Teori Pendidikan
Pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktik. Teori pendidikan adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogyanya pendidikan itu dilaksanakan, sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara konkretnya (nyatanya). Praksis pendidikan adalah bidang kehidupan dan kegiatan praktis pendidikan. Kedua jenis seyogyanya tidak dipisahkan, sebaiknya siapa yang berkecimpung dalam bidang pendidikan perlu menguasai keduanya. Teori mengandaikan praktek dan praktek berlandaskan teori. Oleh karenanya dipandang janggal bila ada orang yang mengatakan dapat melaksanakan pendidikan tanpa menguasai teorinya (Wibowo,2012).
Teori pendidikan perlu memiliki syarat-syarat, seperti logis, deskriptif, dan menjelaskan. Logis artinya memenuhi syarat-syarat untuk berpikir lurus dan benar, deskriptif atau penggambaran berarti dipaparkan secara jelas, sedangkan menjelaskan berarti memberikan penerangan. Teori pendidikan tidak dapat disusun seperti teori dalam ilmu pengetahuan alam. Teori pendidikan disusun sebagai latar belakang yang hakiki dan sebagai rasional dari praktek pendidikan yang pada dasarnya bersifat direktif. Disusun sedemikian rupa dengan maksud untuk menemukan sejumlah penemuan dalam praktek.
Fungsi teori pendidikan menunjukkan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan sehingga disebut direktif. Istilah direktif tersebut memberikan makna bahwa pendidikan itu mengarah pada tujuan yang hakikatnya adalah terwujudnya perkembangan optimal, kesejahteraan dan kebahagiaan peserta didik. Pendidikan mempunyai obyek materi manusia, maka nilai-nilai yang berkenaan dengan kemanusiaan menjadi muatan dalam teori pendidikan. Keterlibatan norma dan nilai dalam pendidikan adalah bahwa teori pendidikan mempunyai muatan tanggungjawab moral dari pihak pendidik itu sendiri.
Pendidikan memandang manusia sebagai obyek dan subyek. Dikatakan obyek bahwa manusia menjadi sasaran pendidikan, terutama dalam hal kapasitasnya sebagai mahluk yang sedang tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya, sifat pertumbuhan dan perkembangan itu menjadi perhatian hangat pendidikan untuk dipengaruhi dan diarahkan. Sedangkan manusia sebagai subyek karena dengan potensinya manusia mempunyai daya untuk mengembangkan diri yang seterusnya menjadi mahluk yang berkepribadian dan berkarakter.
Makna Pendidikan
Sebagaimana disadari bahwa pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang memengaruhi perkembangan fisik, mental, emosi, sosial, dan etiknya. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam memengaruhi seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu. Secara umum dan sangat mendasar sebagaimana Driyarkara (1980) mengatakan bahwa “pendidikan adalah memanusiakan manusia menjadi manusia. Pendidikan dipandang sebagai komunikasi keberadaan (eksistensi) manusiawi yang otentik kepada manusia lain, agar dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Komunikasi ini terlaksana dalam kesatuan antar pribadi antara pendidik dan peserta didik.
Pendidikan adalah upaya normatif yang membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya, sebagaimana ditegaskan Kartadinata, S (20011: 3) “pendidikan adalah upaya normatif yang membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Lantas kemanakah manusia akan dibawa melalui upaya pendidikan? Jawabannya harus ditemukan melalui dan bermuara kepada pemahaman tentang hakikat manusia itu sendiri. Hakikat manusia tidak akan terlepas dari pertanyaan-pertanyaan antropomorfik karena pandangan manusia terhadap dunia dan dirinya tidak bisa lepas dari sudut pandang eksistensial manusia itu sendiri. Pertanyaan yang berkenaan dengan ”Siapa saya?”, Apa dunia ini?”, Apa yang harus saya perbuat?”, Apa yang dapat saya harapkan?” merupakan pertanyaan seputar upaya memahami hakikat manusia.
Lebih jauh dijelaskan (Kartadinata,S 20011: 3 – 9) upaya menemukan jawaban dari pertanyaan berkenaan hakekat manusia, berbagai Pandangan dan tafsiran dari aliran yang berbeda. Harold H.Titus (1959:141-145) menggolongkan tiga aliran penafsiran terhadap hakikat manusia. Ketiga golongan itu ialah tafsiran klasik atau rasionalistik, tafsiran teologis,dan tafsiran ilmiah.
Tafsiran klasik atau rasionalistik, yang bersumber pada filsafat Yunani dan Romawi, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan Kant memandang manusia sebagai mahluk rasional. Pandangan Socrates maupun Plato, manusia yang cerdas itu adalah manusia yang berbudi atau manusia yang saleh; (”...the intelligent man is the virtuoes man”) (Titus,1959: 142). Demikian pula Aristoteles memiliki pandangan yang sama dengan Plato bahwa:”...the reason (nous) is man’s true self and indestructible essence.” (Comford,1945: 342). Kulminasi pandangan klasik ini terletak pada filsafat Kant yang juga memandang manusia sebagai mahluk rasional (Fromm; Xirau,1968: 4 – 5). Kant mengakui bahwa dengan kemampuan rasio, manusia memperoleh pengalaman dan pengetahuan tetapi pengalaman dan pengetahuan itu tidak dapat dijadikan dasar keyakinan yang absolut bagi manusia. Jadi menurut pandangan klasik (rasionalistik) manusia itu difahami terutama dari segi hakikat dan keunikan pikirannya. Pandangan ini merupakan pandangan optimistik, terutama mengenai keyakinan akan kemampuan pikiran manusia.
Sementara itu tafsiran teologis, memandang manusia sebagai mahluk ciptaaan Tuhan, dan dibuat menurut aturan Tuhan. Manusia hanya akan menemukan dirinya apabila dia mampu mentransendensikan kehidupan yang alami kepada tingkatan yang paling tinggi, yaitu Tuhan. Manusia adalah mahluk yang memiliki kemungkinan untuk berbuat baik atau jahat, dia memiliki kelemahan dan keunggulan. Kelemahan manusia dapat membawa dirinya terperosok ke dalam tataran kehidupan yang paling rendah (tingkat kehidupan hewani), tapi dengan kekuatannya pula manusia dapat mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Dalam tafsiran teologis perkembangan manusia terarah kepada upaya menemukan nilai kehidupan instrinsik dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Tafsiran teologis ini bersumber dari ajaran agama (tertentu), sehingga dimungkinkan pula keragaman pandangan tentang hakikat manusia meskipun ada hal-hal yang bersifat universal.
Tafsiran ilmiah tentang manusia bervariasi, bergantung kepada sudut pandang ilmu yang digunakan. Ilmu-ilmu fisis memandang manusia sebagai bagian dari keteraturan alam filsafat, oleh karena itu manusia harus dipahami dari segi hukum-hukum fisis dan kimiawi (Titus,1959: 143). Studi dan tafsiran ilmiah tentang manusia ini pertama kali dilakukan oleh Freud (Fromm; Xirau,1968 :5), yang menerapkan hukum-hukum fisika dalam memahami dan menjelaskan mekanisme perilaku manusia.
Pandangan tentang manusia secara menyeluruh merupakan hasil pemikiran yang tidak hanya berkisar pada kajian manusia dalam kaitannya dengan diri sendiri dan lingkungan dunia yang masih terbatas, melainkan menjangkau hakikat manusia secara menyeluruh dan utuh. Pandangan yang menyeluruh dan utuh ini hendaknya mampu menjelaskan secara penuh harkat dan martabat manusia. Selanjutnya harkat dan martabat manusia inilah yang benar-benar membedakan manusia dari mahluk-mahluk lainnya di alam semesta.
Sejalan dengan penjelasan yang telah diuraikan, (Wibowo,2012) mengemukakan upaya pendidikan adalah upaya normatif. Keajegan pandangan tentang hakikat manusia mutlak diperlukan di dalam pendidikan, karena pandangan itu akan menjadi dasar arah normatif strategi pendidikan. Pemikiran tentang hakikat manusia membawa implikasi imperatif bagi pendidikan untuk tidak terpaku pada ke-kini-an dan ke-disini-an (here and now), walaupun aspek itu diakui cukup penting.
Sedangkan dari persepktif tujuan dan fokus pendidikan dikemukakan (Bereiter,1973: 6), mendidik anak berarti bertindak secara bertujuan dalam memengaruhi perkembangan peserta didik sebagai satu kesatuan pribadi”. Apa yang patut dilakukan dan diberikan pendidik kepada peserta didik dalam proses pendidikan merupakan suatu pilihan moral yang mempunyai tujuan dan fokus yang jelas”. Pendidikan dalam perspetif ini sejalan dengan hakikat manusia yang lahir dengan fitrahnya dan memiliki kemerdekaan untuk berkembang, maka pendidikan harus dipandang sebagai upaya untuk mengembangkan kemerdekaan manusia yang memungkinkan manusia bereksistensi dan berekstensi menuju arah berinsistensi, sebagai titik puncak dari penduniaannya (Driyarkara,1980:57).
Pandangan lain terkait yang menyatakan dimensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah dimensi kefitrahan, dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi kesusilaan, dan dimensi keberagamaan. Kata kunci kandungan dimensi kefitrahan adalah kebenaran dan keluhuran, dimensi keindividualan adalah potensi dan perbedaan, dimensi kesosialan adalah komunikasi dan kebersamaan, dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral, dan dimensi keberagamaan adalah iman dan takwa. Kelima dimensi kemanusiaan tersebut saling terkait. Dimensi kefitrahan menduduki posisi sentral yang mendasar dari keempat dimensi lainnya. Dimensi keindividualan, kesusilaan dan kesosialan saling terkait antara ketiganya, dan ketiganya itu terkait dengan dimensi kefitrahan dan keberagamaan; sedangkan dimensi keberagamaan merupakan bingkai dan sekaligus wajah dan keseluruhan aktualisasi kehidupan individu dengan kelima dimensinya (Prayitno, 2009:15 – 17).
Karena pendidikan tidak akan terlepas dari dan bahkan selalu terkait dengan manusia yang sedang berada dalam proses berkembang dalam segala dimensi keunikannya. Terkandung makna disini bahwa melalui proses pendidikan diharapkan manusia berkembang kearah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Jika pendidikan ini dipandang sebagai suatu upaya untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Dengan demikian jelas pendidik harus memahami manusia sebagaimana pernyataan “Pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualisasinya, kemungkinan (possibilities),dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia “(Kartadinata, 2011:9).
Pendidikan dipandang bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju tingkat kedewasaannya. Pendidikan tidak dipandang hanya sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan.
Pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu, maupun sebagai warga negara atau warga masyarakat. Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha yang disengaja dan direncana dalam memilih isi (materi) strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai. Kegiatan tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, berupa pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Apabila diarahkan dengan keberadaan dan hakikat kehidupan manusia, kegiatan pendidikan diarahkan kepada empat aspek pembentukan kepribadian manusia yaitu pengembangan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk beragama (religius).
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Pendidikan bagi bangsa yang sedang membangun seperti bangsa Indonesia saat ini merupakan kebutuhan mutlak yang harus dikembangkan sejalan dengan tuntutan pembangunan tahap demi tahap. Pendidikan yang dikelola dengan tertib, teratur, efektif dan efisien akan mampu mempercepat jalannya proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang (Wibowo,2012).
Dengan memahami makna pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, pendidik umumnya dan praktisi bimbingan dan konseling khususnya dapat memperoleh berbagai keuntungan yang bermanfaat diantaranya memberikan pemahaman terhadap peserta didik yang membutuhkan pelayanan sebagai manusia yang tidak terlepas dari harkat dan martabat dalam kehidupannya.
Hakikat Pendidikan
Pendidikan dalam Konteks Pembangunan Nasional
Pendidikan sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupan manusia, merupakan bagian dari pembangunan nasional. Inti dari pada pembangunan pendidikan nasional ialah upaya pengembangan sumber daya manusia unggul dalam rangka mempersiapkan masyarakat dan bangsa kita menghadapi millenium ketiga sebagai era yang kompetitif apalagi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah datang.
Atas dasar pemikiran di atas, hakekat pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberi kesempatkan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal dan mampu bersaing dengan masyarakat secara global diantaranya berperan aktif dengan datanganya Masyarakat Ekonomi Asean.
Hakekat Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan dan Pemberdayaan Manusia
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk memajukan dan mengembangkan kecerdasan, kepribadian, dan fisik maupun sosial peserta didik. Dengan demikian keberhasilan suatu proses pendidikan sangat bergantung pada sejauh mana berkembangnya kecerdasan, kepribadian, sosial dan pertumbuhan fisik tersebut, dapat dicapai secara bersama-sama. Tinggi dan rendahnya pencapaian pertumbuhan dan perkembangan, tersebut sangat menentukan tingkat keberhasilan proses pendidikan bagi peserta didik, disisi lainnya kebersamaan tumbuh dan berkembang aspek yang ada dalam diri peserta didik menjadi faktor penentu.
Pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun diri sendiri dan masyarakat. Proses pembudayaan dan pemberdayaan berlangsung sepanjang hayat, dimana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Wibowo,2012).
Pendidikan adalah pemberdayaan peserta didik dalam menghadapi dinamika kehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang, maka pemahaman tentang kemanusiaan secara utuh merupakan keniscayaan. Sebaliknya, jika pengertian dan pemahaman terhadap pendidikan kurang tepat tentu akan melahirkan konsep dan praktik pendidikan yang juga kurang proporsional.
Dalam konteks pendidikan sebagai proses pembudayaan maka setiap pendidikan itu senantiasa harus dilakukan dengan pendekatan budaya. Apabila pendidikan tidak dilakukan dengan pendekatan budaya maka hanya akan melahirkan orang-orang yang tidak beradab (Wibowo, 2012). 1946). Oleh karena setiap anak memiliki kecerdasan, kepribadian dasar, dan kondisi tubuh yang berbeda-beda maka dalam pengembangannya disesuaikan pada keinginan, gagasan dan kreativitas masing-masing peserta didik. Hanya saja manakala ditemui keinginan, gagasan, dan kreativitas yang tidak mendidik barulah pendidik memberikan bimbingannya. Hal ini menuntut pendidik harus pandai-pandai menyesuaikan diri dengan kondisi peserta didik, dan bukan peserta didik yang harus menyesuaikan terhadap pendidiknya.
Sebagaimana dikemukakan upaya pendidikan adalah upaya normatif. Keajegan pandangan tentang hakikat manusia mutlak diperlukan di dalam pendidikan, Karena pandangan itu menjadi dasar arah normatif strategi upaya pendidikan (Wibowo, 2001). Meskipun pendidikan itu tidak pernah berlangsung dalam kevakuman dan tidak pernah steril dari nilai-nilai sosial budaya, pendidikan bukanlah proses transformasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya belaka.
Proses pendidikan menyangkut pengembangan seluruh dimensi kepribadian manusia, mengembangkan kesadaran manusia akan makna hidup sebagai mahluk individual, mahluk sosial dan mahluk Tuhan. Dalam pengembangan kesadaran terkandung makna bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi; proses memanusiakan manusia yang akan membedakan manusia dengan mahluk lainnya, mandiri dan berbudaya.
Hakekat Pendidikan sebagai Upaya Pengembangan Kemampuan Manusia
Paradigma baru dalam pendidikan mengisyaratkan perlunya memberi peluang aktualisasi keunggulan kemampuan manusia yang tersembunyi dalam dirinya. Upaya dalam pengembangan manusia terbagi dua pendekatan yang saling melengkapi, yaitu pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan kemampuan manusia. Pengembangan sumber daya manusia atau Human Resource Development (HRD), terutama terfokus pada keterampilan, sikap dan kemampuan produktif ketenagakerjaan sehingga diperlakukan manusia sebagai “sumber untuk dimanfaatkan” (yaitu sebagai obyek), dalam mencapai tujuan ekonomi, terutama dalam jangka pendek. Pengembangan itu tidak terjadi dari dalam, melainkan “diatur dari atas” sesuai kepentingan lingkungannya. Seyogyanya pendidikan itu teralihkan fokusnya kepada perkembangan dan keterwujudan kemampuan manusia atau Human Capacity Development (HCD) berhak dan mampu memilih berbagai peran dalam meraih berbagai peluang partisipasi, sebagai anggota masyarakat, sebagai orang tua, atau sebagai pekerja dan konsumen, yaitu suatu perkembangan arah dan sasarannya terutama terjadi dari dalam, namun disulut untuk aktualisasinya sekaligus mempunyai daya saing yang tinggi dan daya tahan terhadap gejolak ekonomi terlebih dalam masa perkembangan MEA saat ini.
Mutu HCD tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual, namun juga kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual. Asumsi ini mengandung implikasi bahwa pendidikan yang bersifat umum dan klasikal, yang dalam banyak hal lebih banyak peduli terhadap belajar intelektual, perlu dibarengi dengan strategi upaya yang secara sistematis untuk membantu individu mengembangkan pribadi, memperhalus dan menginternalisasi nilai-nilai yang diperoleh di dalam pendidikan, serta mengembangkan keterampilan hidup.
Pendidikan adalah kendaraan mencapai keterwujudan unggulan manusia berdasarkan motivasi instrinsik, menuju pada kinerja yang akuntabel, berkualitas dan otonom sebagai manusia yang bermartabat, bukan semata sebagai manusia yang harus mengisi keseimbangan antara supply dan demand, dari sudut pandang manajemen, orientasi HCD terfokus pada brain power planning dan bukan terutama pada man powerplanning. Meskipun kedua orientasi tidak sepenuhnya bertentangan, namun analisis dari kemengapaan, terutama HCD akan menampilkan proses inquiry yang sifatnya multi dimensional. Selain itu, orientasi itu berdasarkan perspektif pengembangan jangka panjang yang jauh melebihi jangkauan relevansi dan efisiensi semata, karena memiliki refleksi terhadap aspek kompleks kualitatif perkembangan masyarakat. Sebaliknya, manpower planning yang dilandasi oleh paradigma supplyand demand, banyak terhalang oleh berbagai kendala, antaralain berkenaan dengan perubahan cepat teknologi akibat perkembangan iptek yang merupakan tuntutan pasar dan mempersyaratkan keterampilan baru dalam memasuki dunia kerja (Wibowo,2012)
Hakekat Pendidikan sebagai Investasi SDM
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu investasi SDM (human capital investment) yang diharapkan mampu menciptakan iklim yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk turut andil dan berperan serta dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Pelaksanaan pendidikan harus dapat mengembangkan dan menyebarluaskan nilai dan sikap produktivitas SDM melalui pengembangan dua kemampuan sekaligus, yaitu: Pertama kemampuan teknis seperti peningkatan penguasaan kecakapan, potensi dan keahlian yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan lapangan kerja yang berubah. Kedua, kemampuan lain dalam kaitan dengan budaya yang mendorong SDM untuk menjadi kekuatan penggerak pembangunan, seperti wawasan, penalaran, etos kerja, orientasi ke depan, kemampuan belajar secara terus menerus, dan sejenisnya.
Kemampuan untuk mengembangkan kedua kekuatan SDM tersebut di atas, maka pendidikan sebagai suatu investasi SDM memiliki fungsi yang paling menonjol yaitu sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, yang akhirnya akan memberikan tingkat balikan yang tinggi terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan berkelanjutan. Investasi pendidikan lebih berjangka panjang, tingkat balikan terhadap investasi pendidikan belum tentu dapat dinikmati dalam kurun waktu 1-2 tahun, melainkan belasan dan bahkan mungkin puluhan tahun.
Jarak antara waktu seseorang menjalani pendidikan dengan waktu ia memasuki masa produktif dalam masyarakat maupun lapangan kerja bukanlah waktu yang pendek. Dalam keadaan normal, rentang waktu ke depan seorang lulusan SMA/ SMK adalah 9 tahun, sekolah menengah adalah 12 tahun, Sarjana (S1) sekitar 16 tahun.
Dengan rentang waktu yang panjang tersebut, maka investasi pendidikan dituntut untuk lebih berorientasi ke masa depan. Investasi pendidikan dapat dipandang sebagai suatu proses peningkatan nilai tambah dalam sektor-sektor produktif yang dapat memacu pertumbuhan secara tepat. Nilai tambah tersebut dihasilkan dari keterampilan, dan keahlian yang diperoleh seseorang dapat disumbangkan dengan derajat profesionalisasi yang semakin tinggi lagi.
Investasi SDM melalui pendidikan dapat dibedakan dengan berlandaskan pada tiga konsep dalam ekonomi publik, yaitu pendidikan sebagai barang dan jasa umum (public goods); pendidikan sebagai barang dan jasa produktif (productive goods); dan pendidikan sebagai barang dan jasa capital (capital goods). Ketiga konsep ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan baik dalam penentuan prioritas pembangunan pendidikan, maupun dalam pembagian tanggung jawab investasi SDM melalui pendidikan antara pemerintah dengan masyarakat.
Manusia produktif adalah manusia yang mampu mengembangkan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan yang terkait dengan masa depan. Hal ini akan terwujud sebagaimana dinyatakan pengembangan ini akan dilengkapi dan meningkatkan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan dengan pengembangan nilai dan sikap (Wibowo, 2000). Dengan demikian jelas bahwa pendidikan mengupayakan pengembangan segenap potensi individu secara optimal pada setiap tahap perkembangan, dan berperan aktif dalam pembentukan manusia produktif.
Manusia produktif adalah manusia yang mampu mengembangkan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan yang terkait dengan masa depan. Hal ini akan terwujud sebagaimana dinyatakan pengembangan ini akan dilengkapi dan meningkatkan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan dengan pengembangan nilai dan sikap (Wibowo, 2000). Dengan demikian jelas bahwa pendidikan mengupayakan pengembangan segenap potensi individu secara optimal pada setiap tahap perkembangan, dan berperan aktif dalam pembentukan manusia produktif.