Tuan Guru Al-Buty sangat apik dalam merangkai Bahasa yang tuliskannya, bagaimana hati berperan, bagaimana proses hakikatnya dan bagaimana hati seharusnya bekerja, kesimpulan tersebut hanya berangkat dari kesadaran sebagai mahluk ciptaan-Nya. Hati, cinta dan pencipta-Nya merupakan korelasi yang indah dari sebuah penyelaman yang hanya dapat dilakukan bagi yang telah merasakannya.
Berikut penuturan beliau.
Cinta kepada Allah Swt itu tujuan bukan sarana
Tampak dari pembicaraan kita tentang dampak cinta manusia kepada Allah Swt, di antaranya bahwa cinta itu merupakan sarana untuk menggapai puncak tertinggi. Padahal, masalahnya tidak demikian. Cinta manusia kepada Allah Swt itu tujuan, terlepas dari dampak yang ditimbulkan. Mencintai Allah Swt merupakan kewajiban yang ada di pundak setiap manusia. Mengapa wajib? Karena nikmat Allah Swt yang diberikan kepada manusia amat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Dampak dari cinta seperti ini pun menunjukkan bahwa cinta itu adalah tujuan itu sendiri. Kalau kita katakan bahwa cinta itu adalah sarana untuk menggapai sesuatu yang kita inginkan, tentu akan muncul jawaban, kalau saja keinginan itu dapat diraih dengan cara selain cinta, kebutuhan terhadap cinta menjadi gugur. Seolah-olah cinta lahir lantaran adanya paksaan atau perasaan takut dari yang dicintai.
Oleh Karena itu, cinta tidak lagi dibutuhkan dalam hal ini. Pemikiran seperti ini jelas-jelas menyalahi tujuan cinta itu sendiri, yaitu penghambaan diri manusia kepada Allah Swt. Disini kita mesti mengetahui bahwa hubungan manusia dengan Tuhan mengharuskan adanya cinta kepada-Nya meskipun ia harus menerima siksa-Nya dan tidak diterima amal ibadahnya sebab makna penghambaan diri mengharuskan adanya hal demikian.
Mungkin saja sebagian orang menganggap aneh ucapan ini, bagaimana aku mencintai orang yang menyia nyiakanku dan menyiksaku tanpa alasan yang jelas?
Jawabannya, kata "menyia-nyiakanku" dan "tanpa alasan" hanya berlaku pada hubungan dengan musuh, sedangkan hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya tidak berlaku istilah demikian. Ini seperti yang difirmankan oleh Allah Swt.
لَا يُسَۡٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسَۡٔلُونَ ٢٣
Artinya: "Dia (Allah Swt) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya," (QS Al-Anbiya [21]: 23).
Ayat di atas menunjukkan bahwa pemilik yang sebenarnya adalah orang yang mampu melakukan apa saja terhadap miliknya. Saya menyebutkan kata "pemilik yang sebenarnya'' untuk menjauhkannya dari makna kepemilikan biasa yang terjadi dalam transaksi sehari-hari. Ini adalah kepemilikan yang bersifat majasi. Ia digunakan dalam hubungan kerja sama antar-mereka. Oleh Karena itu, kepemilikan jenis ini dibatasi dengan syarat dan batasan tertentu. Penggunaannya pun perlu dibatasi dengan tidak sewenang-wenang. Kalau kepemilikan hasil dari transaksi jual-beli, hibah, dan lainnya itu disebut juga kepemilikan yang sebenarnya, hak penggunaannya pun boleh dibatasi dengan batasan dan syarat apa pun. Mungkin yang dipersoalkan orang adalah bahwa apa yang dimiliki oleh Allah Swt, seperti hak menyiksa bagi orang yang dikehendaki, mengakibatkan orang takut kepada-Nya.
Baca Juga Cerita al-quran tentang cinta manusia kepada Allah Swt
Orang yang takut kepada preman, misalnya, tentu ia tidak akan mencintai orang yang ditakutinya itu. Cinta tidak muncul dari rasa takut. Jawabannya, cinta dan benci itu berlawanan dalam konteks hubungan antara manusia. Karena apabila ia takut akan kejahatan oranglain, ia akan lari darinya mencari perlindungan. Ia akan memendam kebencian itu terhadap orang yang dianggapakan menyiksanya. Sebaliknya, ia akan mempersembahkan cintanya kepada orang yang dianggap bisa menjaganya. Orang yang percaya akan siksa Allah Swt akan mendorongnya untuk lari menjauh dari siksa yang akan terjadi. Akan tetapi, ke manakah? Bahkan, kepada siapakah ia akan meminta perlindungan? Tiada jalan lain untuk lari dari siksa-Nya, kecuali harapan yang kuat untuk memperoleh rahmat-Nya. Ia takut kepada-Nya sehingga ia lari dari siksa-Nya. Ia mencimai-Nya sehingga ia lari dari siksa-Nya menuju harapan akan Rahmat dan kasih sayang-Nya. Jadi, sekarang kita tahu bahwa cinta dan benci itu adalah dua hal berbeda. Masing-masing adalah tujuan, bukan sarana untuk mencapai tujuan tertentu
Cinta kepada Allah Swt Menuntut Tidak Melakukan Maksiat
Diantara dampak cinta kepada Allah Swt yang paling jelas adalah tunduk dan patuh kepada Zat yang dicintai, menjalankan semua perintah, dan menjauhi semua larangan-Nya. Apakah ini berarti bahwa cinta kepada Allah Swt mengharuskan pelakunya bersih dari dosa dan maksiat? Jawaban yang detail untuk pertanyaan ini adalah bahwa cinta manusia kepada Rabb-Nya menuntut adanya kejujuran dan komitmen yang kuat terhadap Pencipta, melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Komitmen yang jujur kepada Allah Swt menuntut adanya ketundukan dan kepasrahan terhadap hukum-hukum-Nya dengan segenap kemampuan yang ia lakukan. Artinya, cinta manusia kepada Allah Swt menuntut pelakunya memiliki niat yang kuat untuk tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh Zat yang dicintainya. Apakah niat dan keinginan yang tulus menuntut adanya ketundukan terhadap semua syariat dan hokum Allah Swt? Yang benar adalah bahwa niat yang mantap tidak menuntut adanya ketundukan secara utuh kepada semua syariat Allah Swt. Kalau diharuskan, hal itu bertentangan dengan taqdir manusia sebagai makhluk yang lemah, memiliki kemampuan terbatas, naluri binatang yang kerap muncul, dan adanya godaan setan. Barangkali seseorang memiliki cinta yang tulus kepada Allah Swt, memiliki niat dan keinginan yang jujur untuk mengikuti syariat dan hukum-hukum-Nya. Namun, lantaran kelemahannya sebagai rnakhluk yang terbatas, ia terjerembab ke dalam kemaksiatan dan perbuatan dosa.
Dalam sebuah riwayat sahih, diceritakan bahwa seorang sahabat bernama Nu`aiman sering dihadapkan kepada Rasulullah Saw karena sering melakukan pelanggaran hukurn yang rnenuntut hukuman had. Suatu ketika, ia dibawa ke hadapan beliau untuk di-had karena minum khamr. Tiba-tiba, ada seseorang yang memaki-makinya dengan geram, "Sering sekali ia dihadapkan ke pengadilan Rasulullah Saw. "Kernudian, Rasulullah berkata kepada orang tersebut," Jangan Anda maki-maki ia Karena ia dicintai oleh Allah Swt dan Rasul-Nya." Barangkali Anda bertanya, mengapa ia jatuh ke dalam lembah kemaksiatan? Bukankah ketika Allah Swt mencintai hamba-Nya, ia akan terjaga dari kesalahan dan dosa? Jawabannya, Allah Swt memiliki rahasia yang besar dalam masalah yang Anda persoalkan ini. Diantara rahasia-Nya adalah bahwa manusia tidak cukup menggapai Ridha Allah Swt hanya dengan cinta. Namun, cintanya itu harus diiringi dengan penghambaan yang selalu rnenjaga hatinya dalam setiap aktivitas kehidupan. Cinta itu bersumber dari hati yang di dalamnya terdapat perasaan.
Pemicu penghambaan manusia adalah kelemahannya yang membuatnya kadang tersandung dalam menjalankan kewajiban dan ketidak mampuan dalam menjalankan sebagian perintah. Kelemahan ini, meskipun menyebabkan keteledoran, justru membuatnya merendahkan diri dan merasa hina di hadapan Allah Swt. Sehingga membuatnya begitu dekat dengan Allah Swt. Seandainya tidak ada kelemahan pada diri manusia dalam proses penghambaan diri pada Allah Swt, cintanya kepada Allah Swt akan membuatnya mabuk kepayang, merasa paling siap dalam menanggung segala cobaan dan ujian dari Allah Swt. Kondisi seperti ini justru akan menghilangkan rasa penghambaan diri kepada-Nya. Sungguh, yang demikian merupakan akhlak buruk terhadap Allah Swt
Dalam Risalahnya, Imam Al-Qusyairi menceritakan bahwa ada orang saleh yang sering bermunajat kepada Allah Swt. Katanya, "Tidak ada tujuan bagiku selain-Mu. Apapun yang Engkau kehendaki, ujilah aku." Mereka berkata, kemudian Allah Swt pun mengujinya dengan penyakit tidak bisa kencing. Namun, ia tetap bersabar dan terus bersabar hingga hampir habis kesabarannya. Kemudian, ia keluar ke pasar dan membagi-bagikan permen kepada anak-anak sambil mengatakan kepada mereka, "Berdoalah kepada Allah Swt untuk paman kalian yang pembohong ini." Menurut saya, sebenarnya ia tidak berbohong dalam cintanya kepada Allah swt, juga dalam keinginannya yang kuat untuk terus bersabar dalam menghadapi semua ujian Allah Swt. Namun, cintanya kepada Allah Swt melupakan kelemahannya. Jadi, ada orang yang jujur dalam niat dan keinginannya, tetapi lupa akan kelemahannya. Bisa Anda perhatikan bahwa Allah Swt memberikan nikmat kepada manusia berupa hati yang berisi cinta paling suci, jiwa yang menjaganya sejak lahir sebagai bentuk cintanya kepada Allah Swt. Namun, dalam waktu yang bersamaan, Allah Swt juga mengujinya dengan rasa lemah saat melaksanakan hak-hak cinta ini. Di balik semua itu juga tentu ada hikmah yang besar.
Ketika seseorang mabuk cinta kepada Allah Swt, gelora itu akan membangkitkan keinginannya untuk melaksanakan hak-hak cinta tersebut. Pada saat itu, sesungguhnya telah terjadi benturan antara cintanya dan kelemahan pada dirinya. Di sini dibutuhkan penghambaan yang tulus ketika ia berdoa kepada Zat yang dicintainya dan memohon bantuan-Nya agar ia diberi kemampuan dalam melaksanakan hak-hak cinta tersebut. Dengan demikian, Allah Swt pun akan menyimpan pahala untuknya lantaran ia merendahkan diri dan merasa hina di hadapan Allah Swt.
Manusia terbang untuk menggapai ridha Allah Swt dengan kedua sayapnya, cinta dan penghambaan. Keduanya tidak mungkin dipisahkan. Berikut penjelasan yang lebih gamblang tentang hakikat ini. Saya jelaskan dalam kitab saya yang berjudul Syarah Hikam bahwa manusia memiliki daya luhur yang melahirkan rasa cinta kepada Allah Swt Yang Mahaluhur, yang terpusat di dalam ruh atau jiwa yang mengarah hingga ke hati. Hanya saja, dalam waktu yang bersamaan, manusia menghadapi kelemahan dirinya sendiri lantaran nafsu dan godaan setan, juga keterbatasan kemampuan fisiknya. Dengan demikian, terjadilah pertentangan antara kemampuan jiwa yang diungkapkan oleh hati berupa perasaan cinta dan penghormatan, dengan keterbatasan fisik yang diungkapkan oleh naluri.
Apa Akibat dari Pertentangan Ini? Akibatnya adalah jatuh ke dalam dua sisi yang berlawanan, salah dan benar, taat dan maksiat. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, "Setiap manusia memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertobat," (HR Ahmad). Jiwa dan perasaan cinta itu terus naik ke arah ketaatan dalam rangka melaksanakan hak-hak cinta dan penghormatan. Sementara itu, nafsu dan kelemahan diri akan membuatnya berat melangkah sehingga terkadang ia berbuat benar dan terkadang pula berbuat salah. Terkadang ia konsisten dalam menjalankan perintah Allah Swt dan terkadang pula sebaliknya. Terkadang ia taat dan terkadang pula ia bermaksiat. Begitulah manusia. Bahkan, begitulah seorang Muslim pada setiap waktu dan tempat, kecuali para nabi dan rasul sebab Allah Swt memberikan ishmah (penjagaan) dari berbagai penyimpangan dan dosa agar mereka mengarahkan manusia ke jalan yang lurus dan agar pribadi dan kehidupan mereka menjadi teladan bagi yang lain.
Namun, apa hikmah di balik kontradiksi antara kekuatan cinta kepada Allah Swt di hati dan kelemahan fisik manusia? Hikmahnya adalah agar seorang hamba yang beriman kepada Allah Swt memandang bahwa kontradiksi ini adalah satu bentuk yang tidak bisa dihindari, kecuali dengan kembali kepada Allah Swt dan pertolongan-Nya, menjauh dari kelemahan yang dimilikinya, memohon perlindungan kepada-Nya agar tidak jatuh ke jurang naluri kebinatangan dan syahwatnya, serta mengakui kelemahan fisik dan jiwanya. Inilah jalan keluar yang mungkin diambil olehnya dalam menyikapi kontradiksi yang saya sebutkan di atas. Inilah makna kata "penghambaan" itu. Ini pula tujuan utama manusia diturunkan ke muka bumi. Tidak ada gunanya ibadah yang dilakukan oleh anggota tubuh tanpa disertai perasaan penghambaan diri. Jadi, makna "penghambaan" yang sebenarnya adalah satu kondisi ketika seorang manusia memiliki perasaan butuh kepada Rabb-nya sehingga ia berdoa, berharap, dan meminta kasih sayang serta pertolongan. Itu merupakan tahapan untuk mendekati Allah Swt dan kunci umuk menggapai ridha-Nya.
Meskipun seorang hamba melakukan shalat, puasa, haji, dan ibadah lainnya, itu semua tidak menjamin kedekatan dengan Allah Swt, kecuali di dalamnya ada rasa "butuh" terhadap-Nya dan pengakuan akan kelemahan diri di hadapan-Nya. Namun, bagaimana mendatangkan perasaan lemah itu? Dari mana pula perasaan itu datang? Perasaan itu datang lantaran adanya dua hal kontradiktif pada diri manusia, yakni antara hati, tempat bersarangnya cinta yang suci kepada Tuhan, dan antara hakikat fisikyang lemah dalam melaksanakan hak-hak cinta ini. Bayangkan, seandainya Allah Swt memuliakan Anda dengan kemampuan fisik berlebih dalam menjalankan tuntutan cinta kepada-Nya, istikamah dalam menjalankan perintah dan ketentuan-Nya tanpa keteledoran sedikitpun, akan muncul dalam jiwa Anda perasaan hebat dan kagum terhadap kekuatan Anda. Akhirnya, cinta itu lahir tanpa diiringi perasaan penghambaan kepada-Nya. Apa yang mendorong Anda dalam kondisi mabuk cinta ini untuk kembali kepada Allah Swt? Dari mana Anda dapatkan rasa lemah saat berada di hadapan-Nya? Bagaimana Anda merasa seperti yang digambarkan oleh Allah Swt
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ ١٥
Artinya: "Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah Swt; dan Allah Swt Dia-lah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji," (QS Fathir [35]: 15).
Dengan demikian, fenomena kelemahan yang Allah Swt berikan kepada manusia, yang sepertinya merupakan ujian dan cobaan secara lahir, pada hakikatnya merupakan nikmat dari Allah Swt kepadanya yang mendorongnya untuk melakukan penghambaan kepada Allah Swt.
Referensi
Al-Buthy, Muhammad, Said, Ramadhan (2009) “Al-Hubb Fil Quran wa Daurul Hubb fi Hayatil Insan. Damaskus: Darul Fikr.
Al-Buthy, Muhammad, Said, Ramadhan (2013) “’Kitab Cinta’ menyelami Bahasa kasih sang pencipta, Bakhrun Syafi`i. Jakarta: PT Mizan Publika.