya?
b) Komponen-Komponen Primer Jasmani
Setelah
lama memeriksa dan menilai dengan teliti foto-foto ini, Sheldon dan
kawan-kawannya mengambil kesimpulan bahwa selain tiga dimensi yang telah
ditemukan, kiranya tidak ada lagi kemungkinan untuk menemukan komponen-komponen
baru. Ketiga dimensi ini menjadi inti teknik pengukuran struktur jasmaniah
tubuh, dan usaha menggambarkan serta mengukur secara teliti ketiga dimensi
tersebut memenuhi tahap selanjutnya dalam kegiatan penelitian Sheldon.
Komponen pertama adalah endomorfi. Individu yang komponen endomorfinya tinggi sedangkan
kedua komponen lainnya rendah kelihatan lembek dan bulat. Sesuai dengan sifat
lembek dan bulat ini, tulang dan ototnya kurang berkembang, serta perbandingan
antara tinggi dan berat badannya relatif rendah. Orang yang demikian itu
memiliki berat jenis rendah dan mudah mengapung di air. Karena alat-alat
pencernaan berkembang dengan baik dalam jenis tubuh ini sedangkan unsur-unsur
fungsional dari struktur-struktur itu pun pertama-tama berkembang dari lapisan
embrionik endodermal, maka digunakanlah istilah endomorfi.
Komponen kedua adalah mesomorfi. Jasmani yang berkembang dengan baik dalam komponen ini,
dan yang merupakan nilai tengah antara kedua komponen lainnya, adalah keras dan
persegi, dengan tulang dan otot-otot yang menonjol. Tubuh mesomorfik demikian
ini adalah kokoh, keras, tahan sakit, dan umumnya tahan melakukan pekerjaan
yang berat dan membutuhkan energi. Olahragawan, pengelana, tentara profesional
yang terbaik memiliki tipe jasmani ini. Bagian-bagian yang dominan dari jenis
tubuh ini terutama berasal dari lapisan embrionik mesodermal, karena itu
disebut mesomorfik.
Komponen ketiga disebut ektomorfi. Individu yang
berada pada ekstrem atas pada komponen ini dan pada ekstrem bawah di kedua
komponen lainnya, berciri jangkung, rapuh, berdada pipih dan bertubuh halus. Ia
biasanya kurus dan kurang berotot. Seorang ektomorf memiliki lebih banyak
bagian tubuh yang rata dibandingkan kedua tipe fisik lainnya; tubuhnya lebih
tampak rata daripada gempal. Ia juga memiliki otak dan sistem saraf pusat yang
terbesar dibandingkan dengan besar keseluruhan tubuhnya. Atas alasan tersebut,
maka Sheldon berpendapat bahwa tipe fisik ini lebih banyak terbentuk dari
jaringan-jaringan yang berasal dari lapisan embrionik ektodermal dibandingkan
kedua tipe jasmani lainnya. Karena banyaknya bagian-bagian tubuh yang rata,
seorang ektomorf terlalu banyak terkena stimulasi dari luar. Inilah tipe
jasmani yang paling lemah untuk bersaing dan bertahan secara fisik.
Somatotipe
merupakan suatu kompromi antara morfogenotipe dan fenotipe. Somatotipe lebih
dari sekedar jasmani seseorang sekarang, tetapi jelas kurang dari struktur
tubuh yang ditentukan secara biologis terlepas dari pengaruh-pengaruh
lingkungan. Sheldon mengemukakan bahwa apabila kita sungguh-sungguh ingin
memperoleh perkiraan yang sebaik-baiknya tentang morfogenotipe, maka secara
ideal kita tidak hanya perlu memiliki sejarah lengkap individu yang
bersangkutan, tetapi juga catatan. tentang nenek moyang dan keturunannya. Selanjutnya,
foto-foto somatotipe harus diambil secara teratur pada waktu yang berlainan
sepanjang hidup individu di samping pengenaan tes biologis sebanyak diperlukan.
Tentu saja, prosedur yang biasa atau sederhana dalam penetapan somatotipe tidak
pernah mencapai yang ideal itu; tetapi diandaikan ia menuju ke arah ini dan
meninggalkan cara lama berupa pembuatan deskripsi sederhana dan statik tentang
keadaan jasmani sekarang. Selaras dengan pandangan ini adalah definisi Sheldon
tentang somatotipe:
Menurut definisi, somatotipe adalah prediksi tentang suksesi
fenotipe fenotipe di masa mendatang yang akan ditampilkan oleh seseorang yang
hidup, apabila makanan tetap merupakan faktor konstan, atau kalaupun berubah
masih dalam batas-batas normal. Kami mendefinisikan somatotipe secara lebih
formal sebagai lintasan atau jalur yang akan ditempuh oleh organisme hidup
dalam kondisi-kondisi makanan baku dan dalam keadaan bebas dari, patologi yang
sangat mengganggu (1954, him. 19).
c) Komponen-komponen Sekunder
Salah
satu komponen sekunder yang terpenting adalah displasia. Istilah yang dipinjam dari Kretschmer ini digunakan
Sheldon untuk menyebut "Suatu
campuran ketiga komponen primer yang tidak nonsisten atau tidak seimbang dalam
berbagai daerah tubuh" (1940, hlm. 68). Jadi, displasia merupakan
ukuran ketidakharmonisan antara berbagai daerah jasmani, misalnya, antara
kepala dan leher dari salah satu somatotipe atau antara lengan-lengan kaki dari
somatotipe lainnya.. Ukuran displasia didapat dengan cara menetapkan somatotipe
kelima daerah tubuh dan menjumlahkan porbedaan-perbedaan masing-masing komponen
di antara kelima daerah tubuh itu. Dengan kata lain, displasia merupakan
besarnya perbedaan somatotipe dihitung untuk masing-masing dari kelima daerah
tubuh. Orang dapat menghitung skor-skor displasia tersendiri untuk
masing-masing dari tiga komponen dan dapat juga menghitung satu skor total.
Penemuan pendahuluan menunjukkan bahwa ada lebih banyak displasia berhubungan dengan
komponen ektomorfik daripada dengan masing-masing dari dua komponen lain,. dan
juga lebih banyak displasia diamati pada jasmani wanita dibandingkan pada
jasmani prin. Sheldon (1940) juga melaporkan bahwa terdapat lebih banyak
displasia di kalangan penderita psikosis dari pada di kalangan mahasiswa.
Suatu komponen
sekunder lain disebut ginandromorfi.
Komponen ini menunjukkan sejauh manakah jasmani memiliki sifat-sifat yang
biasanya terdapat pada lawan jenis, dan disebut "indeks g". Seorang
pria yang komponen ginandromorfinya tinggi akan memiliki tubuh yang lembut,
pelvis lebar, panggul besar, dan sifat-sifat feminin lain, seperti bulu mata
yang panjang dan raut wajah yang ramping. Secara teoretis rentangan variabel
ini berkisar antara 1, yang menunjukkan tidak adanya sifat-sifat lawan jenis,
sampai 7, yakni hermafroditisme. Dalam penelitiannya mengenai
kenakalan/kejahatan, Sheldon (1949) membedakan antara ginandromorfisme primer
dan ginandromorfisme sekunder. Ginandromorfisme
primer adalah jasmani sebagaimana "dilihat dari jauh" atau
sebagaimana disimpulkan dari foto somatotipe. Ginandromorfisme sekunder disimpulkan berdasarkan suatu pemeriksaan
fisik atau observasi langsung terhadap orangnya dan meliputi gerak fisik,
suara, serta ekspresi wajahnya.
d) Menetapkan Somatotipe Wanita
Bagian
terbesar dari penelitian awal tentang dimensi-dimensi fisik Sheldon dilakukan
pada subjek pria. Jelas bahwa dalam masyarakat kita, sanksi-sanksi terhadap
penelitian tubuh telanjang- manusia lebih keras pada wanita daripada pria. Karena itu sangat wajar bila karya awal di
bidang ini telah dilakukan dengan subjek laki-laki. Dalam bukunya yang pertama
tentang jasmani, Sheldon (1940) menegaskan bahwa bukti yang tersedia pada waktu
itu menunjukkan bahwa 76 somatotipe yang berhasil diamati di kalangan rupanya
terjadi juga di kalangan wanita, meskipun barangkali frekuensi-frekuensinya
berbeda. Ia juga mengemukakan bahwa endomorfi, dan kombinasi antara endomorfi
dan Entomorfi, lebih umum terdapat di kalangan wanita; sedangkan mesomorfi, dan
kombinasi antara mesomorfi dan endomorfi, lebih umum terdapat di kalangan
pria.
Sheldon (1954) melaporkan bahwa sejumlah besar penelitian
telah dilakukan dalam bidang penetapan somatotipe wanita, dan bahwa "Atlas
of Women" akan diterbitkan dalam waktu yang akan datang. Temuan-temuan
lebih luas yang kini dimilikinya meneguhkan observasinya yang terdahulu bahwa
jasmani wanita jauh lebih endomorfik daripada jasmani pria. Ia juga menunjukkan
bahwa pada wanita jumlah ragam pada masing-masing komponennya lebih kecil
dibandingkan pada laki-laki; walaupun demiklan, ada sejumlah kecil somatotipe
wanita yang tidak padanannya dalam rangkaian somatotipe laki-laki.
e) Konstansi Somatotipe
Salah satu hal di mana pendapat umum dan generalisasi-generalisasi
teoretikus konstitusi berbeda adalah menyangkut sejauh manakah klasifikasi atau
deskripsi yang didasarkan pada hasil-hasil pengukuran objektif atas jasmani
dapat diharapkan tetap konstan. Perubahan-perubahan lazim karena usia dan variasi
makanan bagi kebanyakan orang kira nya merupakan bukti kuat tentang sifat bisa
berubahnya somatotipe. Akan tetapi Sheldon, dalam tulisan-tulisan awalnya,
sepaham dengan para psikolog konstitusi yang lain berkeyakinan kuat bahwa
"... rupanya tidak ada perubahan makanan yang dapat mengubah ukuran ukuran
seseorang dengan somatotipe tertentu menjadi sama dengan ukuran-ukuran orang
dengan somatotipe lain" (1944, hlm. 540). Ada kemungkinan bahwa
faktor-faktor makanan menimbulkan perubahan pada ukuran-ukuran individu, tetapi
semua itu tidak akan mengubah somatotipe yang sebenarnya.
Sheldon
mengemukakan bahwa sama seperti seekor anjing penjaga yang kelaparan tidak akan
menjadi anjing pudel, demikian juga mesomorf yang kelaparan. tidak akan
menjadi ektomorf. Hanya dalam penyakit-penyakit tertentu, seperti akromegalia
dan penyakit lemah otot, struktur tubuh benar-benar berubah, namun
gangguan-gangguan serupa itu dapat segera diketahui melalui pemeriksaan dan
karenanya tak perlu mengakibatkan perubahan-perubahan yang tak terduga pada
somatotipe. Konstansi somatotipe ternyata begitu umum sehingga Sheldon
berpendapat bahwa bahkan indeks displasia pun tidan berubah mengikuti perubahan
berat badan.
Tetapi
kemudian, Sheldon (1954) tampaknya mengubah, atau setidak-tidaknya
mengembangkan pandangan-pandangannya mengenai konstansi somatotipe. Gambaran
lama tentang somatotipe yang diperoleh dari tiga foto baku yang kebal terhadap
perubahan lingkungan telah diganti oleh suatu konsepsi yang lebih umum dan
eksplisit yang menyatakan bahwa somatotipe harus ditetapkan berdasarkan
serangkaian foto yang diambil secara berturut-turut sesuai dengan sejarah
individu dan membuka pertanyaan tentang sejauh manakah somatotipe ini dapat
diubah. Pendirian Sheldon mengenai topik ini teringkas dengan baik dalam
kutipan berikut:
“Apakah somatotipe itu memiliki
tingkat kehandalan (atau prediktabilitas) karena dalam praktiknya somatotipe
sungguh-sungguh diukur? Maksudnya, apabila kita harus menggantungkan diri hanya
pada dua atau tiga sajian fenotipe orang dewasa, dan sebuah sejarah yang
memadai, dapatkah kita menetapkan somatotipe prediktif yang sungguh-sungguh
akan "menjadi kenyataan"? Beberapa orang akan menjawab pertanyaan
itu secara afirmatif, takut bahwa suatu jawaban lain dapat menimbulkan
ketidakpuasan di kalangan "para determinis lingkungan", yang
segelintir di antaranya mungkin hampir yakin, sebagaimana mereka nyatakan,
bahwa somatotipe "tidak lain daripada makanan". Namun hanya suatu
penelitian longitudinal yang baik, yang dilakukan sekurang-kurangnya selama
satu jangka hidup manusia, akan membuktikan dengan baik kebenaran jawaban
semacam itu (1954, hlm. 20).”
Baru-baru
ini ia menyajikan ikhtisar-ikhtisar pendek tentang berbagai penelitian
(Sheldon, Lewis, dan Tenney, 1969) yang menyajikan bukti tentang stabilitas
temporal "Trunk Index". Mengingat peranan sentral dari TI dalam
menentukan somatotipe dalam prosedur Sheldon yang telah dimodifikasi, maka
tidak mengherankan bahwa ia sekali lagi menegaskan sifat somatotipe yang tidak
berubah. Terlalu cepat bagi peneliti-peneliti lain untuk sudah bisa memeriksa
konstansi somatotipe jika somatotipe itu ditentukan dengan teknik Sheldon yang
baru.
3) Analisis Tingkah Laku (Kepribadian)
Walaupun telah ada cara yang mantap untuk menilai aspek aspek
jasmaniah tubuh manusia, psikolog konstitusi masih harus mengembangkan atau
meminjam suatu metode penilaian tingkah laku untuk menyelidiki hubungan antara
jasmani dan kepribadian. Dalam hal ini, Sheldon mulai dengan asumsi bahwa
walaupun terdapat banyak dimensi atau variabel lahiriah yang dapat di pakai
untuk menggambarkan tingkah laku, di balik semua itu terdapat sejumlah kecil
komponen dasar yang diharapkan dapat menjelaskan segala kompleksitas dan
varitas lahiriah tersebut. Mulailah ia mengembangkan suatu teknik untuk
mengukur komponen-komponen dasar ini dengan mengambil hikmah dari
penelitian-penelitian kepribadian di masa lampau dan menggabungnannya dengan
pengetahuan klinis dan pengalaman induktifnya sendiri.
a) Dimensi-Dimensi Temperamen
Mula-mula
kepustakaan mengenai kepribadian, khususnya yang berhubungan dengan penentuan
sifat-sifat manusia, diperiksanya dengan teliti, dan diperoleh sebanyak 650
sifat. Jumlah tersebut meningkat karena ditambah dengan variabel-variabel yang
diperoleh dari observasi-observasi peneliti sendiri, dan kemudian berkurang
lagi secara tajam setelah dimensi-dimensi yang tumpang-tindih digabungkan
sedangkan dimensi-dimensi yang kurang penting dihilangkan. Akhirnya Sheldon dan
teman teman sekerjanya mendapat 50 sifat yang mereka anggap mencakup semua
gejala spesifik yang dijelaskan oleh ke-650 sifat asli tersebut.
Langkah berikutnya adalah memilih suatu kelompok yang
terdiri atas 33 subjek, sebagian terbesar adalah mahasiswa mahasiswa tingkat
sarjana dan para dosen, yang diteliti selama satu tahun dengan cara observasi
dalam kegiatan profesional mereka sehari-hari maupun dalam interviu klinis.
Masing-masing subjek dinilai oleh peneliti menggunakan pengukur berskala 7 pada
masing-masing dari ke-50 sifat, dan skor-skor hasilnya diinterkorelasikan
dengan tujuan untuk menemukan gugus-gugus atau kelompok-kelompok sifat yang terkorelasi secara positif yang
dapat dianggap menunjukkan variabel dasar yang sama. Secara sembarang
diputuskan bahwa agar daunt dimasukkan ke dalam suatu kelompok atau komponen,
maka suatu sifat harus menunjukkan angka korelasi positif sekurang-kurangnya
0,60 dengan masing-masing sifat lain dalam kelompok dan harus menunjukkan angka
korelasi negatif sekurang-kurangnya -0,30 dengan semua sifat yang terdapat pada
kelompok-kelompok lain.
b) Komponen-Komponen Primer Tcmperamen
Hasil
hasil analisis korelasi menunjukkan adanya tiga kelompok sifat utama yang
mencakup 22 dari 50 sifat asli. Kelompok pertama
meliputi sifat-sifat: santai (relaxation), suka kenyamanan, gemar makan-makan,
tergantung pada penerimaan orang lain, tidur nyenyak, membutuhkan orang lain
bila menghadapi kesukaran. Sifat-sifat yang tergolong dalam kelompok kedua
meliputi sikap tegas (assertive), perkasa (energetic), kebutuhan untuk aktif,
suka berterus terang, suara lantang, sifat tampang lebih tua daripada yang
sebenarnya, kebutuhan untuk bertindak bila menghadapi kesukaran. Akhirnya,
kelompok sifat yang ketiga meliputi sifat serba terhambat, reaksi yang sangat cepat,
kurang berani bergaul (sociofobia), kurang berani berbicara di depan orang
banyak, kebiasaan tetap, suara kurang bebas, sulit tidur, bersemangat muda,
kebutuhan untuk menyendiri bila menghadapi kesukaran.
Komponen
pertama temperamen dinamakan viskerotonia.
Individu yang tinggi dalam komponen ini memiliki ciri-ciri antara lain cinta
atau suka akan kenyamanan, pergaulan, makanan, orang-orang, dan kasih sayang.
Sikap tubuhnya santai, bereaksi pelan, berwatak tenang, bersikap terbuka dalam
pergaulan dengan orang orang lain, dan umumnya seorang yang mudah untuk diajak
bergaul. Sheldon mengemukakan: "Kepribadian jenis ini tampannya berpusat
di sekitar visnera atau organ-organ di dalam rongga perut. Sistem pencernaan
makanan adalah rajanya, dan kemaslahatan sistem itu tampaknya merupakan tujuan
hidup yang utama" (1944, hlm. 543).
Komponen
kedua dinamakan somalotonia. Skor
yang tinggi dalam komponen ini biasanya disertai dengan sifat-sifat suka
petualangan fisik, suka mengambil risiko, sangat membutuhkan kegiatan otot dan
fisik yang berat. Orang ini bersifat agresif, tidak peka terhadap perasaan
orang lain, berpenampilan lebih mating dari sebenarnya, suka ribut, pemberani,
dan mudah takut bcrada dalam ruangan yang sempit dan tertutup (klaustrofobia).
Tindakan, kekuatan, dan kekuasaan sangat penting bagi orang sernacam ini.
Komponen
ketiga dinamakan serebrotonia. Skor
yang tinggi pada komponen menunjukkan sifat mengendalikan diri, menahan diri,
suka menyembunyikan diri. Orang ini bersifat tertutup, pemalu, kelihatan muda,
takut pada orang, dan paling suka berada di tempat-tempat yang sempit dan
tertutup. Ia bereaksi luar biasa cepat, sukar tidur, dan senang menyendiri,
khususnya kalau menghadapi kesukaran. Orang yang demikian selalu berusaha untuk
tidak menarik perhatian.
Ketiga
komponen umum itu, di susun dalam sebuah skala yang disebut Scale for Temperament, yakni suatu cara
penilaian terinci untuk mendapatkan skor-skor pada masing-masing komponen
primer. Dalam memanai Skala tersebut, Sheldon menganjurkan supaya sedapat
mungkin: untuk mengamati subjek dengan teliti sekurang-kurangnya selama satu
tahun dalam sebanyak mungkin situasi yang berbeda. Lakukanlah interview
analitis terhadapnya sebanyak tidak kurang dari duapuluh kali dengan cara yang
paling cocok dengan situasi, dan dengan temperamen serta kepentingan dari kedua
belah pihak. Setelah masing-masing interview ....ambillah lembar penskoran dan
buat‑lah penilaian pada sebanyak mungkin sifat. Ulangilah pengamatan,
interview, dan revisi-revisi penilaian, sampai benar-benar puas bahwa seluruh
60 sifat telah dipertimbangkan dan dinilai secara memadai (1942, him. 27).
Tabel 4.1
Skala Temperamen William Sheldon
No
|
Viskerotonia
|
Somalotonia
|
Cerebrotonia
|
1.
|
Santai dalam postur dan gerak
|
Tegas dalam postur dan gerak
|
Tertekan, kaku dalam postur dan gerak
|
2.
|
Senang dengan kenyamanan fisik
|
Senang petualangan fisik
|
Senang responsif secara fisik
|
3.
|
Reaksi lamban
|
Gerak bertenaga
|
Reaksi sangat cepat
|
4.
|
Senang makan
|
Senang latihan fisik
|
Senang berrahasia pribadi
|
5.
|
Senang kencan sebagai pengalaman
sosial
|
Senang menguasai, memiliki kekuatan
|
Mental sangat intensif, perhatian
berlebihan
|
6.
|
Senang pesta
|
Senang mengambil resiko, mengejar
peluang
|
Tertekan secara emosional
|
7.
|
Senang ritual sosial dan upacara
penuh aturan
|
Senang bicara langsung pada
permasalahan
|
Tatapan mata yang tajam dan waspada
|
8.
|
Senang bergaul
|
Senang berkelahi secara fisik
|
Takut terlibat dalam kegiatan sosial
|
9.
|
Ramah, tidak membeda-bedakan orang
|
Berkompetisi secara agresif
|
Tidak tenang, tidak PD
|
10.
|
Haus kasih sayang dan penerimaan
|
Tidak peka terhadap kebutuhan orang
lain
|
Bertahan dengan kebiasaan dan
rutinitas
|
11.
|
Berorientasi kepada orang lain
|
Benci berada pada ruang tertutup
|
Benci tempat yang bebas
|
12.
|
Emosi seimbang
|
Kejam, tidak pilih-pilih
|
Sikap dan tingkah laku yang tidak
dapat diduga
|
13.
|
Toleran
|
Tidak menahan suaranya
|
Suaranya tertahan
|
14.
|
Puas dengan dirinya sendiri
|
Tahan terhadap rasa sakit
|
Peka dengan rasa sakit
|
15.
|
Tidur nyenyak
|
Senang bersuara keras, ribut
|
Sukar tidur, kelelahan kronis
|
16.
|
Tidak bertujuan, tidak mudah
terangsang
|
Tampil lebih tua dari usia sebenarnya
|
Tampil lebih muda dari usianya
|
17.
|
Ekstravensi, tidak ada hambatan
mengungkapkan perasaannya kepada orang lain
|
Ekstraversi, terpisah dari kesadaran,
perhatian dan aksi berorientasi ke dunia luar
|
Introvensi dalam perasaan dan
perbuatan, orientasi ke kesadaran diri, kurang peduli terhadap lingkungan,
penyesuaian diri
|
18.
|
Sosialis dan hangat bertambah saat
mabuk alkohol
|
Agresif dan keinginan berkuasa
bertambah kuat ketika mabuk alkohol
|
Tertekan, lelah, dan depresi bertambah
kuat ketika mabuk alkohol
|
19.
|
Membutuhkan orang saat menghadapi
masalah
|
Membutuhkan aktivitas saat menghadapi
masalah
|
Butuh mengasingkan diri saat
mengalami masalah
|
20.
|
Berorientasi pada hubungan masa kecil
dan keluarga
|
Berorientasi kepada tujuan dan
aktivitas remaja
|
Berorientasi kepada periode terakhir
hidupnya
|
c) Faktor-faktor yang Menjembatani Hubungan Antara Jasmani dan Temperamen
Di sini kita menerima adanya hubungan antara aspek-aspek
jasmani dan aspek-aspek berbagai atribut tingkah laku penting, dan akan
menyelidiki apakah yang menimbulkan kecocokan yang mencolok ini. Orang dapat
menerangkan bahwa individu yang memiliki tipe jasmani tertentu akan menemukan
cara-cara bertingkah laku tertentu yang sangat efektif, sedangkan individu yang
memiliki tipe jasmani lain akan merasa perlu menggunakan cara-cara bertingkah
laku lain. Konsepsi ini menunjukkan bahwa keberhasilan atau hadiah yang
menyertai suatu cara bertingkah laku tertentu tidak hanya ditentukan oleh
lingkungan tempat tingkah laku itu berlangsung, tetapi juga oleh macam pribadi
(tipe jasmani) orang yang melakukannya.
Individu dengan tubuh ektomorfik yang rapuh tidak akan
berhasil memakai cara-cara yang penuh gertakan, agresif, dan serba menguasai
dalam berhubungan dengan kebanyakan orang, sedangkan ini mungkin dapat
dilakukan oleh seorang mesomorf yang berbadan besar. Selanjutnya, anak yang
berperut kecil, atau memiliki ambang rasa sakit rendah, bisa merasakan
pengalaman-pengalaman khas yang berbeda secara mencolok dari
pengalaman-pengalaman khusus yang dirasakan oleh individu individu dengan
sifat-sifat jasmani lain. Dengan memiliki jasmani tertentu dan lingkungan yang
normal, maka individu akan menemukan bahwa tipe-tipe respon tertentu secara
relatif lebih sering, dihadiahi, sedangkan tipe-tipe respon tertentu lainnya
biasanya dihukum. Ini berarti bahwa individu akan mengembangkan pola-pola
tingkah laku yang akan memperlihatkan kesamaan dengan tingkah laku orang lain,
yang memiliki rangkaian pengalaman yang sama karena memiliki tipe jasmani yang
sama.
Pembatasan-pembatasan
yang ditentukan oleh jasmani pada tingkah laku dapat bersifat langsung atau tak
langsung. Tinggi, berat, dan sifat-sifat jasmani serup a secara langsung dan
tanpa perlu diragukan lagi membatasi cara seseorang berharap dapat bertingkah
laku secara sesuai dalam lingkungan tertentu. Tambahan pula, memiliki tipe
jasmani tertentu membuka kemungkinan seorang individu akan merasakan tipe-tipe
pengalaman lingkungan tertentu, sedangkan tipe jasmani lainnya biasanya akan
mengarahkan seseorang pada sekumpulan pengalaman yang sangat berbeda. Misalnya,
umum diketahui (McNeil clan Livson, 1963) bahwa wanita yang bertubuh ramping
(linear) lebih lambat mencapai kematangan fisiologis daripada gadis-gadis yang
bertubuh kurang ramping, dan saat seorang individu menjadi matang dan dewasa
jelas merupakan suatu perkara yang sangat penting secara psikologis.
Kemungkinan lain ialah bahwa hubungan antara jasmani dan
temperamen ditentukan oleh stereotip-stereotip yang diterima umum atau nilai
stimulus sosial dalam masyarakat setempat tentang jenis-jenis tingkah laku
yang dianggap sesuai untuk individu-individu dengan tipe-tipe jasmani yang
berbeda. Jadi, dapat dikatakan bahwa individu dengan tipe jasmani tertentu menempati suatu peranan sosial yang meliputi
sejumlah ketuntuan tingkah laku, dan dalam keadaan biasa individu tersebut
akan tunduk pada ketentuan-ketentuan ini. Harapan-harapan dari masyarakat akan
menyebabkan individu dengan jasmani tertentu memperlihatkan pola-pola tingkah
laku tertentu, dan tingkah laku ini cenderung akan ditiru oleh
individu-individu yang memiliki tipe jasmani yang sama dan yang terkena oleh
harapan-harapan yang sama. Perumusan ini tidak menerangkan asal-usul stereotip
dan juga tidak berbicara apa-apa tentang individu yang jasmaninya bertipe madya
dan tidak cocok dengan stereotip yang lazim.
Cara
lain lagi untuk menerangkan hubungan antara jasmani dan temperamen adalah bahwa
pengalaman terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan cenderung menghasilkan
tipe-tipe jasmani tertentu dan sekaligus menimbulkan kecenderungan-kecenderungan
tingkah laku tertentu. Jadi, dapat dikatakan bahwa anak yang diasuh oleh
seorang ibu yang terlalu melindungi akan menyebabkan anak cenderung menjadi
gemuk dan sekaligus akan menghasilkan sifat-sifat kepribadian tertentu.
Apabila kita mengakui temuan Landauer dan Whiting (1964) tentang hubungan
antara pengalaman awal yang traumatik dan bentuk tubuh yang besar pada orang
dewasa dan juga yakin bahwa pengalaman-pengalaman awal ini membentuk tingkah
laku, maka kita sekali lagi akan menemukan hubungan antara sifat-sifat
jasmaniah dan sifat-sifat kepribadian. Garis pemikiran hanya mengandaikan bahwa
ada peristiwa-peristiwa tertentu yang mempengaruhi perkembangan sifat-sifat
jasmaniah dan sifat-sifat kepribadian, dan akibatnya kita mengamati hubungan
erat antara kedua bidang ini. Perumusan ini menghindari pandangan determinisme
biologis dan mengemukakan bahwa baik jasmani maupun tingkah laku sebagian besar
ditentukan oleh pengaruh-pengaruh lingkungan.
Alternatif
terakhir adalah menjelaskan hubungan antara bentuk tubuh dan tingkah laku
karena hasil kerja faktor-faktor biologis yang sama. Jadi, orang dapat
mengemukakan bahwa baik jasmani ataupun keeenderungan-kecenderungan tingkah
laku sebagian besar ditentukan oleh faktor-faktor hereditas dan di antara
faktor-faktor ini terdapat hubungan-hubungan tertentu yang menghasilkan
tipe-tipe atribut jasmaniah tertentu yang berhubungan dengan atribut-atribut
tingkah laku tertentu. Individu-individu yang memiliki sifat-sifat jasmaniah
tertentu diharapkan akan menampilkan kecenderungan-kecenderungan tingkah laku
tertentu karena gen atau gen-gen yang sama mempengaruhi kedua kumpulan sifat
tersebut. Dua penelitian kembar utama yang menyelidiki sifat-sifat jasmaniah
(Newman, Freeman, dan Holzinger, 1937; Osborne dan DeGeorge, 1959) menemukan
bukti yang kuat tentang pentingnya peranan factor-faktor genetik dalam
menentukan jasmani. Penemuan ini didukung oleh banyak penelitian lain yang
menunjukkan peranan variasi genetik sebagai penentu tingkah laku, memperkuat dugaan
bahwa secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama gen gen akan memiliki
pengaruh ganda pada tingkah laku dan jasmani.
Terutama kedua cara penjelasan pertama,
yakni pengalaman selektif dan determinasi kultural, yang ditekankan oleh
Sheldon meskipun ia juga mengakui adanya determinasi genetik. Perumusan ketiga, yang menyiratkan bahwa
jasmani dan tingkah laku adalah basil faktor-faktor lingkungan, adalah yang
paling kurang sesuai dengan asumsi para psikolog konstitusi, termasuk Sheldon.
d) Orientasi Biologis dan Genetik
Dalam banyak hal, bagian-bagian dari pandangan Sheldon dapat
dianggap berasal dari keyakinannya bahwa faktor-faktor biologis sangat penting
dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan dari keputusannya untuk berusaha
mengukur unsur-unsur penting dari dasar biologis tingkah laku ini. Seperti
telah kita lihat dari pembedaannya antara somatotipe dan morfogenotipe,
pengukuran jasmani sekedar merupakan alat untuk membuat estimasi tentang
faktor-faktor biologis yang mendasarinya yang sangat berpengaruh terhadap
jalan hidup seseorang. Meskipun begitu, Sheldon tidak terlalu menekankan
peranan potensial faktor-faktor genetik
dalam menentukan tingkah laku, namun demikian ia berharap bahwa pengukuran somatotipe
memungkinkan pengukuran yang lebih tepat terhadap beberapa faktor genetik, dan
dengan demikian memungkinkan kita untuk mengestimasikan secara realistis
pengaruh tak langsung dari faktor-faktor genetik terhadap tingkah laku.
e) Tekanan Organismik, dan Medan
Pada
umumnya, perhatian Sheldon dalam memikirkan semua aspek dari seluruh organisme
jauh lebih besar daripada perhatiannya terhadap konteks lingkungan tempat
tingkah laku itu berlangsung. Sudah tentu, pandangan semacam itu lahir dari
minatnya yang besar pada faktor-faktor biologis tingkah laku.
Walaupun Sheldon berhasil memisahkan
dan mengukur dimensi-dimensi untuk menggambarkan jasmani dan temperamen, ia
berpendapat bahwa memeriksa dimensi-dimensi itu satu per satu adalah kurang
bermanfaat. Pola hubungan antara variabel-variabel adalah jauh lebih penting
daripada hanya masing-masing komponen. Ia selalu menyadari keunikan hakiki
setiap individu baik dalam tingkah laku maupun penampilan jasmaniahnya.
Meskipun Sheldon mau mematahkan totalitas yang unik ini dengan
pengukuran-pengukuran komponen, ia tetap menganggap bahwa hasil pengukuran
semacam itu hanya merupakan langkah pertama untuk menggambarkan organisme.
Keyakinannya ialah bahwa seorang pengamat yang peka dan yang berorientasi pada
keseluruhan akan mampu menyumbangkan pengetahuan yang belum dapat diharap bisa
digali oleh ahli psikometri yang trampil dan objektif.
f) Perkembangan lndividu
Sehubungan
dengan apa yang telah dibicarakan mengenai perhatian Sheldon pada faktor-faktor
biologis tingkah laku, maka tidak mengherankan jika Sheldon kurang
memperhatikan seluk beluk perkembangan dibandingkan dengan kebanyakan
teoretikus kepribadian lainnya. Walaupun ia mengakui bahwa peristiwa-peristiwa
tertentu pada awal masa kanak-kanak bisa memberi petunjuk bagi munculnya
tipe-tipe tertentu dalam penyesuaian diri pada masa dewasa, ia tidak yakin
bahwa masa kanak-kanak memainkan peranan sebagai penyebab dalam
hubungan-hubungan yang demikian. Ia mengemukakan, mungkin sekali terdapat;
predisposisi-predisposisi biologis yang menyebabkan munculnya tipe-tipe
pengalaman masa kanak-kanak atau pengalaman infantil tertentu, dan selanjutnya
predisposisi-predisposisi yang sama ini mungkin menyebabkan bentuk-bentuk
tertentu dalam tingkah laku orang dewasa. Dengan kata lain, hubungan yang jelas
antara peristiwa-peristiwa awal dan tingkah laku sesudahnya mungkin sebagian
besar merupakan hasil kedua faktor-fantor biologis yang beroperasi secara terus
menerus dalam jangka waktu yang lama.
Minat Sheldon pada proses perkembangan
sekurang-kurangnya terungkap dari keyakinannya bahwa tugas membimbing anak
akan jauh lebih efisien bilamana mereka yang terlibat dalam kegiatan itu mau
sedikit bersusah payah mempertimbangkan somatotipe anak. Dengan begitu orang
dapat menghindari penanaman pada anak aspirasi-aspirasi dan harapan-harapan
yang tidak sesuai dengan potensi jasmaniah dan temperamennya. Pandangan ini
menegaskan bahwa Sheldon tidak menganggap bahwa perkembangan individu sama
sekali ditentukan oleh warisan biologisnya sebagaimana terdapat dalam
morfogenotipe. Akan tetapi, is memandang bahwa pribadi itu dianugerahi
potensi-potensi yang membatasi dan membentuk kemungkinan-kemungkinan
pertumbuhannya di masa mendatang. Pengalaman-pengalaman tertentu yang dihadapi
oleh pribadi itu akan memainkan peranan yang menentukan apakah pribadi itu pada
akhirnya akan benar-benar mampu merealisasikan potensi-potensi itu sepenuhnya
atau tidak.
g) Proses-Proses Tak Sadar
Kiranya kalau individu lebih mengenal
struktur tubuhnya serta fungsi- fungsi biologis yang bekerja di dalamnya, ia
akan lebih menyadari kekuatan-kekuatan yang menggerakkan tingkah lakunya.
Sheldon (1949) mengemukakan bahwa ketidaksadaran adalah tubuh dan selanjutnya
menyiratkan bahwa alasan sulitnya merumuskan ketidaksadaran ialah semata-mata
karena bahasa kita tidak diarahkan untuk secara sistematis mengungkapkan apa
yang terjadi di dalam tubuh. Jadi, ia berpendapat bahwa seorang psikoanalis
yang menyelidiki ketidaksadaran mendekati secara tidak langsung dan dengan cara
yang agak kurang efisien hal sama yang dicoba didekati secara lebih langsung
dan lebih objektif oleh Sheldon lewat metode penentuan somatotipenya.
KAJIAN LANJUT
Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: UMM Press.
Boeree,
C. George. (2009). Personality Theories.
Yogyakarta: Prismasophie.
Corey, Gerald. (2009). Konseling dan
Psikoterapi. Aditama:Bandung.
Cooper,
C.L., & Payne, R. (1991). Personality and stress: Individual
differences in the stress process. England:
Feist, Jess & Feist J. Gregory (2006). Theories of Personality. New York:
Pustaka Belajar: Penerjemah: Yudi Santoso.
Hall,
Calvin S. & Lindzey, Gardner. (1985). Introduction
to Theorities of Personality. New York: John Wiley & Sons.
Hansen,
James C. (1986) Counseling : Theory and Process. New York: Allyn and Bacon, Inc
John
Wiley & Sons Ltd. Feist, J. & Feist, G. J. (2006). Theories of
personality. (Ed. Ke-6). New York:
McCrae,
R.R., & Allik, J. (2002). The Five Factor Model of personality across
cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers.
McGraw-Hill
Inc. Hjelle, L.A.,& Ziegler, D.J. (1992). Personality theories.
Singapore: McGraw Hill Book.
Pervin, L. A. (1993). Personality: theory
and research. (Ed. ke-6). Canada: John Wiley & Sons.