LATAR BELAKANG
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004 Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat.
Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau
kegunaan (aksiologi).
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Hal ini akan lebih jelas lagi, jika kita renungkan bahwa meskipun terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak didapatkan cara-cara berpikir, maka objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak diperoleh pengetahuan apapun. Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada, cara-cara juga ada tetapi tidak diketahui manfaat apa yang bisa dihasilkan dari sesuatu yang dipikirkan itu, maka hanya akan sia-sia. Jadi, ketiganya adalah interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantung).
Namun demikian, ketika kita membicarakan epistemologi disini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau
langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk diseputar epistemologi, mulai dari
1. Pengertian
2. Ruang lingkup
3. Objek
4. Tujuan
5. Landasan
6. Metode
7. Hakikat dan
8. Pengaruh epistemologi
A. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan
ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang
terkandung dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu
menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengatasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya yang
sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang
terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya
epistemologi.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari
asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan
purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ?
apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia (William S.Sahakian dan Mabel
Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005). Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan
sifat yang asli dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa
epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.
B. RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI.
Bertolak dari pengertian-pengertian epistemologi tersebut, kiranya kita perlu memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya atau ruang lingkupnya. Sebenarnya masing-masing definisi diatas telah memberi pemahaman tentang ruang lingkup epistemologi sekaligus, karena definisi-definisi itu tampaknya didasarkan pada rincian aspek-aspek yang tercakup dalam lingkup epistemologi daripada aspek-aspek lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang lingkup epistemologi, sebab pernyataan-pernyataan ini akan membantu pemahaman secara makin komprehensif dan utuh (holistik) mengenai ruang lingkup pemabahasan epistemologi.
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar,
apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Jadi meskipun epistemologi itu merupakan sub sistem filsafat, tetapi cakupannya luas sekali. Jika kita memaduakan rincian aspek-aspek epistemologi, sebagaimana diuraikan tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa meliputi, hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validias, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban dan skope pengetahuan. Bahkan menurut, Sidi Gazalba, taklid kepada pengetahuan atas kewibaan orang yang memberikannya termasuk epistemologi, sekalipun ia sebenarnya merupakan doktrin tentang psikologi kepercayaan. Jelasnya, seluruh permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi cakupan epistemologi.
Mengingat epistemologi mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang diketahui dibidang tertentu. Filsafat merupakan refleksi, dan refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seserorang memiliki suatu metafisika yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi, atau bahkan suatu sains yang bukan epistemologi dari sains. Epistemologi senantiasa “mengawali” dimensi-dimensi lainnya, terutama ketika dimensi-dimensi itu dicoba untuk digali. Kenyataan ini kembali mempertegas, bahwa antara epistemologi selalu berkaitan dengan ontologi dan aksiologi, melainkan bisa juga sebaliknya, ontologi dan aksiologi serta dimensi lainnya, seperti psikologi selalu diiringi oleh epistemologi.
Dalam pembahasa-pembahsan epistemologi, ternyata hanya aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga
mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan. Semestinya harus ada pergeseran pusat perhatian pembahasan ke arah aspek-aspek yang terabaikan itu, agar dapat menyajikan pembahasan terhadap aspek-aspek epistemologi seluruhnya secara proporsional. Lebih dari itu, perubahan kecenderungan pembahasan
tersebut dapat memperkenalkan pengetahuan yang makin luas dan mendalam tentang cakupan epistemologi.
Kenyataannya, saat ini literatur-literatur filsafat masih terjadi pemusatan perhatian pada aspek-aspek tertentu saja. Aspek-aspek itu berkisar pada sumber pengetahuan, dan pembentukan pengetahuan. M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada
dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode
pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Bagian-bagian lainnya jauh lebih banyak, sebagaimana diuraikan di atas.
Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat, khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan menajamkan pemahamanepistemologi, tentunya tidak bisa hanya memegangi makna epistemologi sebatas metode pengetahuan, akan tetapi epistemologi dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen yang terkait langsung dengan “bangunan” pengetahuan.
C. OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda,
tetapi objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat
diperoleh, jika telah melalui objek lebih dulu. Misalnya, seorang polisi bertujuan membunuh perampok yang melakukan perlawanan, ketika akan ditangkap dengan menembak kepalanya sebagai sasaran. Jadi, tujuannya adalah pembunuhan, sedangkan objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu, pembunuhan sebagai
tujuan polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan menembak kepala perampok sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya melalui menembak kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti dalam satu tujuan bisa dicapai melalui objek yang berbeda-beda atau lebih dari satu.
Sebaliknya, mungkinkan suatu kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya banyak. Ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering terjadi. Manusia
misalnya, sejak lama ia menjadi objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan bermacam-macam, baik untuk membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi, antropologi, bilogi, ilmu hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik tekanan perhatian dalam meneliti dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa
ini, justru kecenderungan ini mulai memperoleh perhatian yang sangat besar di kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga pengusaha. Artinya, ada upaya
bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk kepentingan yang berbeda-beda. Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi dan bersifat dinamis, mendorong kreativitas seseorang.
Aktivitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang
berpikir dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing pola berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua, tetap
saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.
Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam
dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yang-ada). Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses
untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah
hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini
menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan, menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil,
sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesnya. Guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2 x 3 = 6) dan siswa
mengetahui, bahkan hafal. Namun, siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan tersebut. Ia tentu akan mengejar bagaimana prosesnya
sehingga hasil 6 bisa dicapai. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lainnya.
Proses menjadi tahu atau “proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka terhadap pengetahuan, pemahaman dan pengembangan-pengembangannya. Proses ini bisa diibaratkan seperti kunci gudang, meskipun seseorang diberi tahu bahwa di dalam gudang terdapat bermacam-macam barang, tetapi dia tetap hanya apriori
semata, karena tidak pernah membuktikan. Dengan membawa kuncinya, maka gudang itu akan segera dibuka, kemudian diperiksa satu persatu barang-barang yang
ada didalamnya. Dengan demikina, seseorang tidak sekedar mengetahui sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian melalui proses itu.
Penguasaan terhadap proses tersebut berfungsi mengetahui dan memahami pemikiran seseorang secara komprehensif dan utuh, termasuk juga ide, gagasa, konsep
dan teorinya, sebab tidak ada pemikiran yang terpenggal begitu saja, tanpa ada alasan-alasan yang mendasarinya. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang
terjadi sikap saling menyalahkan pemikiran seseorang, padahal mereka belum pernah melacak proses terjadinya pemikiran itu. Timbulnya suatu pemikiran senantiasa sebagai akibat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, alasan-alasan yang melatar belakangi, maupun motif-motif yang mendasarinya. Ketika faktor, alasan dan motif ini belum dikenali, maka acapkali seseorang tidak akan bisa memahami pemikiran orang lain. Sebaliknya, jika seseorang terlebih dahulu berupaya mengenali faktor, alasan dan motif tersebut, maka dia akan mampu mengenali pemikiran orang lain dengan baik, sehingga dia dapat
memakluminya. Faktor, alasan dan motif itu maupun komponen yang lain sesungguhnya termasuk dalam mata rantai proses sebuah pemikiran.
D. LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Bangunan pengetahuan bagaikan bangunan rumah, sedangkan landasan bagaikan fundamennya.
Kekuatan bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya. Demikian juga dengan epistemologi, akan dipengaruhi atau bergantung landasannya.
Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya bergantung pada titik tolaknya. Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam
bangunan ilmu pengetahuan.
Begitu pentingnya fungsi metode ilmiah dalam sains, sehingga banyak pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku dalam
menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode; akhirnya berkembang menjadi: sains adalah metode. Sikap ini mencerminkan bahwa mereka berlebihan dalam menilai begitu tinggi terhadap metode ilmiah, tanpa menyadari semuanya yang hanya sekedar salah satu sarana dari sains untuk
mengukuhkan objektivitas dalam memahami sesuatu. Sesungguhnya sikap berlebihan itu memang riil, tetapi terlepas dari sikap tersebut yang seharusnya tidak
perlu terjadi, yang jelas dalam kenyataanya metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu. Disini
perlu dibedakan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan (ilmu). Pengetahuan adalah pengalaman atau pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan,
sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode ilmiah, sehingga timbul sifat-sifat atau ciri-cirinya; sistematis, objektif, logis dan empiris.
Dengan istilah lain, Kholil Yasin menyebut pengetahuan tersebut dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan
istilah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan
perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang
bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena
pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif
E. HUBUNGAN EPISTEMOLOGI, METODE DAN METODOLOGI
Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan epistemologi. Hal ini perlu penegasan, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sering dikacaukan antara metode dengan metodologi dan bahkan dengan epistemologi. Untuk mengetahui peta masing-masing dari ketiga istilah ini, tampaknya perlu memahami terlebih dahulu makna metode dan metodologi. “Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi
sasaran ilmu yang sedang dikaji”.
Lebih jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi
adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, maka metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan metode.
Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode
logisnya mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika
dia mengadakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma
positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif
menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan
penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah epistemologi.
Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut:
Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode.
Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi merupakan bagian dari filsafat. Posisi masing-masing istilah ini, seperti lingkaran besar yang melingkari lingkaran kecil, dan dalam lingkaran kecil masih terdapat lingkaran yang lebih kecil lagi. Lingkaran besar disini diumpamakan filsafat, lingkaran kecil berupa epistemologi, dan lingkaran yang lebih kecil kecuali berupa metodologi. Ini berarti bahwa filsafat mencakup bahasan epistemologi, tetapi bahasan filsafat tidak hanya epistemologi karena masih ada bahasan lain, yaitu ontologi dan aksiologi. Demikian juga epistemologi mencakup bahasan metode (metodologi), namun bahasan epistemologi bukan hanya metode semata-mata, karena ada bahasan lain, seperti: hakikat, sumber, struktur, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran dan dasar pengetahuan. Untuk lebih jelas lagi perlu dibedakan adanya metode pengetahuan dan metode penelitian, kendatipun tidak bisa dipisahkan. Metode pengetahuan berada dalam dataran filosofis-teoritis, sedangkan metode penelitian berada dalam dataran teknis.
Dalam filsafat, istilah metodologi berkaitan dengan praktek epistemologi. Secara lebih khusus, problem penyelidikan ilmiah yang secara filosofis menjadi kajian utama cabang epistemologi yang berkaitan dengan problem metodologi juga berkaitan dengan rancangan tata pikir, apa yang benar dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Kemudian berbicara tentang metodologi yang berarti berbicara tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan oleh manusia untuk mencapai pengetahuan tentang realita atau kebenaran, baik dalam aspek parsial atau total.
Lebih jelas lagi, bahwa seseorang yang sedang mempertimbangkan penggunaan dan penerapan metode untuk memperoleh pengetahuan, maka dia harus mengacu pada metodologi, mengingat pembahasan tentang seluk-beluk metode itu ada pada metodologi. Metodologi inilah yang memberikan penjelasan-penjelasan konseptual dan teoritis terhadap metode.
F. HAKIKAT EPISTEMOLOGI
Pembahasan tentang hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena ita tidak bisa menangkapnya, kecuali ciri-cirinya. Apalagi hakikat epistemologi, tentu lebih sulit lagi. Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah
sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan
berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi keilmuan.
Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis. Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt yang menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.
Luasnya jangkauan epistemologi ini menyebabkan objek pembahasannya sangat detail dan pelik. Metodologi misalnya telah digabungan secara
teliti dengan epistemologi dan logika. Sementara itu, logika itu sendiri patut dipertanyakan, apakah logika itu bagian dariepistemologi, diluar epistemologi sama sekali, atau sekedar memiliki persentuhan yang erat dengan epistemologi. Ada yang menyatakan, bahwa posisi logika berada diluar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Di samping itu, epistemologi tersebut sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa lepas dari ontologi dan aksiologi. Menurut, Jujun S. Suriasumatri, bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan
pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Dalam pemahaman yang sederhana epistemologi memiliki interrelasi (saling berhubungan dengan komponen lain, ontologi dan aksiologi).
Selanjutnya, epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.
Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk
ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih
jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke
belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.
Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir
secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi, sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari epistemologi yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali, sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara berkesinambungan dan serius.
G. PENGARUH EPISTEMOLOGI
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka jarang
temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan
demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar.
Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.
Epistemologi
juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian
mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran
yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi atau
alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun
menyebutkan, bahwa keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam
dunia ilmu pengetahuan adalah suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat dipahami secara memuaskan dengan
melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya. Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial.
Epistemologi dari
masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan
teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi
sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah
hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat
apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja
mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia
pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga
didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science (teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai.
Umumnya orang awam percaya bahwa pengetahuan dan atau persepsi mengenai suatu objek tertentu merupakan gambaran dari gambaran yang sebenarnya terhadap objek itu sendiri, orang awam tidak mempermasalahkan validitas dan komparatisme objek tertentu melalui pengetahuan yang dimilikinya dengan fakta sebenarnya
atau kenyataan, selanjutnya pengetahuan tersebut dengan sendirinya berubah menjadi sebuah kepercayaan. Disinilah para filsuf memainkan perannya mempertanyakan validitas dari kepercayaan itu sendiri, mereka lantas bertanya “apakah kepercayaan itu dapat dipertanggung jawabkan? sebuah fakta menyatakan
bahwa pengetahuan yang kita miliki seringkali berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya sebagaimana ketika kita seakan melihat garis bengkok didasar air
(kolam atau semacamnya) yang sebenarnya adalah lurus. Status tersebut menyiratkan bahwa peran pancaindera memagang peran penting guna pencapaian kebenaran
pengetahuan.
Banyak orang percaya bahwa pengetahuan kita berasal dari pancaindera. Pengetahuan tentang sebuah gejala adalah cerminan dari gejala itu sendiri.
Pengetahuan kita tentang kuda adalah representasi dari seekor, beberapa, atau banyak kuda yang pernah teramati. Jika benar demikia, jika pengetahuan diperoleh melalui pancaindera lalu bagaimana dengan pengetahuan yang menembus batas pancaindera? Bagaimana generalisasi ilmiah seperti orang timur cenderung bersifat submisif dan orang barat bersifat dominan sementara para ilmuwan hanya meneliti beberapa orang dan bukan semua orang, semua selalu berkembang melalui mitosis sementara para ilmuan hanya meneliti beberapa sel dan bukan semua sel, lebih lanjut simpulan menyatakan frustasi menyebabkan
agresi sementara para psikolog hanya meneliti sejumlah gejala agresi dan bukan semua agresi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntut jawaban-jawaban EPISTEMOLOGI.
Lebih jauh lagi dalam kehidupan sehari hari kita memiliki konsep-konsep yang sangat umum seperti lingkaran, segitiga, keadilan, kebaikan, kebahagiaan, penderitaan dan lain sebagainya. Bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang bersifat umum tersebut dengan objek-objek yang yang ditunjuk oleh konsep-konsep tersebut? Apakah konsep-konsep tersebut benar-benar dapat merepresentasikan objek-objek yang sebenarnya? Apakah semakin umum sebuah konsep maka semakin menjauh dalam merepresentasikan objek-objek tersebut? EPISTEMOLOGI mencoba menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut.
Paparan di atas memperjelas eksistensi EPISTEMOLOGI sebagai studi yang cukup penting di lingkungan akademik karena ia menguji dasar-dasar
dan proses-proses terbentuknya semua pengetahuan manusia termasuk pengetahuan ilmiah. Filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari epistemology menjadi salah satu mata kuliah dasar di tingkat pascasarjana (S-2 dan S-3) di hampir semua perguruan tinggi di dunia tidak terkecuali di Indonesia.
Dewasa ini beberapa tema yang dikaji oleh EPISTEMOLOGI juga dikaji oleh psikologi. Kendatipun demikian pendekatan kedua disiplin ilmu
tersebut berbeda sebagaimana psikologi menggunakan pendekatan ilmiah sedangkan EPISTEMOLOGI menggunakan filosofis. Psikologi tertarik pada fakta-fakta seperti rata-rata waktu bereaksi (reaction time) yang dibutuhkan antara melihat lapu merah dengan menginjak rem, kecepatan anak-anak usia 6 tahun dalam memecahkan soal-soal tertentu; efektivitas ganjaran (reward) terhadap kinerja dan lain sebagainya sedangkan EPISTEMOLOGI tertarik pada upaya untuk menjawab pertanyaan seputar apakah kebenaran?; apa hubungan logis antara suatu gagasan dengan sumber-sumber inderawinya?, psikologi menggeneralisasikan dan mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang berhubugan dengan persepsi, belajar, dan lain sebagainya sedangkan EPISTEMOLOGI berkenaan dengan makna dan keniscayaan kognitif dari proses-proses tersebut.
EPISTEMOLOGI tidak menyelidiki kemampuan untuk membedakan warna melainkan bertanya apakah warna yang tampak pada objek benar-benar
terdapat pada objek itu sendiri atau justru diluar dirinya. Psikologi menyelidiki daktor-faktor kognitif yang memengaruhi dan membentuk persepsi sedangkan EPISTEMOLGI menguji hubungan logis antara stimulus yang dialami dengan keberadaan dan hakikat dunia di luarnya, psikologi menyelidiki
pentingnya intensif dalam proses belajar sedangkan EPISTEMOLOGI mempelajari batas-batas dan jangkauan pengetahuan manusia.
Para ahli filsafat John Locke (1632 – 1704); David Hume (1711 – 1776) dan Immanuel kant (1724 – 1804) seringkali mengajukan pertanyaan seperti “apakah pengetahuan” terutama pengetahuan yang benar yang mungkin tercapai oleh manusia/ ada sejumlah jawaban yang diajukan dalam filsafat diantaranya
1. Skeptisisme
2. Realisme naif
3. Skeptisisme Descartes (Skeptisisme Metodis).
4. Realisme kritis
5. Kritisme Immanuel kant dan
6. Positivism logis
1. Skeptisisme
Menurut paham ini, tidak mungkin kitamencapai pengetahuan, selain berupa pengenalan-pengenalanyang bersifat sementara. Gejala atau realitas selalu
berubahdan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) man usia tidak pernahbisa dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran m~nusiasangat terbatas, sehingga tidak akan pernah mungkin sampaipada pengetahuan yang sejati. Oleh sebab itu, kita jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia, melainkan harusmeragukannya.
2. Realisme naif
Pandangan ini biasanya dianut oleh orang awam (commonsense). Menurut paham ini, pengetahuan sangat dimungkinkan sejauh bersesuaian dengan objek yang dipersepsi. Pengetahuan, konsep, atau gambaran tentang pohon, misalnya, harus bersesuaian dengan pohon yang diamati. Pengetahuan kita adalah gambaran
yang sesungguhnya dari realitas di luar kita. Dunia adalah sebagaimana yang tampak pada indera kita atau sebagaimana ia memanifestasikan diri dalam
kesadaran kita. Objek dalam kesadaran kita adalah gambaran sebenarnya dari objek di luar kita. Dengan demikian, pengetahuan yang melampaui atau di luar realitas yang nyata, adalah tidak mungkin. Pengetahuan hanya mungkin sejauh yang dapat diamati dan dibuktikan melalui indera.
3. Skeptisisme Descartes (Skeptisisme Metodis).
Menurut Descartes, segala sesuatu (termasuk apa yang ada dalam pengetahuan kita dan bahkan pengetahuan itu sendiri) dapat diragukan keberadaannya. Jika
saya melihat angsa, saya dapat meragukan keberadaan angsa itu jangan-jangan saya mengalami halusinasi atau bermimpi tentang angsa!) Jika saya mencium aroma makanan, sayapun dapat meragukan keberadaan makanan tersebut jangan-jangan saya sedang lapar, sehingga aroma apapun diasosiasikan dengan makanan!). Namun,
dari semua yang dapat saya ragukan tenyata ada satu hal yang tidak dapat diragukan dan tidak mungkin bisa diragukan yaitu, adanya aku yang sedang meragukan, atau aku yang sedang berpikir (cogitoergosum; I think, I am). Ia (aku yang sedang berpikir) harus ada sebelum bisa meragukan
apa saja- realitas, pengetahuan, nilai. Ia adalah kepastian yang tidak bisa diragukan. Jika keberadaanku merupakan fakta yang sangat kuat, yang tidak bisa diragukan, maka semua pengetahuan mempersyaratkan adanya aku, subjektivitasku. Ia adalah starting point dan sekaligus ending points untuk setiap pengetahuan.
4. Realisme kritis
Meski pengetahuan hanya mungkin sebatas pengalaman indera (sebagaimana yang diyakini oleh realisme naif), tetapi pengetahuan yang mengatasi pengalamanpun dimungkinkan, sejauh ada justifikasi rasional terhadapnya. Paham ini mengatasi realisme naif, karena ia mengakui adanya peran pikiran manusia. Pikiran manusia menambahkan dan sekaligus mendistorsi data dari dunia luar, namun ide-ide dan konsep-konsep yang kita miliki harus selalu bersesuaian dengan ( correspondence to) data. Jika tidak, berarti ide-ide dan konsep-konsep tersebut keliru (salah).
5. Kritisme Immanuel kant dan
Menurut Kant, realitas pada dasarnya terbagi ke dalam dua dunia, yakni dunia fenomenal (phenomenon atau dunia sebagaimana menampakkan diri pada pengamat) dan dunia noumenal (noumenon, atau dunia yang sesungguhnya, yang berada di dalam diri realitas itu sendiri). Meskipun dunianoumenal itu ada, tetapi keberadaannya diluar pengetahuan. Kita tidak dapat sungguh-sungguh menjangkaunya. Kant memberinya nama Ding-an-sich (ada dalam-dirinya-sendiri).
Pikiran manusia tidak bisa menembus dunia noumenal ini. Pengetahuan manusia terbatas hanya pada dunia fenomenal, dunia pengalaman. Kita tidak mengetahui apa pun di luar dunia pengalaman. Di dalam dunia fenomenal, pengetahuan kita merupakan campuran dari apa yang diterima (dialami) oleh kita dari luar dengan proyeksi-proyeksi dan harapan-harapan kita sendiri: ruang dan waktu adalah "kondisi subjektif dari sensibilitas" atau "bentuk dari intuisi"
yaitu, mereka adalah proyeksi dari pikiran kita sendiri dan penambahan pada kualitas murni atau bahan material dari pengalaman (warna, bentuk, suara) yang masuk ke kesadaran dari luar. Di pihak lain, pemahaman menyumbangkan prinsip-prinsip organisasi pada kualitas murni, yakni prinsip-prinsipyang diberi nama "kategori-kategori" atau "konsep-konsep murni" misalnya, kesatuan, pluralitas, substansi, sebab akibat, kemungkinan, atau keniscayaan.
Bentuk-bentuk intuisi dan konsep-konsep murni merupakan bahan-bahan formal pengalaman. contoh: pemahaman saya tentang kekasih saya hanya terbatas pada apa
yang saya tangkap dari raut wajah, tingkah laku, emosi, dan sikap dia (fenomena). Saya mengetahui tinggi dan berat badannya, kesukaan-kesukaannya, hal-hal
yang mendemaskannya bahkan tingkat kecerdasannya. Namun eksistensi atau keberadaan dia yang sesungguhnya (nowmena) sangat gelap buat saya. Terbukti bahwa sering kali saya salah dalam memahami dirinya, sehingga sering berselisih paham.
6. Positivism logis
Menurut aliran ini kriteria untuk membedakan yang bermakna dari yang tidak bermakna adalah pembuktian atau verifikasi empiris. Misalnya pernyataan, "Kemarin sore di Jakarta hujan deras," adalah bermakna, meski mungkin salah (bisa jadi kemarin sore di Jakarta sebetulnya tidak hujan); sebaliknya, pernyataan 'alam secara mutlak harus ada agar jiwa menjadi sadar-diri," adalah tidak bermakna, meski pasti benar (bagaimana mungkin jiwa bisa sadar-diri jika tidak ada alam yang menopang hidupnya?) Dengan demikian, batas-batas pengetahuan dan juga ukuran kebenaran suatu pengetahuan adalah kemungkinannya untuk diverifikasi.
EPISTEMOLOGI
tidak hanya berusaha menjawab pertanyaan mengenai apakah suatu pengetahuan itu benar atau tidak benar, akan tetapi juga mencari jawaban atas pertanyaan
mengenai apa yang dimaksudkan oleh seseorang ketika ia mengatakan bahwa pengetahuan itu benar? Apa yang menjadi kriteria-kriteria kebenarannya? Beberapa teori mengenai kebenaran:
1. Teori korespondensi
2. Teori koherensi
3. Teori pragmatis
4. Teori performatif
5. Teori konsensus
1. Teori korespondensi
Menurut paham ini, kebenaran terjadi jika ada kesesuaian antara bentuk-bentuk simbolik bahasa seperti kata, kalimat, gagasan, atau pikiran, dengan keadaan nyatanya, yakni objeknya yang berada di luar kita. Kebenaran, dengan demikian; adalah adanya ekuivalensi, adanya hubungan satu hal dengan hal lainnya ( isomorphism), atau adanya kesamaan antara aspek simbolis atau representatif, yakni kata atau pikiran, dengan keadaan di luar, yakni objek yang
disimbolisasikannya.
disimbolisasikannya.
2. Teori koherensi
Menurut teori ini, kebenaran terjadi jika suatu sistem proposisi secara internal koheren (runtut) satu sama lainnya. Pernyataan "2+2=4" adalah benar, sejauh pernyataan itu koheren dan konsisten dengan seluruh pernyataan matematika. Pernyataan "2+3=4" itu salah bukan karena tidak sesuai dengan fakta, melainkan tidak koheren dengan pernyataan-pernyataan dalam matematika misalnya bertentangan dengan 2+2=4. Pernyataan “manusia adalah mahluk yang tidak bebas, karena setiap perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor eksternal” adalah benar jika kita menganut paham deterministic. Koherensi menjamin konsistensi dari proposisi-proposisi, teori-teori dan observasi-observasi namun tidak menjamin akan konsistensi antara ide atau teori kita dengan kanyataan
yang sebenarnya
3. Teori pragmatis
Teori pragmatik dari kata yunani pragma yang berati tindakan tentang kebenaran menghubungkan makna kebenaran dengan proses konfirmasi, pengujian dan atau verifikasi. Menurut teori ini kebenaran bukan suatu keadaan melainkan tindakan. Kebenaran bukan statis antara pikiran dan dunia luar melainkan berkaitan dengan konsekuensinya terhadap tindakan. Teori pragmatik tentang kebenaran dapat dipandang sebagai posisi EPISTEMOLOGI yang praktis. Maka gagasan atau pernyataan ditemukan di dalam kemampuan untuk memprediksi, ekspektasi, antisipasi, yakti tidakan masa depan yang dibawakannya.
4. Teori performatif
Teori performatif tentang kebenaran meyakini bahwa suatu pernyataan disebut benar jika diputuskan atau dikemukakan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh yang memiliki otoritas tertentu di bidangnya. Dalam kehidupan yang sebenamya kriteria untuk mengukur suatu kebenaran sering kali tidak berkenaan dengan acuan empiris (korespondensi) atau konsistensi antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya (koherensi), melainkan dengan orang atau tokoh
yang mengungkapkan "kebenaran" itu sendiri. Kriteria kebenarannya sering kali mengacu pada otoritas orang atau tokoh yang mengemukakan suatu argumentasi.
Sebagaimana yang sering terjadi di politik, agama, kehidupan sehari-hari, dan bahkan di dunia akademik. Misalnya, seorang guru besar terkemuka merancang suatu teori A tentang gejala stress. Ia mendapatkan pengakuan dan penghargaan internasional untuk teori tersebut. Selanjutnya, teori A itu dijadikan sebagai benchmark atau acuan untuk semua psikolog yang hendak menjelaskan suatu peristiwa atau gejala stress, untuk kemudian karena guru besar tersebut menjadi terkemuka, maka apa pun yang dikatakan olehnya dianggap sebagai suatu kebenaran, meski terdapat kemungkinan tidak semua yang dikatakan benar!
5. Teori konsensus
Menurut teori ini, kriteria kebenaran suatu pernyataan tidak terletak pada pernyataan itu sendiri (seperti yang ditegaskan teori koherensi dan korespondensi), atau pada konsekuensi praktis dari pernyataan itu (seperti yang dinyatakan teori pragmatis), atau pada otoritas orang atau tokoh yang mengemukakan pernyataan itu (seperti yang diungkapkanoleh teori performatif), melainkan pada pengakuan suatu komunitas yang mendukung pernyataan tersebut yang berarti bahwa kebenaran suatu pernyataan pada dasarnya terletak pada aspek sosial dan psikologis, dan bukan pada isi atau bentuk dari pernyataan.
Sebagaimana dalam psikologi. Banyak sarjana psikologi yang mengkritik teori-teori psikoanalisis dan menilainya tidak ilmiah, karena tidak dibangun berdasarkan pada metode-metode "ilmiah" (misalnya eksperimen-eksperimen). Lalu kenapa psikoanalisis hingga dewasa ini masih diakui kebenarannya dan dipertahankan sebagai salah satu paradigm besar dalam psikologi? Teori konsensus akan menjawab bahwa hal itu dikarenakan kebenaran suatu teori tidak terletak pada penggunaan atau kecanggihan metode-metodenya, akan tetapi pada ada atau tidak adanya komunitas yang mendukung teori itu sendiri. Jadi, masalah kebenaran pada dasarnya tidak berkaitan dengan aspek epistemologis (metodologi), melainkan dengan aspek sosiologis dan psikologis.
H. References
Abidin, Z. (2011) “ pengantar filsafat barat”. Jakarta. PT. RajaGrafindo persada.
Hamdi, M (2016) “Pengantar filsafat” Naskah buku dalam proses penerbitan
saya Andira br Sitepu, nim: A1A315032
BalasHapusSaya mau bertanya mengenai materi yang sudah di bahas di kelas yang kurang sya pahami dan tidak ada kesempatan untuk menanyakannya
1. apakah epistemologi bisa terlepas dari ilmu pengetahuan, sedangkan epistemologi sendiri proses atau cara dalam mengkaji ilmu pengetahuan itu sendiri?. Terimakasih.
Epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir ini digabungkan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera epistemologi sejarah dominoqq
BalasHapusterima kasih inlumnya pak, sangat bermanfaat
BalasHapusThank you for nice information. Please visit our web:
BalasHapusIqbal
Iqbal
Thank you for nice information. Please visit our web :
BalasHapusDais Isnafirlah
Dais Isnafirlah
thank you for nice information, finally found what am I looking for!!!
BalasHapusvisit our website : muhammad solehuddin
Artikel yang bagus, terimakasih sharingnya, silahkan kunjungi
BalasHapuswebsite kami
Artikel yang bagus, terimakasih sharingnya, silahkan kunjungi
BalasHapuswebsite kami
Thanks
BalasHapus