Kendali Diri George Washington


Orang yang menentukan diri sendiri, belajar mengatur diri sendiri sebelum akhirnya ia mengatur sebuah negara besar yang kelak menyatakan dirinya sebagai Bapak Bangsa.


Panglima utama tentara Kontinental telah bersikeras akan menyerang kekuatan lnggris yang lebih besar pimpinan Sir Henry Clinton, sementara mereka maju perlahan dari Philadelphia New York dengan perbekalan tipis. la memberikan komando pasukan penyerang Amerika Serikat kepada Jenderal Charles Lee, seorang perwira berpengalaman agak aneh yang terkenal karena gaya hidup mewahnya, banyak minum, dan lebih memilih orang kasar daripada masyarakat yang sopan. Dia sebelumnya merupakan prajurit keberuntungan bagi beberapa kerajaan Eropa.

Perilakunya terhadap atasan sering kurang ajar cermin dari sikap merendahkan bakat militer orang lain kecuali untuk dirinya. la suka berengkar, bermuka asam, dan sulit mengendalikan sikap temperamental yang membuatnya mendapat julukan sebuah nama India yang jika diartikan berarti "air mendidih."

Lee menganggap bodoh keputusan untuk menghadapi Inggris di New Jersey, dan pada mulanya menolak mengepalai pasukan penyerang. Ketika kemudian posisi komandan ini ditawarkan kepada Marquis de Lafayette yang masih muda, akhirnya Lee menahan diri dan menerima jabatan ini sambil mengomel. Perintahnya ialah menyerang bagian belakang pasukan Inggris, kecuali ada situasi mendadak lain yang menghalangi dia untuk melakukannya, dan tetap menyibukkan mereka sampai pasukan Angkatan Bersenjata Kontinental tiba di medan pertempuran. 

Pagi 28 Juni 1778 cuaca di markas Monmouth, Freehold, New Jersey, sangat panas dan lembab. Termometer menunjukkan nyaris seratus derajat Fahrenheit. Para pria yang berjalan kaki maupun berkuda membuka baju sampai pinggang berusaha mendinginkan diri. Bernapaspun terasa sulit. Sebelum hari berakhir, banyak orang dan kuda yang terbebas dari peluru dan bayonet ternyata musnah oleh panas matahari. Dengan sedikit petunjuk dari Lee, pasukannya menyerang penjaga belakang pasukan Inggris secara sporadic, beberapa unit bertempur sedangkan beberapa lainnya tetap diam. Karena itu terjadilah kebingungan di antara para prajurit karena beberapa pasukan kebingungan apakah harus maju atau mundur, ternyata mereka lebih memilih yang kedua. 

Sebagai tindakan berhati-hati. Lee tidak melakukan apapun untuk mengatur prajuritnya yang kebingungan, tetapi menjawab pertanyaan kurir yang dikirim oleh panglima utama untuk menanyakan perkembangannya, "Katakan kepada jenderal bahwa tugas saya berjalan dengan cukup baik." Jenderal ini segera berangkat sendiri ke medan perang untuk melihat apa yang dimaksud dengan "cukup baik". Situasi dan kondisinya sebagaimana disurvei oleh George Washington yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang, ketika berkuda di sisi bawahannya yang pembangkang itu mengejutkannya, lantas memunculkan sebuah sifat Washington yang banyak digosipkan tetapi jarang bisa disaksikan yaitu betapa luar biasa amukannya. 

Melihat prajurit Amerika Serikat hancur dan jauh mundur dari musuhnya, Washington berteriak kepada Lee, "Apa maksud semua ini? Saya mau tahu apa arti ketidakaturan dan kebingungan ini!" "Pasukan ini," jawab Lee, "tidak akan bertahan terhadap bayonet Inggris." "Kamu pengecut," Tekan Washington, "kamu tidak pernah mencobanya." Dengan singkat tetapi sangat keras, Washington melakukan kekerasan kepada Lee seperti seseorang yang menggunakan kata-kata sebagai senjata. Menurut Jenderal Charles Scott, yang hadir pada pertemuan ini, Washington "pada hari itu menyumpahi seakan daun-daun di pepohonan ikut getarannya." 

Washington terkenal akan sikap pendiamnya yang sulit ditembus dan selalu sopan, kualitas yang didapat dengan susah payah oleh seseorang dengan temperamen sangat peka dan bergolak. Ia sangat kesal untuk bisa sedikit lepas kendali; ia yang tidak akut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang, namun ketidakmampuan Lee sudah cukup untuk melakukannya, dan akibatnya ledakan kemarahannya sungguh luar biasa yang sulit terlupakan bagi semua orang yang pernah menyaksikannya. 

Tetapi situasinya sedang sukar. Amerika Serikat sedang berada di pinggir kekalahan yang memalukan, dan Washington mustahil memberikan lebih"' banyak perhatian amarah kepada Charles Lee. Ia memerintahkan Lee keluar dari medan perang dan mengambil alih kepemimpinan prajurit yang sedang mundur kebelakang, berteriak kepada mereka, "Berdirilah dengan tegak terimalah musuhmu. Tentara akan datang untuk mendukung kalian." Ia berada di mana-mana secara bersamaan, sementara itu pada waktu yang sama peluru lnggris menghunjam tanah di sekelilingnya. Ia berseru, menglihami prajurit yang melarikan diri untuk berbalik dan melawan. Kudanya runtuh karena keletihan, namun ia segera menaiki kuda yang lainnya. 

Ia menghadang bahaya yang mendekat, menghadapi bencana yang menjelang; hari itu dan di setiap hari dari perang kemerdekaan Amerika Serikat yang panjang dan mahal, ia luar biasa. "Saya baru melihat orang yang luar biasa seperti dia," kenang Lafayette. Para prajurit, terdorong oleh teladan keberaniannya, bergabung, membentuk barisan, dan melawan musuh. Pada akhir harinya, Amerika Serikat memenangkan medan tempur, mencederai musuh dua kali lebih banyak daripada prajurit mereka sendiri. 

Baca Juga Kerendahan Hati Dwight D. Eisenhower

Pada pertempuran di Monmouth, orang-orang Amerika Serikat yang beruntung bertempur di bawah perintah Washington melihat sendiri esensi dari kekuatannya yang luar biasa, kemauan membaja, yang didorong penuh oleh temperamennya yang menyala, yang sudah ia coba disiplinkan dengan kendali diri kuat-kuat. Wajar menganggap Washington sebagai Bapak bangsa atau mengatakan bahwa sambil melakukan kendali diri ia mengatur dirinya sendiri menghadirkan Amerika Serikat.

Dalam kisah tahunan dari sejarah Amerika, hanya dua orang yang mustahil tergantikan sebagai penyelamat bangsa, yaitu Abraham Lincoln dan George Washington. Mustahil diperdebatkan bahwa bangsa Amerika Serikat sulit bertahan jika kedua orang itu tidak hadir pada saat-saat layanan mereka dibutuhkan. Pada saat ia menerima komando angkatan bersenjata di Kongres Kontinental tanggal 16 Juni 1775, dan segera berperan melegakan para pejuang pertahanan Amerika Serkat di Boston, menurut pengamatan seorang saksi di Philadelphia, ia adalah seorang "gentleman sejati." Ia hanya sesekali menjadi orang seperti ini, meski sudah berusaha keras sejak masih belia. Dua puluh tahun sebelumnya ia sudah terjun ke medan Perang Prancis dan Indian. 

Washington saat itu berusia dua puluh dua tahun, seorang pesurvei dan penanam yang mahir, menulis surat kepada Gubernur Virginia Robert Dinwiddie, menawarkan layanan sebagai prajurit dalam konflik yang semakin mendekat dengan Prancis, yang masuk dan membangun benteng-benteng di tanah di luar Appalachian yang diklaim oleh lnggris, dan menyebutnya sebagai negara Ohio. Meski tidak memiliki pengalaman militer, ia diberi pangkat letnan kolonel dan berbaris di depan dua pasukan milisi Virginia memasuki Pennsylvania. Di sana ia bergabung dengan sekutu India-lnggris dan melawan Prancis di Ft. Duquesne, yang berlokasi di tempat calon kota Pittsburgh.

Baca Juga Kerendahan Hati Dwight D. Eisenhower


Empat belas mil dari benteng, Washington menemukan sepasukan Prancis berkemah di tempat terbuka. Dengan empat Ruluh milisi Virginia dan sekutu Indianya, Washington mengepung Prancis dan memerintahkan serangan. Seperti yang dilakukan sebelum sebelumnya ia tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang. Pertempuran ini sangat cepat. Ketika kepala perwira Prancis, Joseph Coulon de Villiers, Sieur de Jumoville, berusaha menyerah dan menjelaskan bahwa ia mengepalai sebuah misi diplomatik, Washington tidak mampu mencegah Tanacharison, sekutu lndianya, dari menembus kepala Jumoville dengan tombak, dan memerintahkan orang-orangnya untuk melakukan hal serupa kepada prajurit Prancis yang terluka. 

Meskipun Prancis marah, laporan yang dikirim Washington kepada Dinwiddie tidak menyebutkan peristiwa demikian, melainkan sekadar mengatakan kematian Jumoville terjadi dalam pertempuran. Kemenangan kecilnya di Pennsylvania dirayakan di seluruh Virginia, koloni-koloni lain, dan di lnggris, membantu mengangkat reputasi Washington sebagai seorang militer yang menjanjikan. Washington telah memerintahkan tembakan pertama dalam perang Prancis dan India, teater awal dari Perang Dunia Pertama yang sesungguhnya, dikenal dalam sejarah sebagai Perang Tujuh Tahun, dan merupakan tanda pertama bahwa anak muda Virginia ini yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang kelak menjadi orang penting yang pernah ada. 

Washington dinaikkan pangkat menjadi kolonel dan diberi pasukan tambahan sampai menjadi 350 orang. la mendirikan benteng kasar dekat dari medan tempur kemenangannya, dan bersiap menghadapi pasukan Prancis yang jauh lebih besar lagi dari Ft. Duquesne yang sedang bergerak untuk membalas kekalahan Jumoville. Pilihan lokasi di Ft. Necessity sungguh mencerminkan ketidak pengalamannya. Benteng ini berdiri disebuah dasar sungai dikelilingi bukit berhutan di tiga sisinya, sehingga memberi tempat lebih tinggi dan posisi terlindung bagi musuhnya untuk menyerang pertahanan Washington. 

Baca Juga Kerendahan Hati Dwight D. Eisenhower


Di pagi hari tanggal 3 Juli 1754, tujuh ratus tentara Prancis merebut Ft. Necessity. Pada akhir harinya, situasinya tanpa harapan. Pasukan Washington terperangkap. Prancis mendominasi peperangan namun demikian mereka membolehkan Washington dan pasukan berbarisnya kembali ke Virginia dengan syarat ia menandatangani perjanjian penyerahan diri yang melarang pembangunan benteng-benteng baru lnggris di Ohio selama setahun lamanya, dan mengakui bahwa Jumoville telah dibunuh dan bukan gugur di medan pertempuran. Syarat terakhir ini mempermalukanya ketika ia kembali ke Virginia, dan ia menyatakan dirinya tidak mengerti ungkapan Prancis mengenai pembunuhan yang dituliskan, dan ia akan menolak menandatangani kalau saja tahu apa artinya. 

Kekalahan yang merendahkan ini tidak menodai reputasinya diantara orang-orang Virginia. Sebagai orang yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang, dengan pahit ia meletakkan jabatannya karena pertengkaran tentang pembayaran perwira-perwira kolonial, dan iapun tahu bahwa lnggris menolak menganggap setara jabatannya dengan jabatan tentara regular lainnya. 

Baca Juga Kemurahan Hati Oseola McCarty

Tetapi ketika Jenderal Edward Braddock dan pasukan tentara reguler lnggris tiba di Virginia pada 7 Februari 1755 untuk meluncurkan kampanye melawan Ft. Duquesne, ia sulit menolak daya tarik kejayaan perang, dan meminta Braddock agar memberinya jabatan di dalam pasukannya. Jenderal Braddock menawarkan posisi sebagai wakilnya dengan pangkat kehormatan kolonel. Washington menerima, dan meski ia bertengkar mengenai taktik dan karakter serta jasa-jasa perang orang Amerika Serikat dengan atasannya dalam perjalanan ke Pennsylvania, Braddock juga menghargai wakil mudanya itu.  Kepercayaan yang kelak akan terbukti pantas untuk diberikan. 

Meskipun anjuran Washington agar Braddock membagi barisan yang bergerak lamban dan mengirim satu pasukan terdepan untuk menemui Prancis terbukti keliru, konsekuensi dari kekeliruan tersebut merupakan bukti pertama dari keberanian dan ketenangan Washington yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang. Sembilan ratus tentara Prancis dan India menyerang Braddock ketika pasukannya menyeberangi Sungai Monongahela. Washington yang sedang sakit akibat disentri, pada awalnya tinggal di belakang bersama pasukan utama, tetapi ia baru saja dibawa kereta ke sisi Braddock ketika pertempuran dimulai. 

Pertempuran ini sungguh bencana. Pasukan lnggris yang lebih kecil segera dapat diatasi, dan Braddock, yang terkenal karena keberaniannya, terluka fatal. Meskipun sakit, Washington terjun dengan berani ke pertempuran. Pada mulanya ia berusaha menolong Braddock untuk menyusun prajuritnya yang panik, dan ketika usaha ini tidak mencegah kekalahan, ia memacu kuda ke bagian belakang, kembali dengan milisi Virginia untuk siap-siap menyerang sayap pasukan Prancis. Disertai pikiran yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang. Washington bertempur dengan sangat luar biasa. Di tengah badai tembakan dan kekacauan, ia memberi perintah, dua kuda yang ia tunggangi tertembak dan empat peluru meriam merobek jubahnya. Namun ia bahkan berhasil menemui Braddock ketika jenderal ini mengembuskan napas terakhirnya. 

Baca Juga Kemurahan Hati Oseola McCarty


Usahanya menyusun barisan yang mundur teratur berhasil dan menyelamatkan pasukan dari kehancuran total. Atas usaha ini ia ditunjuk untuk mengepalai seluruh pasukan Virginia. Beberapa tahun kemudian menjadi tahun-tahun yang membuat Washington frustrasi. la tidak melihat tindakan yang berarti dalam perang, dan ia sulit menerima perlakuan kurang hormat dari tentara regular Inggris pada jabatannya serta situasi-situasi lainnya yang ia pandang sebagai penghinaan terhadap kehormatannya. Ia mengeluh kepada atasan, mengkritik kinerja dan karakter orang-orang bawahannya, begitu juga perwira-perwira Inggris yang ia anggap tidak layak mendapat pangkat tinggi yang sepadan dengan perjuangannya, bahkan mengkritik tajam pelindungnya, Gubernur Dinwiddie, menunjukkan sikap berkeluh kesah yang bukan merupakan kualitas seorang gentleman. 

Menjelang perang berakhir, ia kembali memimpin pasukan ke Ft. Duquesne, namun kembali kehilangan kesempatan untuk berjaya ketika Prancis mengosongkan dan membakar benteng sebelum Inggris tiba. Ia melepaskan pangkat kolonialnya sebagai brigadier jenderal pada 1759, dan menduduki kursi dewan perwakilan Virginia, House of Burgesses, dan menikah dengan seorang janda yang sangat kaya, Martha Dandrige Custis, yang warisannya kelak membantu dia menjadi orang paling kaya dan menonjol di masyarakat Virginia. Meskipun semasa berseragam prajurit ia telah mengungkapkan kualitas kurang menarik dari temperamennya yang belum ia pelajari untuk dikendalikan, ia telah punya reputasi menarik sebagai seorang yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang. Lebih dari keberhasilan lainnya, ia sangat menghargai reputasi ini, tetapi terlalu peka terhadap kritik, bahkan kritik kecil sekalipun yang membuatnya merasa gelisah, meski keberanian dan kompetensinya telah membuat dirinya menonjol. Ia sulit menahan diri untuk tidak mempertahankan rekor dan karakter, yang sering sia-sia dan berlebihan. Tetapi ia belum sekali pun pernah menggunakan protes untuk menjaga nama baiknya. Ia juga berusaha keras untuk memperbaiki dirinya.

Baca Juga Kemurahan Hati Oseola McCarty


Sebagai orang yang lebih sadar diri dibandingkan kebanyakan orang, ia tahu bahwa dirinya harus mengendalikan gairah amarahnya, sejak kecil berani menghadapi tantangan dengan keteguhan serupa sebagaimana ia tunjukkan di medan perang. Ketika kelak ia mengenakan seragam kembali, ia sudah menjadi orang yang berbeda, tidak sangat terpengaruh oleh penghinaan kecil. Ia memang tidak pernah acuh pada kritik, tetapi tidak membiarkan dirinya putus asa sampai hal itu bisa menghancurkan reputasi. Karakternya akan mencegah hal ini yang kelak menjadikannya seorang gentleman sejati, dan menurutnya, takdir itu akan berkaitan erat dengan takdir negaranya.

Ayahnya telah meninggal ketika Washington berusia sebelas tahun. Relasi dengan ibunya tidaklah menyenangkan. Ia dibesarkan oleh kakak kakaknya Augustine dan Lawrence. Namun ia lebih dekat terutama dengan Lawrence. Ketika Lawrence meninggal, ia mewariskan tanah pertanian di tepi Sungai Potomac Pegunungan Vernon kepada Washington, yang kemudian dikembangkan Washington setelah ia menikah. Meski mendapat kasih sayang dan kepedulian dari kakak-kakaknya, Washington sangat merasakan kekurangan sebagai anak muda tanpa ayah, tidak memiliki sumber daya sendiri, sedikit sekali mendapat pendidikan formal dan tempat di masyarakat, kolonial Virginia jauh di bawah para bangsawan yang memiliki tanah luas. Tetapi ia bersiteguh bahwa dirinya akan menanjak jadi orang menonjol melalui jasa dan keteguhan, dan ia tidak menyia-nyiakan satu jam pun dalam mengejar usaha ini.

Pada usia empat belas, di sebuah buku tulis ia menulis prinsip-prinsip yang akan ia terapkan untuk mengatur sikap dan karaternya, "110 Aturan dari Peradaban dan Perilaku yang Benar di dalam Pertemanan dan Perbincangan." Beberapa di antaranya agak antik dan lucu bagi pembaca modern. "Tidak meludah ke api ... terutama jika ada daging didalamnya. Jangan membasahi wajah seseorang dengan ludah, bila kamu terlalu dekat kepadanya ketika berbicara. Jangan membunuh serangga, seperti berbagai jenis kutu ... di depan orang lain." Anjuran lainnya merupakan prinsip-prinsip yang lebih serius daripada karakter yang baik ataupun kehormatan diri. 

Mungkin aturan yang pertama dan terakhirlah yang paling penting bagi Washington: "Setiap tindakan yang dilakukan di depan orang lain harus dilakukan dengan menghormati mereka yang hadir, dan "Usahakan untuk memelihara percikan kecil dari api keramat di dalam dadamu, yang disebut nurani." Ia berniat menjadi manusia dengan martabat yang tak perlu dipertanyakan dan selalu berusaha mencapai sikap, penampilan, dan temperamen yang merupakan ungkapan fisik dari martabatnya itu. Dalam usaha ini, alam sangat mendukungnya. Ia tumbuh menjadi pria yang tinggi, lebih tinggi daripada pria rata-rata di masa itu, serta kekuatan fisik yang memang luar biasa. 

Ia sangat atletik, ramping dan berotot, kekuatannya sangat nyata, posturnya tegap tetapi tidak kaku. Ia sangat menguasai seni menunggang kuda. la mengajar dirinya sendiri untuk menari sampai mahir. Pakaiannya halus dan rapi, tetapi tidak pernah seronok. Kelak seorang pengagumnya mengamatinya, ia memancarkan aura kepemimpinan sejati "di sisinya ... tidak ada raja Eropa yang tidak akan tampak sebagai pelayan." Dengan sadar ia tampil rapi dan menumbuhkan sikap untuk menghadirkan citra itu ke dunia. la berhati-hati untuk tidak bicara berlebihan dan atau bertindak tidak sopan lainnya. Tapi ia dingin dan berjarak dengan orang, dan bisa tetap diam di tengah perdebatan sengit di antara rekan-rekannya. 

Ketika seorang rekan mengatakan bahwa ungkapan wajahnya sering menunjukkan perasaannya, Washington mengoreksi, "Anda salah, penampilan saya tidak pernah mengkhianati pikiran saya. "la seperti telah mengantisipasi tempat yang telah disediakan sejarah baginya, dan seberapa baik ia menduduki tempat itu akan menjadi bukti utama dari kehormatannya dalam peperangan bahwa ia adalah seseorang yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang. Namun demikian ia sangat menyadari kekurangan serta kelebihan dirinya, tetapi ia percaya bahwa sifat manusia bisa diperbaiki, dan jika sulit disempurnakan, setidaknya dapat didekatkan sedekat mungkin dengan kesempurnaan yang sebenarnya. 

Baca Juga Kemurahan Hati Oseola McCarty


la juga pengamat yang cermat akan karakter orang lain. Ketika menjadi perwira kolonial, ia telah melihat sifat buruk manusia yang berlebih-lebihan, serakah, egois, pengecut, malas, cengeng. Ia tahu bahwa jika rakyat tidak mengatur karakter mereka sendiri, maka kekurangan mereka akan menghambat kemajuan akan republik mereka “Ungkapnya”. Tetapi ia selalu yakin bahwa orang lain dapat memperbaiki sifat, bahwa karakter dari seluruh negeri dapat diatur oleh teladan dan bimbingan yang tegas, dan ia telah menjadi teladan yang dimaksudkan.

Selama tahun-tahun di antara masa perang, ia menjadi orang berpengaruh dan kaya, menyukai kehidupan peternak, mengelola tanah pertanian dengan adil dan bijak, berburu anjing hutan dan berkuda selama berjam-jam, menghibur tamu dengan makanan yang disiapkan, anggur terbaik dan percakapan menarik, serambi rumahnya menghadap pancaran matahari di antara bukit-bukit Maryland. Selalu sulit baginya untuk berpisah dari kehidupan yang menyenangkan di Pegunungan Vernon. Tetapi kelak ia akan berpisah untuk bertahun-tahun lamanya.

Patriotismenya sangat murni sebagaimana keberaniannya, tidak terpisahkan dari perasaan kehormatannya. la telah lama kesal pada keangkuhan lnggris terhadap kolonialis Amerika Serikat, dan pembatasan yang diterapkan pada perdagangan serta perluasan kekuasaan ke barat Amerika Serikat. Ketika Parlemen lnggris berusaha mendisiplinkan koloni-koloninya yang bandel dengan mengerahkan pasukan untuk menundukkan Boston, ia meninggalkan keberuntungan dan kehormatannya demi kemerdekaan Amerika Serikat. Wajarlah bahwa ia terpilih mengepalai Angkatan Bersenjata Kontinental. 

Ia bukan satu-satunya pria terbaik untuk jabatan itu, tetapi mungkin satu-satunya orang yang mampu memimpin angkatan bersenjata yang dalam kondisi serba kekurangan, baik personel, perlengkapan, dan kurang siap selama delapan tahun lamanya, mengalami kekalahan satu demi satu, tetapi tetap melawan, dan hanya memenangkan beberapa kemenangan sekadar cukup untuk mematahkan kemauan musuh. Untuk melakukan hal ini, kemauan sendiri harus sama kuat. Dan begitulah keadaannya yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang. 

Dalam kekalahan dan kemenangan, melalui musim-musim dingin yang pahit dan sulit di Lembah Forge dan Morristown, berhadapan dengan cercaan, kritikan dari Kongres pemerintah kolonial, serta kegagalan menyediakan perbekalan yang cukup bagi pasukannya, menghadapi kepergian terus-menerus dari pasukan yang tugasnya sudah selesai, menghadapi berbagai kekecewaan dan pengkhianatan, ia meneguhkan kemauan pribadi, kemauan prajurit yang kelaparan, telanjang kaki, compang camping, dan kurangnya persenjataan, kemauan negara, dan terus bertahan sampai muncul kesempatan untuk menang di Yorktown, dan ia menggunakan kesempatan itu. Kendali diri yang telah ia kuasai untuk membentuk perilaku dan karakter tumbuh pesat oleh kematangan dirinya. 

Sementara pengaruh terhadap kemampuan menilai dan kepemimpinannya sangat bermanfaat bagi negaranya. Kalau saja ia membiarkan diri terlalu peka terhadap kritik, berkali-kali gairahnya terhadap kejayaan perang, sisa-sisa keangkuhan, hasratnya yang kuat bagi kehormatan untuk mengatasi kemampuan menilainya nyaris membuat dia terjerembab, dan membuat negaranya akan kalah. Beruntung ia tidak pernah melakukannya. Setelah kekalahan di Brooklyn dan Manhattan, ia menyadari harus menghindari perang besar-besaran dengan tentara lnggris yang superior, terlepas dari betapa jayanya kesempatan yang dihadirkan oleh perang, kecuali jika situasi sungguh-sungguh menguntungkannya. 

la tahu bahwa kemenangan akan lama dan sulit dicapai, bahwa dirinya harus mengalami kemunduran dan kesulitan. Tetapi jika bisa mempertahankan tentara di medan perang, pada akhimya mereka akan menang, terlepas dari seberapa jauhnya hal demikian. Jadi ia melecehkan musuh, menyerang ketika mereka tidak menduga, kadang-kadang memenangi pertempuran kecil, dan kadang-kadangpun kalah, namun keesokan harinya ia selalu berangkat untuk kembali melakukan pertempuran, ia sama sekali tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang.

Kongres membuatnya frustrasi, mereka tidak pernah merespons seruan akan makanan dan persenjataan bagi pasukannya, bahkan terhadap argumennya. Tetapi ia menerima idealisme bahwa para perwira tentara Republikan harus selalu hormat pada pejabat sipil, dan ia tidak pernah sekalipun melanggarnya. la tahu bahwa armada Francis sangat penting bagi keberhasilan perjuangan dan penundaan yang berulang-ulang, dari sejak kedatangan mereka sudah membuatnya kesal, tetapi ia tidak pernah mengungkapkan kemarahannya, karena ia tahu hal itu hanya justru membuat mereka tidak datang.

Di akhir perang, ketika tentara Kontinental yang tidak digaji nyaris runtuh, dan beberapa perwiranya serta beberapa anggota Kongres merencanakan sebuah kudeta militer untuk merebut wewenang Kongres dan menjadikan Washington seorang diktator, ia muncul di depan publik dan mungkin inilah penampilan publiknya yang paling direncanakan dengan cermat dan mengilhami dalam kariemya. Pada 16 Maret 1783 ia berpidato kepada para perwiranya, beberapa di antaranya tergabung di dalam komplotan rencana kudeta, di Newburg, New York, markas angkatan bersenjata. 

Belum pernah kesopanannya begitu sempurna dan tepat untuk sebuah situasi itu. la berjalan perlahan ke podium dengan kesopanan dan sikap tubuh sempurna, mengeluarkan naskah pidato dari saku mantelnya. Sebuah pidato yang sudah ia siapkan itu mengungkapkan ketulusan pengabdian kepada orang-orang yang telah menempatkan hidup dan keberuntungannya dalam risiko untuk berperang bersamanya selama tahun-tahun perang yang lama dan gelap. la memastikan bahwa dirinya akan selalu menjadi pengagum dan pembela terbesar mereka. Kemudian ia menyerukan demi negara dan kehormatan agung mereka untuk menolak siapapun yang "ingin menjungkirbalikkan kemerdekaan negara kita, dan yang dengan jahat berusaha membuka pintu air untuk banjir perselisihan sipil." Ungkapnya.

Tetapi tak ada bagian pidatonya yang lebih menggugah para pendengar daripada sebuah gerakan kecil yang ia lakukan sebelum membaca naskah. la memandang sebentar kertas dihadapannya, kemudian berhenti untuk mengeluarkan kacamata dari saku rompinya. Washington telah menjadi seorang pria tua di bawah tekanan perang yang berat dan tak pernah berakhir. Tidak ada orang yang sebelumnya pernah melihat dia mengenakan kacamata. Dan kali ini ia mengenakannya, memandang teman-teman seperjuangan dan meminta maaf. "Tuan-tuan, Anda akan mengizinkan saya mengenakan kacamata? Karena saya bukan saja mulai beruban, tetapi hampir buta dalam melayani negara." Ungkapnya. Para perwiranya dibuat tidak berdaya oleh suatu pertunjukan sikap pengorbanan yang hampir pasti telah direncanakan dengan cermat dan kesopanan atas kehadiran yang bermartabat dari orang yang telah begitu lama bersama-sama berkorban dan menghadapi bahaya dengan mereka.

Mereka menangis melihat pemandangan itu. Major Samuel Shaw yang hadir pada acara itu mengingat, "Ada sesuatu yang begitu alami, begitu tidak terpengaruh dalam tindakan seruan ini, yang dianggap superior dibandingkan pidato yang paling direncanakan. lni langsung masuk kehati, dan orang dapat melihat tindakan akal sehat ini membasahi setiap mata." Persekongkolan Newburgh punah ketika Washington menolak dijadikan Napoleon. Sifat ambisius dan hasratnya akan kejayaan tunduk kepada kemauan untuk melayani negara, dan dengan sebuah gerak sederhana ia mengingatkan orang-orang tentang tujuan yang telah mereka perjuangkan dengan susah-payah, melalui sandi utamanya yang khas tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang.

Baca Juga Kemurahan Hati Oseola McCarty


Pada bulan November tahun itu ia mengucapkan selamat berpisah kepada semua orang di FrauncesTavern, New York, dan bulan berikutnya ia memberikan demonstrasi terakhir terhadap kesetiaan pada prinsip-prinsip dan negaranya ketika ia menyerahkan pedang dan jabatan kepada Kongres di Annapolis. Ia kembali ke Pegunungan Vernon yang dicintainya, tetapi hanya beberapa tahun kemudian ia dipanggil kembali untuk memimpin Konferensi Undang-Undang yang diselenggarakan di Philadelphia untuk membentuk sebuah persatuan yang lebih sempurna, dan menyajikan sebuah pemerintah federal. Dia diperlukan untuk memperbaiki karakter bangsa yang jika tidak akan terpisah-pisah akibat pertengkaran negara-negara bagian serta kepentingan sempit sejumlah pihak. 

Ia terpilih secara aklamasi sebagai presiden repubik baru untuk dua periode, dan sebagai presiden ia menyumbang kebijakan dan teladannya untuk mencapai sebuah pemerintahan yang stabil dan kuat. Ia menjauhkan Amerika Serikat dari perang di antara Prancis dan Inggris. Ia mendapat kritik keras untuk sikap netralnya, membangun lembaga-lembaga dan percontohan-percontohan yang kelak memberi keabadian kepada negaranya. Pada akhir periode keduanya, meski diminta kembali, ia meninggalkan jabatannya dengan sukarela, membangun contoh dan pelajaran karakter lain bagi rakyatnya. 

Amerika Serikat tidak akan mempunyai Raja. Rakyatlah yang akan berkuasa. Tetapi atas nama kemerdekaan kita juga dilarang bertindak semena-mena sehingga bisa mengalami apa yang dialami Prancis akibat Revolusi Prancis, betapa perjuangan kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan bisa berubah menjadi kekacauan dan kekejaman dari pisau pemenggal kepala, dan akhirnya ke tangan para diktator yang sudah menantinya. 

la sangat memahami sifat rakyatnya sebaik dan sesempurna dirinya dalam memahami sifatnya sendiri. Ia tahu kita semua memiliki kekurangan, sehingga harus selalu siaga terhadap bahaya keinginan yang liar, dan harus berusaha mengendalikan dan memperbaiki sifat kita. Ia paham bahwa negara yang baru lahir membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kehormatan, kebijaksanaan, dan rela berkorban disamping membutuhkan karakter, namun juga berpenampilan yang cocok dengan perannya. 

Melalui penerapan kendali diri yang terus-menerus, ia menjalani peran itu dengan istimewa, dan menjadi bapak bagi bangsanya. la menanamkan krakter pada bangsanya, dan dalam arti itu, semua orang Amerika Serikat adalah keturunannya, orang yang terkenal dengan perjuangan tanpa henti dalam membela negara dan memperbaiki dirinya, yang tidak takut dengan bahaya, pantang mundur kebelakang, dan tanpa memperdulikan persiapan yang matang. Kita tidak pernah jauh dari kegagalan memperbaiki sifat, Namun juga tidak pernah jauh dari ambisi teladan yang luar biasa dari seorang George Washington yang pernah ada.

Mantap ah….(J)
Disunting, disarikan dari John McCain bersama Mark salter "Character is Destiny"
Share this article :
 

5 komentar :

  1. Kisah yang sangat inspiratif, terima kasih untuk tulisannya pak hamdi, ditunggu kisah yang lainnya, salam

    BalasHapus
  2. Ketika pak hamdi mulai menulis, salam pak

    BalasHapus
  3. wah redaksinya bagus banget pak doktor pisan, terima kasih pak hamdi, semoga bapak senantiasa diberikan kesehatan dan sukses dalam beraktivitas

    BalasHapus
  4. sangat inspiratif, terima kasih pak hamdi,sehat selalu

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger