Kualitas konselor (7) kehangatan; (8) pendengaran aktif; (9) kesabaran; (10) kepekaan; (11) kebebasan; dan (12) kesadaran holistik
7. Kehangatan
Kehangatan (warmth) maksudnya satu kondisi yang mampu menjadi pihak yang ramah, peduli, dan dapat menghibur orang lain. Kehangatan pada umumnya dikomunikasikan dengan cara-cara non-verbal seperti tekanan suara, ekspresi mata, mimic wajah, dan isyarat badan. Kehangatan diperlukan dalam konseling karena (a) dapat mencairkan kebekuan suasana, (b) mengundang untuk berbagi pengalaman emosional, (c) memungkinkan konseli menjadi hangat dengan dirinya sendiri. Konselor yang memiliki kehangatan, menunjukkan kualitas sebagai berikut: (a) mendapatkan kehangatan yang cukup dalam kehidupan pribadinya, sehingga mampu untuk berbagi dengan orang lain, (b) mampu membedakan antara kehangatan dan kelembaban, (c) tidak menakutkan dan membiarkan orang merasa nyaman dengan kehadirannya, (d) memiliki sentuhan manusiawi yang mendalam terhadap kemanusiaan dirinya. Salah satu dari hambatan untuk menjadi konselor yang hangat adalah dengan mengintelektualisasikan pendekatan hidup. Konselor yang semacam ini salah memahami konsep "jarak professional" dan termasuk di dalamnya keharusan untuk menjaga jarak emosional mereka sendiri dengan konseli.
8. Pendengaran aktif
Konselor secara ainamis terlibat dengan proses seluruh konseling. Menjadi pendengar aktif (active responsiveness) merupakan penengah antara perilaku hiperaktif yang mengganggu dengan perilaku pasif dan kebingunan. Menjadi pendengar yang aktif bagi konselor sangat penting karena (a) menunjukkan komunikasi dengan penuh kepedulian, (b) merangsang dan memberanikan konseli untuk bereaksi secara spontan terhadap konselor, (c) menimbulkan situasi yang mengajarkan, (d) klien membutuhkan gagasan-gagasan baru.
Konselor sebagai pendengat pendengar yang baik memiliki kualitas sebagai berikut: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri, dan mampu berbagi. ide-ide, perasaan, dan masalah yang sebenamya bukan masalahnya, (b) menantang konseli dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan konseli dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan konseli dalam konseling. Salah satu penghambat menjadi pendengar yang aktif·adalah ketakutan konselor dalam keterlibatannya, yang berarti. Lebih dekat dengan permasalahan, menjadi peka, membuat kesalahan-kesalahan, dan sangat bertanggung jawab pada masalah yang dihadapinya.
9. Kesabaran
Dalam konseling, konselor dapat membiarkan situasi-situasi berkembang secara alami, tanpa memasukkan gagasan-gagasan pribadi, perasaan, atau nilai-nilai secara prematur. Untuk itu diperlukan kesabaran konselor karena hal itu memberikan peluang bagi konseli untuk berkembang dan memperoleh kemajuan dalam tahapan-tahapan secara alami. Konselor tidak dapat memaksa atau mempercepat pertumbuhan psikologis melebihi kondisi keterbatasan konseli. Konselor yang sabar memiliki kualitas sebagai berikut: (a) memiliki toleransi terhadap ambiguitas (bermakna ganda) yang terjadi dalam konseling sebagai konsekuensi dan kompleksnya manusia, (b) mampu berdampingan dengan konseli dan membiarkannya untuk mengikuti arahnya sendiri meskipun mungkin konselor mengetahui adanya jalan yang lebih singkat, (c) tidak takut akan pemborosan waktu dalam minatnya terhadap pertumbuhan konseli, (d) dapat mempertahankan tilikan danpertanyaan yang akan disampaikan dalam sesi dan digunakan kemudian.
Satu hal yang sering menghambat konselor untuk sabar adalah kebutuhan untuk mencapai keberhasilan, sehingga iatidak memfokuskan pada konseli akan tetapi lebih banyak terfokus pada cara dan tujuan. Pesan yang diberikan kepada konselinya adalah "saya tidak peduli siapa anda, apa yang anda dapat lakukan padaego saya.”
10. Kepekaan
Kepekaan (sensitivity) berarti bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri konseli dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling karena hal itu akan memberikan rasa aman bagi konseli dan konseli akan lebih percaya diri manakala berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan. Konselor yang memiliki kepekaan menunjukkan karakteristik sebagai berikut: (a) peka terhadap reaksi dirinya sendiri dalam konseiling, membacanya secara refleks, terampil dan penuh perhatian sebagaunana dilakukan terhadap konseli, (b) mengetahui bilamana, di mana, dan berapa lama melakukan penelusuran konseli, (c) mengajukan pertanyaan dan mengaitkan informasi yang dipandang mengancam oleh konseli dengan cara-cara yang arif, (d) peka terhadap hal-hal yang mudah tersentuh dalam dirinya.
Adapun yang sering manghambat kepekaan konselor adalah kesadaran diri, yaitu konselor yang memusatkan kebutuhannya untuk keberhasilan, yang terus-menerus merencanakan langkah selanjutnya, dan yang memiliki kebiasaan melindungi diri sendiri terhadap ancaman.
11. Kebebasan
Konselor yang memiliki kebebasan mampu memberikan pengaruh secara signifikan dalam kehidupan konseli, sambal meninggalkan kebebasan konseli untuk menolak pengaruh itu. Kebebasan konselor sangat penting peranannya dalam konseling karena: (a) konselor akan memahami klien lebih nyata, (b) membawa klien dalam hubungan yang lebih akrab, (c) mengurangi keinginan untuk melawan, (d) makin banyak kebebasan diciptakan dalam konseling makin banyak kebebasan konseli.
Kebebasan konselor terlihat pada: (a) menempatkan nilai tinggi terhadap kebebasan dalam hidupnya, (b) dapat membedakan antara manipulasi dan edukasi dalam konseling, (c) memahami perbedaan antara kebebasan yang dangkal dengan yang sesungguhnya dan membantu konseli dalam konseling dengan menghargai perbedaan itu, (d) mencoba dan menghargai. kebebasan yang benar dalam hubungan konseling.
12. Kesadaran holistik
Pendekatan holistik dalam konseling bermakna bahwa konselor menyadari keseluruhan konseli dan tidak mendekatinya hanya dengan meneropong dari satu aspek tertentu saja. Ini tidak, berarti bahwa konselor harus ahli dalam semua aspek, tapi mampu mendekati konseli dari berbagai dimensi dan bagaimana satu dimensi dapat mempengaruhi dimensi lainnya. Pendekatan holistic dalam konseling ini sangat penting karena manusia memiliki berbagai dimensi yang saling terkait seperti fisik, emosional, sosial, intelektual, seksual, moral-keagamaan, dll. Pendekatan holistic dalam konseling juga penting karena tidak bisa satu masalah dalam satu dimensi dirujuk, pada dimensi lain, melainkan harus dilihat dalam satu keutuhan. Dengan kesadaran holistik ini konselor dapat mengurangi efek masalah yang sulit dipecahan dalam satu dimensi dengan memperluas pertumbuhan dalam dimensi lain.
Konselor yang memiliki kesadaran holistik ditandai dengan kualitas: (a) sangat menyadari akan dimensi kepribadian dan kompleksitas keterkaitannva, (b) mencari konsultasi secara tepatdan membuat rujukan secara cerdas, (c) sangat akrab dan terbuka terhadap berbagai teori tentang perilaku dan bahkan mungkin memiliki teori sendiri.
Suatu hal yang sering menghambat konselor untuk memiliki kesadaran holistik adalah kegelisahan konselor dan sifat kesombongan yang menonjol, yang tidak membiarkan mereka mengakui bahwa terdapat dimensi seseorang tak memenuhi syarat, baik dalam derajat akademis maupun pengalaman untuk dihadapi.
Yang Harus Diperhatikan Konselor Pemula
Beberapa hal yang harus diperhatikan konselor pemula agar dapat berkembang menjadi konselor yang memiliki kompetensi antara lain:
1. Kesehatan psikologis
Seperti telah dikemukakan, kesehatan psikologis konselor mempunyai peranan penting bagi keefektifan konseling. Namun bagi para konselor pemula, harus disadari bahwa tidak mutlak harus menjadi teladan kesehatan psikologis konseli. Konselor pemula harus secara bertahap mengembangkan kondisi kesehatan psikologisnya melalui pengalaman dalam melaksanakan konseling.
2. Merugikan konseli
Konselor pemula sering merasa khawatir apabila konseling dapat merugikan konseli. Pada saat awal kemungkinan itu bakal terjadi akan tetapi secara perlahan seyogianya konselor pemula dapat belajar untuk memperbaiki tindakannya dalam konseling.
3. Tanggung jawab konselor
Sesungguhnya konselor bertanggung jawab terhadap proses dan hasi konseling, akan tetapi hal-hal yang terjadi di luar konseling bukan menjadi tanggung jawab
konselor sepenuhnya. Hal ini perlu disadari oleh para konselor pemula agar jangan terlalu terpengaruh oleh kekhawatiran bahwa hal-hal yang terjadi di luar konseling sepenuhnya menjadi tanggung jawab konselor.
konselor sepenuhnya. Hal ini perlu disadari oleh para konselor pemula agar jangan terlalu terpengaruh oleh kekhawatiran bahwa hal-hal yang terjadi di luar konseling sepenuhnya menjadi tanggung jawab konselor.
4. Kepedulian dan penerimaan
Kepedulian dan penerimaan tanpa pamrih merupakan hal yang· harus dikembangkan oleh konselor dalam konseling. Hal ini membuat konselor pemula senantiasa berusaha untuk melakukan kepedulian dan penerimaan terhadap klien. Konselor pemula selalu merasa khawatir apabila tidak mampu melakukan hal itu.
5. Kurang pengalaman
Pengalaman melaksanakan konseling merupakan hal yang amat menunjang keefektifan kinerja konselor dalam konseling. konselor pemula sering menghadapi masalah karena perasaan kurang pengalarnan. Dalam hubungan ini seyogianya para konselor pemula tidak perlu khawatir berlebihan karena kurangnya pengalaman. Ia dapat rneminta bantuan dari · konselor senior atau supervisornya dan melakukan diskusi atau tukar pengalaman dengan sejawat konselor baik yang sesama pemula ataupun dengan konselor senior.
6. Kegagalan
Konselor pemula sering mengkhawatirkan akan kegagalan konseling yang dilakukannya. Hal itu dapat dimaklumi mengingat mereka belum memiliki pengalaman yang cukup. Kekhawatiran itu merupakan hal yang wajar akan terapi apabila terjadi terlalu berlebihan dapat mengganggu jalannya konseling. Oleh karena itu dihimbau agar konselor pemula selalu berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya dalam konseling.
7. Kesulitan tersembunyi
Ada sejumlah kesulitan tersembunyi dalam konseling yang disadari oleh semua konselor, terutama konselor pemula, antara lain: (a) Berusaha terlalu banyak dan terlalu dini; (b) Lebih banyak mengajar daripada menciptakan hubungan; (c) penerimaan yang berlebihan; (d) menampilkan masalah kepada yang tidak berpengalaman; (e) kecenderungan untuk menampilkan “kepribadian konseling”; (f) merenungkan setelah sesi yang sulit.
Dalam proses konseling kelompok ada beberapa pihak yang terlibat, yaitu konselor, ko-konselor dan konseli. Masing-masing memiliki peran tertentu dalam
proses konseling kelompok. Berikut akan dijelaskan secara singkat peran konselor, ko-konselor dan konseli.
proses konseling kelompok. Berikut akan dijelaskan secara singkat peran konselor, ko-konselor dan konseli.
1. Konselor
Konselor dalam konseling kelompok berberan sebagai pemimpin kelompok, tugas konselor dalam memimpin kelompok adalah melakukan pemeliharaan, pemrosesan, penyaluran, dan arahan. Capuzzi dan Gross. (Latipun, 2006: 196) Peran pemeliharaan (providing) yang berati konselor berperan sebagai pemelihara hubungan dan iklim, yang dilakukan sesuai dengan keterampilannya dalam memberikan: dorongan, semangat, perlindungan, kehangatan, penerimaan, ketulusan dan perhatian. Peran pemrosesan (processing) yaitu peran konselor sebagai pihak yang memberikan penjelasan makna proses, yang dilakukan sesuai dengan keterampilannya dalam memberikan ekspanasi, klarifikasi, interpretasi dan memberikan kerangka kerja untuk perubahan atau mewujudkan perasaan dan pengalamannya ke dalam gagasannya. Peran penyaluran (catalyzing) yaitu peran konselor sebagai pihak mendorong interaksi dan mengokspresikan emosi melalui keterampilannya dalam menggali perasaan, menantang, mengkonfrontasi, menggunakan program kegiatan seperti pengalaman terstruktur, dan pemberian model. Peran pengarahan (directing) yaitu peran konselor dalam hal mengarahkan proses konseling dengan keterampilannya dengan membatasi topik, peran, norma dan tujuan, pengaturan waktu, langkah, menghentikan proses, menengahi, dan menegaskan prosedur.
Kendatipun tugas utamanya adalah melakukan pemeliharaan, pemrosesan, penyaluran, dan arahan akan tetapi cara penerapannya perlu mempertimbangkan situasi. Beberapa para ahli mengemukakan bahwa fungsi providing, dan processing bersifat linier dengah hasil, artinya semakin tinggi hal tersebut diberikan maka hasilnya akan menjadi semakin baik, sebaliknya fungsi catalyzing dan directing tidak bersifat kurvilliner (berbentuk garis kurva) artinya semakin banyak diberikan kedua hal ini hasilnya menjadi kurang baik Capuzzi dan Gross, (Latipun, 2006: 197).
2. Ko-konselor
Ko-konselor (co-therapist) ialah orang yang membantu konselor menjalankan perannya sebagai pemimpin kelompok. Konseling kelompok dalam situasi tertentu membutuhkan ko-konselor ini, sebagaimana Vannicelli (1990) peran ko-konselor dikemukakn sebagai berikut:
- Membantu konselor untuk mengamati dan mencatat dinamika yang terjadi di kelompok, sehingga lebih dimengerti tentang keadaan kelompok dan anggota-anggotanya
- Sebagai model interaksi yang sehat, termasuk model dalam memberikan tanggapan, kritik atau pengungkapan diri secara tepat.
- Membantu memperjelas pertanyaan yang dikemukan oleh konselor
- Sebagai model bagi konseli, terutama dalam hal penolakan atau ketidaksetujuannya terhadap perilaku destruktif.
Jika dalam pelaksanaan konseling kelompok melibatkan ko-konselor seyogyanya dapat berberan secara tepat. Kesalah peran dapat menghambat proses konseling. Ko-konselor harus dapat bekerjasama dengan konselor untuk kepentingan konseli. Dalam memilih ko-konselor pelu mempertimbangkan jenis kelamin, pengalaman dan sikap keterbukaannya, dalam beberapa hal, jika konselornya seorang laki-laki maka ko-konselornya adalah perempuan. Maksud pemilihan jenis kelamin ko-konselor berlawanan dengan konselornya ialah untuk mendekatkan suasana konseling kelompok kedalam situasi kekeluargaan. Hal tersebut karena salah satu factor kuratif keluarga primer yang diharapkan lebih mempermudah konseli malakukan transferensi Yalom et, all (Latipun, 2006: 198).
Dilain sisi dalam memilih dan menentukan seseorang untuk dijadikan sebagai ko-konselor pengalaman yang dimiliki ko-konselor juga sangat penting maksudnya bahwa ko-konselor yang ditunjuk adalah yang lebih yunior dibandingkan konselornya. Dengan adanya tingkat pengalaman yang berbeda antara konselor dan ko-konselor, proses konseling cederung lebih baik, karena ko-konselor akan mengikuti makanisme yang dijalankan oleh konselor. Setelah sesi konseling berakhir diharapkan terjadi diskusi antara konselor dan ko-konselor menyangkut proses konseling yang dilakukan. Dalam hal ini sikap keterbukaan ko-konselor sangat diperlukan.
Selanjutnya Adhiputra, N, (2015: 30 – 31) Konselor konseling kelompok harus menguasai dan mengembangkan kemampuan (keterampilan) dan sikap yang memadai terselenggaranya konseling kelompok secara efektif. Keterampilan dan sikap yang harus dimiliki konselor konseling kelompok, yaitu:
- Kehendak dan usaha untuk mengenal dan mempelajari dinamikakelompok, fungsi-fungsi pemimpin kelompok dan hubungan antarindividu dalam kelompok.
- Kesediaan menerima orang lain tanpa syarat.
- Kehendak untuk dapat didekati dan membantu tumbuhnya interaksiantara anggota kelompok.
- Kesediaan menerima berbagai pandangan dan sikap yang berbeda.
- Pemusatan perhatian terhadap suasana, perasaan dan sikap seluruhanggota dan pemimpin itu sendiri.
- Pembentukan dan pemeliharaan hubungan antara anggota kelompok.
- Pengarahan yang konsisten demi tercapainya tujuan bersama yangtelah ditetapkan.
- Keyakinan akan manfaat proses dinamika kelompok sebagai wahana untuk membantu para anggota kelompok
- Rasa humor, rasa bahagia, rasa puas baik yang dialami oleh pemimpin kelompok maupun oleh para anggotanya.
References
Adhiputra, N (2015) “konsling kelompok teori dan aplikasi”. Yogyakarta: Media Akademik.
Berg, R., Landreth, G, L., & Fall, K, A., (2006) “group counseling concepts and procedures. Fourth edition New York: Brunner-Routledge
Brown, N.W (1994) “ group counseling for elementary and middle school children”. Connecticut London: Praeger
Corey, G. (2012) “Theory & Practice of Group Counseling”. Eighth Edition. Canada: Cengage Learning
Jacobs, ED.E., Masson, R., Harvill, R., Schimmel, C, J. (2009) “ group counseling strategi and skiils”. Canada: Linda Schreiber-Ganster.
Kurnanto, E. (2013) “ Konseling Kelompok”. Alfabeta. Bandung
Latipun. (2006) “Psikologi Konseling”. Malang: UMM Press
Rusmana, N. (2009) “ Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung: Rizke Press
Sonstegard, M., Bitter, J, R., & Pelonis, P. (2004) “ Adlerian Group Counseling and Therapy Step-by Step. New York: Brunner-Routledge
(A1E114032) Selain itu, Thohari Musnamar dkk., (dalam Yusuf dan Nurihsan, 2012: 45) mengemukakan sifat kepribadian yang baik (akhlakul-karimah) konselor, yaitu:
BalasHapusa) siddiq, mencintai dan membenarkan kebenaran,
b) amanah, bisa dipercaya,
c) tabligh, mau menyampaikan apa yang layak disampaikan,
d) fatonah, cerdas atau berpengetahuan,
e) mukhlis, ikhlas dalam menjalankan tugas,
f) sabar, artinya ulet, tabah, tidak mudah putus asa, tidak mudah marah, dan mau mendengarkan keluh kesah klien dengan penuh perhatian,
g) tawadlu, rendah hati atau tidak sombong,
h) saleh, artinya mencintai, melakukan, membina dan menyokong kebaikan,
i) adil, mampu mendudukkan persoalan secara proporsional,
j) mampu mengendalikan diri, menjaga kehormatan diri dan klien.
Referensi:
Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan. 2012. Landasan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT Remaja Rosdakarya