Ia begitu banyak menulis sehingga kita dapat merasakan semua pikirannya telah terungkapkan, seakan-akan apa pun yang muncul dalam pikirannya yang selalu ingin tahu, ia tuliskan ke dalam puluhan, ratusan atau ribuan buku catatan yang ia tinggalkan ketika ia meninggal. Mungkin ini berlebih-lebihan. la meninggalkan sejumlah kenangan yang disembunyikan atau yang samar dari kehidupannya. Bahkan tanggal kelahirannya pun tidak begitu jelas. Beberapa fakta menunjukkan tahun 1898 sebagai tahun kelahiran Eric Hoffer di Bronx, dari orangtua imigran Jerman.
Tetapi selama tiga puluh tahun hidupnya, tatkala ia menjadi seorang pesohor, "filsuf pelabuhan" memberitahukan bahwa 1902 merupakan tahun kelahirannya. Kemisteriusan ini ternyata salah satu diantara darinya yang sulit diungkap. la orang aneh, yang tidak memiliki pendidikan formal dan tidak pernah menikah. la hidup seorang diri nyaris selama hidupnya. Terlepas dari keberhasilan buku-bukunya dan uang yang dihasilkan oleh buku-buku tersebut, harta bendanya tidak pernah banyak, kecuali buku-buku dan catatan-catatannya. Bentuk tulisannya terurai dengan sangat tenang, terkendali, gelap dan tidak sentimental. Ketika ia berada di tengah orang-orang yang bekerja bersamanya di pelabuhan, pada saat wawancara dengan para mahasiswa di acara public, ketika ia mulai berbicara ia mampu mengalirkan pembicaraan yang hangat, ramai, dan pernuh warna.
Kita tidak perlu menjelajahi apa-apa yang masih misterius tentangnya. la meninggalkan cukup banyak pengalaman hidup dan pendapat untuk dibaca, dipertimbangkan, dan diperdebatkan, seperti harapannya sendiri yang tersebar di dalam banyak situasi, untuk memberi kekuatan dan petunjuk yang kita cari, seperti dia sendiri, serta kebijaksanaan untuk mengerti potensi baik dan buruk manusia dan masyarakat yang kita bentuk. Apa lagi yang bisa kita harapkan dari seorang filsuf atau siapa pun yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk mengembangkan dan mengungkapkan pendapat-pendapatnya tentang sifat manusia? la mengatakan dirinya bukan seorang intelektual. Ia seorang buruh pelabuhan. la menemukan tujuan dan martabat dalam pekerjaan dan pemikirannya, yang sebagian besar penuh pemahaman dan orisinalitas yang terbentuk dari pengalamannya sebagai buruh kerja tangan, dan harga diri yang didapatkan oleh seorang pekerja dari industrinya, meskipun mungkin kita menganggap pekerjaan itu sebagai "kutukan" la merupakan seorang yang "tidak pas," akunya dengan bangga. Dan ia tinggal di sebuah negara, Amerika Serikat, yang menurutnya dibangun oleh "serba ketidak pasan". Di negara-negara lain, ketidak pasan ini memiliki jalan berbeda-beda karena pekerjaan dan hidup mereka hina dan tanpa makna.
Mereka menjadi orang fanatik untuk tujuan yang penuh kebencian. Tetapi tidak dengan hidupnya. Orangtuanya telah pindah ke New York dari Alsace-Lorraine, yang dulu merupakan bagian dari Jerman dan sekarang bagian dari Prancis. Ayahnya seorang pembuat lemari, sangat miskin namun sangat gemar dan banyak sekali membaca. Pada usia lima tahun, Eric Hoffer dapat membaca dan menulis dalam Bahasa Jerman dan Inggris, meskipun ia tidak pernah bersekolah. Ia tidak mempunyai kakak ataupun adik, ibunya meninggal ketika ia berusia tujuh tahun. Suatu usia yang sangat belia bagi seorang anak yang sangat membutuhkan sentuhan kasih dari ibu tercinta.
Baca Juga Kerendahan Hati Dwight D. Eisenhower
Di tahun yang sama Hoffer mengalami kebutaan. Entah apa penyebabnya. Keluarganya tidak mempunyai uang untuk perobatan ke dokter, sehingga tidak pernah ada penjelasan tentang kebutaan ini. Ayahnya, tinggal bersama anak yang dia sebut "anak idiot", mempekerjakan seorang perempuan desa dari Bavaria bertubuh besar dan berhati mulia, Martha Bauer yang ditugaskan untuk mengasuh putranya yang buta. Meskipun buta, Hoffer ingat ia sangat bahagia di masa-masa itu, persis disebabkan oleh cinta Martha Bauer kepadanya. Memasak untuknya, merapikan dirinya, bicara dan bernyanyi untuknya, menghibur sehingga tidak pernah merasa sedih atas masa kanak-kanaknya yang sulit, buta, miskin, keras dan yatim serta ayah yang tidak mengasihinya. Dengan aneh dan terus-terang, ia mengatakan kepada Hoffer bahwa mungkin hidupnya tidak akan melewati ulang tahun yang ke-empat puluh mengingat para pria dalam keluarganya meninggal muda. Mungkin ia bermaksud mendorong Hoffer menggunakan hidupnya dengan sebaik mungkin sebelum berakhir secara tiba-tiba. Selanjutnya ketika delapan tahun kemudian penglihatannya pulih tanpa diduga, ia sangat haus akan kata-kata tulisan, takut bahwa kelak ia akan kembali buta. Ia tinggal di dekat sebuah toko buku bekas, dan mengatakan bahwa ia sudah membaca semua buku didalam toko tersebut, yang sebagian besar di antaranya jauh di atas tingkat baca untuk remaja.
"Membaca adalah satu-satunya pekerjaan dan hobi saya," ingatnya. Ketika Perang Dunia Pertama berakhir pada tahun 1919, Martha Bauer kembali ke negara asalnya, Jerman. Perempuan itu merupakan satu-satunya sumber kemurahan cinta, meskipun ia tidak diperlukan lagi untuk mengasuh Eric kecil setelah bisa melihat kembali. Tahun berikutnya ayahnya meninggal, mengukuhkan peringatan Martha tentang masa hidup singkat para pria Hoffer. Ayahnya meninggalkan beberapa ratus dolar, tetapi tidak banyak benda lain kecuali buku-buku dan beberapa pakaian. Ia tidak mempunyai keluarga atau ternan yang merasa bertanggung jawab atasnya atau seseorang yang merasa bertanggung jawab atas dirinya.
la seorang diri tanpa pendidikan atau pengalaman formal, tidak tahu cara merawat dirinya dan memasuki dunia. Tanpa arah ia meninggalkan New York dan mengikuti tumpangan menyeberangi negeri ke California. Ketika ia tiba di perkampungan kumuh Los Angeles pada tahun 1920, akunya, hidupnya "berantakan." Ia menyewa sebuah kamar di dekat perpustakaan dan kegiatannya hanyalah membaca dan membaca di sepanjang harinya, hingga sampai-sampai ia menghabiskan uang warisan ayahnya. la tidak tahu bagaimana cara mencari pekerjaan, juga tidak punya ide tentang cara menghidupi diri dengan bekerja. Ia menjual buku-buku dan pakaiannya, dan ketika uang itu habis, ia melaparkan diri dan menunggu untuk kematian.
Setelah lima hari tanpa makanan, ia berjalan ke sebuah restoran dan menawarkan diri untuk mencuci piring sebagai ganti seporsi makanan. Sejak saat itu ia bekerja untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi ia menginginkan hidup yang cocok dan pas baginya. la ingin tetap bebas dari keterikatan dan tanggung jawab yang mengikatnya dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang lainnya. la hanya ingin bekerja ketika ia memang membutuhkannya, dan menggunakan waktu untuk membaca dan berpikir ketika ia dapat melakukannya.
Selama sepuluh tahun di Los Angeles, ia melakukan berbagai pekerjaan, mendapatkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, makanan, tempat bernaung, pakaian, dan buku. Ia tidak membutuhkan hal lain, dan tidak menginginkan yang lain. Menjelang akhir 1920, ia masih berkeyakinan bahwa dirinya akan ada pada usia empat puluh tahun, ia berhenti bekerja dan memutuskan hidup dengan sedikit uang yang telah ia tabung sampai masa uang itu habis, setelah dua bulan membaca tanpa gangguan, godaan dan aktivitas yang bernilai, ia akhirnya mulai memikirkan untuk bunuh diri. la tidak pernah menjelaskan alasan untuk pikiran gelapnya kecuali perasaan sia-sia yang mungkin ia rasakan ketika merenungkan kematian dini sebagaimana ia duga sendiri.
Baca Juga Kerendahan Hati Dwight D. Eisenhower
Apapun alasannya, ia pergi ke suatu tempat dimana ia selalu pergi ketika ingin mencari informasi, yakni perpustakaan umum, tempat ia mulai mencari jenis-jenis racun. Setelah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya beberapa tahun lebih awal dari umur yang telah diperhitungkannya sendiri, ia merasa bebas dari semua kekhawatiran dan harapan. Setelah mendapatkan racun yang tepat, suatu hari ia menaiki angkutan umum ke pinggir kota, berjalan beberapa jauh, kemudian meminum racun tersebut. Namun akhirnya ia meludahkannya kembali. Ia tidak memberi alasan atas perubahan rencana ini kecuali bahwa racun itu berasa tidak enak. Kemudian ia berjalan kembali ke kota, mengemasi buku-buku dan pakaian, lantas meninggalkan perkampungan kumuh untuk selamanya.
Selama sepuluh tahun berikutnya ia hidup berkelana, sebagian besar sebagai pekerja pertanian migran, dan ketika pekerjaan pertanian selesai, ia bekerja untuk Pelayanan Hutan Amerika Serikat atau ikut mendulang emas di Sierra atau pekerjaan-pekerjaan sementara lainnya. Dan tak lupa ia meluangkanl sedikit waktu libur untuk membaca. Ia tidak bisa melewatkan aktivitas pavoritnya yakni membaca, membaca dan membaca, buku-buku ia dapatkan dari seluruh California. Ketika ia memulai periode nomadik dalam kehidupannya, ia sempat melihat sebuah buku besar dengan tulisan kecil yang akan bertahan beberapa lama di dalam perjalanan-perjalanannya. Ia menemukan buku yang memenuhi tujuannya, Essays, karya seorang filsuf Francis abad keenam belas, Michel de Montaigne. Pokok kajian dan tulisan Montaigne adalah dirinya sendiri. Ia menggunakan pengalaman dan pengamatan-perjalanan, hasrat, kekecewaan, dan kegembiraan akan pendapat dan perilaku orang lain untuk tiba pada kebenaran tertentu tentang manusia. Kesimpulannya sebagaimana tercatat pada Essays, selanjutnya buku itu mengilhami Hoffer untuk melakukan hal yang serupa.
Di sepanjang hidupnya sejak saat itu Eric Hoffer mengenakan pakaian butut, hidup di jalanan atau lingkungan kasar dikota, membaca, berpikir, dan menulis tentang manusia, membawa buku buku catatan merah dan pensil di dalam berbagai saku jaketnya. Dengan itu ia mencatat pengamatan tentang perilaku manusia dan menjadi seorang filsuf. Montaigne juga memunculkan penghargaan akan kalimat cerdik ke dalam dirinya. Sekali ia mulai mengungkapkan pikiran ke dalam tulisan, ia tak pernah berhenti. "Tulisan itu saya hasilkan ketika menunggu kereta, di ladang-ladang ketika menunggu truk, dan di siang hari setelah makan siang," tulisnya kepada seorang editor yang ia serahi esai pertamanya, "Tramps and Pioneers", untuk dipublikasikan. "Kota-kota terlalu menganggu."
Dengan serius ia mulai mempelajari sifat manusia dan subjek yang akan menjadi tema dari buku pertamanya yang paling terkenal, “The True Believer”, yakni dorongan-dorongan pada orang yang menarik mereka kepada gerakan massa. Tandas Eric, tiadanya harga diri menyebabkan banyak orang menyerahkan identitas mereka kepada gerakan massa, dan menjelaskan bagaimana Jerman dan Rusia dapat merangkul tujuan tujuan jahat dari Hitler dan Stalin. Sementara di Amerika Serikat, kebutuhan akan keberhasilan, semangat pionir membangun sesuatu dari ketiadaan untuk diri sendiri, menghasilkan perasaan harga diri kepada orang-orang, serta keinginan untuk mencapai lebih banyak, bukan saja sebagai sebuah peradaban, melainkan juga sebagai perorangan. Ia jadi mencintai negaranya, meskipun ia mengakui dirinya bukan seseorang yang khas Amerika Serikat. Di negara ini, kebebasan menawarkan berbagai cara untuk harga diri. Dan di dalam kemajuan peradaban negara ini, ia melihat sumbangan khas orang-orang seperti dia, orang-orang yang "tidak pas", yakni orang-orang yang hidup bersamanya di perkemahan-perkemahan migran di California.
Ia sangat bahagia akan penemuan ini. Seperti para pionir, ada orang-orang yang untuk berbagai alasan "tidak pas" dengan masyarakat konvensional, meski begitu menanggung tugas besar, bertahan mengalami kesulitan luar biasa, dan mencapai hal-hal yang mustahil karena mereka harus melakukannya. Mereka menjadi mahir karena tindakannya. Ketika Amerika Serikat terlibat Perang Dunia Kedua, Hoffer mendaftar untuk menjadi sukarelawan. Saat itu ia sudah berusia empat puluhan, ia ditolak karena beberapa alasan fisik. Pada 1943, ketika perang menghabiskan sumber tenaga manusia dalam industri Amerika Serikat Hoffer mendapat kesempatan mendapat pekerjaan tetap yang cocok dengan kepribadiannya, kebutuhan kemandirian, dan hasrat untuk belajar dan menulis.
Ia pindah ke San Francisco, bergabung dengan persatuan buruh pelabuhan, dan mulai bekerja di pelabuhan dagang kota tersebut, menawarkan diri mengerjakan pekerjaan tersulit sekalipun sebagai cara untuk menyumbangkan diri demi negaranya. Ia bekerja di pelabuhan ini selama hampir seperempat abad, menyewa sebuah apartemen satu kamar di tengah kota, dekat perpustakaan umum San Francisco.
Ia menyimpan semua hartanya di dalam kamar: buku-buku catatan, dan sebuah meja yang terbuat dari sebilah papan tempat ia menulis. Ia menerbitkan buku pertamanya pada tahun 1951. The True Believer: Thoughts on the Nature of Mass Movements merupakan sebuah buku yang (sukses dan populer Ia jadi terkenal karena menemukan mengapa orang tertarik pada gerakan-gerakan seperti Nazisme dan komunisme), dan dizaman kita, gerakan ektremis, gerakan yang memandang rendah hidup manusia, dari pengalaman hidupnya sendiri dan dari sejumlah besar bacaannya. Ia menemukan akar-akar penyebab frustrasi orang-orang yang menolak atau takut bertanggung jawab bersamaan munculnya kesempatan keberhasilan perorangan-merendahkan hidupnya sendiri dan hidup orang lain. "Kecuali bila seseorang memiliki berbagai bakat untuk menjadikan dirinya “seseorang,” tulisnya, “kebebasan merupakan beban yang mengesalkan, kita bergabung dengan gerakan massa untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pribadi, atau dengan kata-kata kaum muda Nazi, untuk bebas dari kebebasan." Bagi orang yang frustasi, kebebasan dari tanggung jawab lebih menarik daripada kebebasan ikatan. Mereka sangat ingin menukar kemandirian dengan pelepasan terhadap kemauan, pengambilan keputusan dan bertanggung jawab atas kegagalan yang niscaya. Mereka rela menyerahkan arah hidup kepada pihak yang ingin merencana, memerintah dan menanggung semua tanggung jawab. Menurut Hoffer, penyerahan kebebasan ini menumbuhkan kerentanan terhadap dorongan-dorongan terburuk manusia. la mengamati bahwa,"Gairah kebencian dapat memberi makna dan tujuan kepada sebuah hidup yang kosong.
Jadi orang-orang yang dihantui oleh hidup tanpa tujuan akan berusaha menemukan isi baru bukan hanya dengan mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang suci tetapi juga dengan menumbuhkan kepedihan fanatik. “Sebuah gerakan massa menawarkan kesempatan yang tak terbatas untuk kedua hal ini." Pemahaman-pemahaman Hoffer sepertinya sudah umum untuk zaman sekarang, tetapi semua itu sungguh orisinal di zaman itu. Banyak intelektual Amerika Serikat dari tahun 1950 dan 1960-an masih merasa bahwa masa depan kemanusiaan terletak pada pemerintahan kumpulan buruh yang tersentralisasi di negara-negara sosialis, dan bukan pada usaha, kegagalan, dan keberhasilan perorangan di negara-negara bebas.
Baca Juga Kerendahan Hati Dwight D. Eisenhower
Dengan sangat cerdik Hoffer mengupas kebohongan dan imoralitas ideologi yang membohongi diri itu, dan ia melakukanya dengan gaya tulisnya yang sangat praktis, mudah dipahami, khas Amerika Serikat. "Seorang manusia hanya mengurus urusannya sendiri, jika urusannya itu layak diurus. Namun jika tidak, ia akan melepaskan pikiran dari urusannya yang sia-sia dan mengurusi urusan orang lain," tulisnya. Buku itu bukan saja menimbulkan sensasi di antara orang terpelajar Amerika Serikat, tetapi juga di antara orang dari semua kelas, ras, serta kepercayaan, dan bukan relevan untuk zamannya saja. Pemahamannya tetap sangat berarti untuk masa kini ketika kita berusaha memahami bagaimana orang bisa menyetujui dan mendukung teroris yang membunuh ribuan orang tak berdosa atas nama agama.
Orang-orang yang merasa simpati kepada sosialis dan gerakan kolektif lainnya, serta secara naluriah memendam perasaan tak percaya kepada pemerintah dan masyarakatnya tidak selalu setuju dengan falsafah Hoffer. Biasanya mereka berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, dan ketika ia sudah lebih dikenal, menerbitkan lebih banyak buku dan menjadi pembela Amerika Serikat yang fasih, mereka semakin tidak menyukainya.
Tetapi pada saat itu, dan syukurnya hingga saat ini mereka hanya sekelompok kecil dari masyarakat, dan meski pendapat mereka mengalami pasang-surutnya persetujuan publik, mereka tidak pemah mendapat banyak dukungan. Hoffer merupakan pembicara yang istimewa bagi orang Amerika Serikat. Dengan topi pekerja di kepalanya yang botak, pakaian dengan sikap seorang buruh, dan tubuh besar yang kuat akibat pengalaman kerja fisik, kehadirannya seakan menantang ide surgawi seorang buruh yang ditawarkan oleh sosialisme. Ia membuat gusar para elite intelektual dari kalangan universitas, pemerintah, dan dewan editorial media massa yang relatif nyaman, percaya bahwa mereka telah memikirkan para buruh, ia tidak pernah berada di belakang atau di depan zaman. Sepertinya ia juga tidak peduli. Tetapi, ia tidak pernah menganggap dirinya seorang konformis, seseorang yang ia anggap tidak berguna. "Para non konformis berkelana sebagai sebuah ikatan besar dari ikatan-ikatan kecil yang beraturan. Dan terkutuklah dia yang berada di dalam kumpulan non-konformis yang tidak sepakat dengan non-korformitas. Ia hanya seorang buruh pelabuhan yang banyak membaca dan menulis, dan ia bangga karenanya.
Ketika ia angkat bicara untuk Amerika Serikat, ia mengobarkan tentang kehormatan, bukan saja tentang kemakmurannya kota-kota modern, namun juga keajaiban teknologi, dan lomba menempatkan manusia di bulan serta kemewahan kehidupan Amerika Serikat, tetapi untuk orang yang sudah memungkinkan semua itu, bahkan banyak di antaranya dianggap sebagai orang buangan, rendahan, dan ditolak. Kalimat umum yang menjadi favorit ialah sebuah esai Hoffer dalam buku The Ordeal of Change. Kalimat ini memuji orang-orang Amerika Serikat serta dorongan untuk memperbaiki diri dan kelayakan diri yang dibangkitkan oleh kemerdekaan di dalam diri. Di Amerika Serikatlah, rakyat biasa dari Dunia Lama diberi kesempatan untuk menunjukkan yang dapat mereka lakukan sendiri, tanpa seorang tuan yang mendorong dan mengatur mereka.
Sejarah melahirkan sebuah gurauan yang mengguncang dunia ketika ia memunguti orang desa, penjaga toko, buruh, pengemis, residivis, dan pemabuk dari Eropa, dan membuangnya ke sebuah benua yang luas nan perawan dan berkata: "Ayo kerjakan; itu milikmu!" Dan orang-orang rendahan ini tidak terpaku oleh tugas yang sangat besar sekalipun.
Kerinduan untuk bertindak, yang telah terhambat selama berabad-abad, menemukan sebuah pelepasan. Mereka mengerjakan dengan kapak, pacul, bajak dan senapan; di atas kaki, kuda, kereta, dan perahu. Mereka mengerjakan dengan berdoa, meraung, menyanyi, menyumpah-nyumpah, minum, dan bertengkar. Mereka membuka jalan untuk orang-orang. Buku-bukunya meraih lebih banyak pembaca dan menghasilkan lebih banyak uang. Presiden Eisenhower menyebut Hoffer sebagai penulis favoritnya. Ia menjadi kenal dengan presiden-presiden lain, serta tokoh-tokoh terkemuka lain di zamannya. Terlepas dari keberhasilan sebagai pengarang dan pujian publik, Hoffer melanjutkan pekerjaan di pelabuhan, dan tiggal di sana, bahagia dengan pekerjaannya selama bertahun- tahun. Selain menulis buku-buku, ia juga menulis kolom surat kabar untuk beberapa lama, menduduki jabatan di Universitas California, di Berkeley, dan di Universitas Stanford, tempat ia menyihir dan membangkitkan kemarahan para mahasiswa maupun profesor dengan kekuatan argumen tentang kebenaran sifat manusia dan masyarakat, serta semangat bicara dan gaya debatnya.
Pada tahun 1967 ia memberi wawancara selama satu jam kepada CBS, dan wawancara tersebut menjadi program yang paling banyak ditonton dan menimbulkan reaksi di masa itu. Tetapi ketenaran dan kemakmuran tidak mengubah dirinya. "Yang utama ialah tidak terlalu serius dalam menganggap diri," katanya. Ia terus bekerja, membaca, dan menulis. Ia ingin bekerja sebagai buruh pelabuhan sampai mati. Tetapi usia lanjut dan penurunan fisik jarang membiarkan kita tetap melakukan pekerjaan dengan tuntutan seperti itu. Ia pensiun dari pelabuhan, tetapi tak pernah pensiun dari berpikir. Untuk menggantikan olahraga di pelabuhan, setiap hari ia berjalan di Taman Golden Gate. Di sana diam-diam ia menuliskan pengamatannya ke dalam kalimat-kalimat yang menggugah.
Pada 1970 ia berhenti menulis kolom surat kabar, karena ia enggan "mati sambil menggonggong." Seiring berlalunya tahun, ia mundur dari kehidupan publik, dengan berkata, "Setiap orang dapat naik kereta api. Hanya orang bijak yang tahu kapan harus turun." Meski begitu ternyata ia terus menulis di dalam buku catatannya dan di dalam sebuah memoar yang kelak diterbitkan setelah kematiannya di tahun 1983 segera setelah ia meninggal, Presiden Reagan memberinya penghargaan Medali Kemerdekaan (Medal of Freedom), dan ia mengingat pertemuannya dengan Hoffer, "Saya mendapatkan beberapa nasihat yang sangat baik, sehat dan sangat dalam, kenangnya. Hoffer pernah meringkas hidupnya kepada seorang pewawancara sebagai "dua puluh tahun di kamar bayi, dua puluh tahun di selokan, dan dua puluh tahun di pelabuhan." Tetapi mungkin penjelasan yang lebih baik dan pujian bagi kehidupannya yang luar biasa serta unik ditemukan dalam memoir tersebut, di sana ia merenungkan cara kerja ingatan: "Betapa menakjubkan bahwa hidup yang paling penuh sesaklah yang paling mudah diingat. Hidup penuh kegagalan, keberhasilan, kekecewaan, kejutan, dan krisis merupakan hidup yang penuh dengan peristiwa menonjol. Dalam hidup yang kosong, rinciannya pun buram, dan sulit untuk diingat dengan jelas." Ia punya banyak kenangan. Kehidupan seorang Eric Hoffer buruh pelabuhan, merupakan kehidupan yang sulit untuk dilupakan.
Mantap ah….(J)
Disarikan dari John McCain bersama Mark salter "Character is Destiny"
Sangat menginspirasi, terima kasih
BalasHapus