MENTALITAS "JALAN PINTAS"

POTRET MENTALITAS BANGSA

Bangsa yang besar adalah bangsa yang berkomitmen membangun sector pendidikannya. Meminjam pendapat Paulo Freire, seorang pakar filsafat, ”Pendidikan sesungguhnya adalah alat untuk mencerdaskan manusia.” Sejarah pun telah membuktikan bahwa negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Yunani dan negara-negara maju lainnya, membangun bangsa dengan tahapan perdananya berorientasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta menghargai berkembangnya ilmu pengetahuan.
Bagaimana dengan kemajuan sektor pendidikan di Indonesia?

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC,pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan. Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda.
 
Pilarisasi sistem pendidikan, yang memilah-milah ketersediaan dan mutu sekolah menurut ras dan kelas sosial-ekonomi murid, memastikan murid dididik “sesuai asal usulnya” dan tidak tercerabut dari asal usulnya itu. Praktik pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan.

Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.
Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Pada masa ini, politik telah mendominasi praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965, dipengaruhi sistem pendidikan Belanda. Setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan pendidikan sebagai instrumen pembangunan. Praktek pendidikan sebagai alat untuk pendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan.

Ada bentuk produk pendidikan yang menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", suka menarabas, menjunjung tinggi keatasan, pragmatis dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya.
 

Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Sementara proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, hal tersebut menyiratkan tolok ukur pandangan terhadap pendidika itu sendiri.
 
Pakar pendidikan H.G. Wells, mengatakan “ semakin tumpulnya etika sosial masyarakat maka, semakin suburnya praktek anomali dalam sistem pendidikan. Maka,seyogyanya sekolah/kampus adalah tempat dimana anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiannya. Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, dan yang lebih penting belajar menjadi dirinya sendiri.

Gejala anomali dalam pendidikan, setidak-tidaknya ada tiga faktor sebagai sebabnya. Pertama, semakin banyak guru berperan sebagai komandan lapangan tempur dan mekesampingkan kata maaf. Kedua, sistem sekolah lebih mendekati model pendidikan penjara, anak-anak tidak pernah diajar tentang kebebasan berpikir, bergaul dan memiliki perasaan sosial dengan temannya. Sistem sekolah terkesan mendiskriminasikan peserta didik yang bodoh dan yang pintar ( jalur akselerasi atau pertimbangan kaya dan miskin). Ketiga, guru banyak mengambil ”jalan pintas” dalam hal jual beli nilai sehingga peserta didik tidak lebih sebagai “ tahu sepotong-sepotong mengenai sepotong-sepotong”.
 
Disamping itu sadar atau tidak pendidikan kita akan bersifat kodian atau belum tuntas, artinya masih kurang memberi perhatian kepada pengembangan individualitas yang mandiri. Hampir seluruh kegiatan di sekolah atau kampus belum banyak usaha nyata untuk menumbuhkan minat siswa/mahasiswa untuk cinta kepada kerja dan kerja keras. Mentalitas jalan pintas rupanya sejalan dengan budaya bangsa kita, budaya trobosan, budaya menjilat pimpinan, budaya mediokritas. Di kalangan siswa/mahasiswa budaya ini cukup tumbuh subur, seperti budaya menyontek, budaya plagiat, penelitian fiktif, budaya malas berpikir,budaya malas berdiskusi, budaya malas menulis, budaya suka ”jalan pintas”. Oleh karena itu sekolah/kampus sejak dini perlu diajarkan bekerja keras dan jujur menurut kesanggupannya dan dijauhkan dari kebudayaan babu (babysiting culture). Sebab menumbuhkan warisan kerja keras dan jujur akan sulit tumbuh dalam kebudayaan babu. Pemikiran ini berawal dari suatu sintesa bahwa pada akhirnya pendidikan itu tidak akan bermanfaat apabila menghasilkan “ babysiting culture”

Tantangan pendidikan dewasa ini bukan pada mengglobalnya berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains, akan tetapi terletak pada apakah pendidikan itu berperan atau berfungsi sebagai piranti pengembangan karakter anak bangsa. Sebab ada indikasi kuat bahwa pengembangan ilmu pengatahuan dan sains teknologi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional tidak memiliki hubungan yang kuat dengan pembentukan karakter peserta didik. Padahal, pembentukan karakter merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Agama yang menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter peserta didik hanya ditempatkan pada posisi sayap belakang, dan tidak menjadi landasan dari seluruh aspek.

Pendidikan sebagai salah satu piranti ( means) pembangunan SDM, harus secara jelas berperan membentuk peserta didik menjadi asset bangsa, yaitu SDM yang dengan keahlian profesional yang dimilikinya dapat menjadi produktif dan berpenghasilan, serta mampu menciptakan produk unggul industri Indonesia yang siap menghadapi persaingan di pasar global.

Program pembelajaran untuk peningkatan pendapatan dan mata pencaharian (life skills) cenderung kurang tersentuh oleh pendidikan kita. Dengan pertimbangkan prioritas pada wajib belajar pendidikan dasar, bukan tidak mungkin jika kecenderungan ini terus terjadi pendidikan kita tidak bisa berperan banyak dalam menyongsong era globalisasi pendidikan. Estimasi masyarakat terhadap rendahnya mutu pendidikan lebih disebabkan pendidikan kita telah mengalami disorientasi nilai, dan lebih mengedepankan pemenuhan keinginan politik ketimbang proses pencerdasan manusia. Aktivitas pendidikan hanya berkutat pada persoalan klasik yang memusatkan aspek rasional manusia.
 
Pendidikan kita telah mengalami disfungsional karena isi pendidikan mengandung muatan-muatan nilai yang berakibat timbulnya kecemasan, ketakutan,kriminalitas, ketidakberdayaan, ketidakadilan, kesombongan, anaomali, dan sebagainya. Dalam konsep Ki Hadjar Dewantara, lembaga pendidikan merupakan institusi social yang sangat menentukan kemajuan dan peradapan bangsa. Sulit dibayangkan, bangsa primitif menjadi beradab dan bisa bersaing dengan bangsa lain jika tidak tanpa melalui pendidikan yang bermutu.

Seyogyanya pendidikan mengantarkan peserta didik bukan saja menjadi manusia yang pintar dan syarat dengan ilmu pengetahuan, namun dapat menjadikan manusia yang lebih humanis. Artinya pendidikan kita melahirkan kembali manusia peserta didik apa yang disebut “ humansynergism” Orientasi baru pendidikan kita ke depan menjauhkan diri dari mentalitas ”jalan pintas” dan lebih banyak usaha nyata untuk menimbulkan minat peserta didik untuk cinta kepada kerja keras dan kejujuran. Selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan kemauan, kemampuan ketrampilan dan strategi dalam menggali sumber-sumber yang ada di masyarakat.

Pengalaman yang cukup menjadi referensi bagi kita saat ini adalah sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara maju. Sebagai contoh Amerika dan Jepang . Pendidikan di Amerika tidak bergantung pada pemerintah, tetapi justru diserahkan kepada masyarakat. Karena pendidikan merupakan bagian dari cermin dan kultur masyarakat. Dengan demikian, sudah seharusnya masyarakat diberikan ruang yang layak untuk mengelola, menilai dan menikmatinya. Masyarakat diberi ruang partisipasi yang luas, agar institusi penyelenggara pendidikan memperoleh dukungan dan mendapat legetimasi sosial.
 
di Jepang “moral Ninomiya Kinjiro” merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras dan kelak menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat diperhitungkan. Karena saking miskinnya, dan karena orang tuanya tidak mampu membeli alat penerangan, dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.

Wacana Kedepan
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa (ilmu) pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan (ilmu) pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang masih rendah. Dengan demikian upaya mencari kualitas pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus didasarkan pada hasil penelitian pendidikan sehingga terpadulah kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development).
  1. Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai budaya local dari
    segala segi kehidupan yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan
  2. Agenda penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dengan pendidikan di sekolah
  3. Agenda penelitian yang menggali makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara
  4. Agenda penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan
    antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang sangat pital
  5. Agenda penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan ujian nasional dengan
    mutu pendidikan?
  6. Agenda penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang
  7. Agenda penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan
  8. Agenda penelitian tentang peningkatan hasil-hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi kebijakan maupun pelaksanaan
  9. Agenda penelitian yang mengkaji dampak pendidikan terhadap perilaku manusia
Share this article :
 

1 komentar :

  1. Sebelum nya terimakasih kepada bapak yang telah membuat artikel berjudul Mentalitas "Jalan Pintas" sehingga sekarang saya dapat memahami apa arti dari Mentalitas "Jalan Pintas" tersebut. Karena di jaman seperti sekarang ini sudah sangat banyak bahkan hampir rata-rata baik siswa maupun mahasiswa yang menerapkan sistem jalan pintas tanpa memikirkan efek samping dari hal tersebut. Namun dengan adanya artikel ini bagi siapa pun yg membacanya termasuk saya sendiri kedepan nya tidak akan mengulang hal yang sama dan akan berusaha untuk mengerjakan segala sesuatu nya dengan berdasarkan kejujuran dan berusaha semampu saya sendiri tanpa menggunakan jalan pintas
    Sekali lagi terimakasih bapak

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger