Pertemuan X (Kehadiran filsafat)



Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana “coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!” Filsuf itu menarik napas panjang lalu berpantun.
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidaktahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya
“bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awam penuh hasrat dalam ketidak tahuan”
“mudah saja” jawab filsuf “ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu sementara filsafat dimulai dari kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berati berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berati mengoreksi diri semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.

Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang, ia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya ia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.

Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh, seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenai ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Ia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya, ia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, ilmu dan agama, ia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.

Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik, ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lainnya, mereka meremehkan moral, agama dan nilai estetika. Mereka para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing sebainya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang “ Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita.” Dan kitapun lalu menyadari kebodohan kita sendiri, yang saya tahu adalah bahwa saya tak tahu apa-apa simpul Sokrates. (Suriasumantri, J. 2010: 20)

Kerendahatian Sokrates tersebut bukanlah verbalisme yang sekedar basa basi. Seorang yang berpikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati yang kedua yakni “sifat mendasar” ia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar, mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa?. Seperti sebuah lingkaran maka, pertanyaan itu melingkar.

Filsafat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu, filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan selanjutnya ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan Durant, W. (Suriasumantri, J, 2012: 22)

Seorang profesor yang penuh humor mendekat permasalahan yang dikaji filsafat dengan sajak berikut
What is a man?
What is?
What?

Maksudnya bahwa pada tahap mula sekali, filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu: Hallo, siapa kau?. tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang yang ternyata tak kuncul selesai permasalahan mahluk yang satu ini.

Filsafat merupakan bentuk pengetahuan tertentu lebih jauh lagi sebagai bentuk pengetahuan manusia yang sudah sempurna, kesempurnaan tersebut merupakan perkembangan yang terakhir daripada “pengetahuan biasa” kendatipun demikian inilah yang sekarang justru harus diperdalam. Terdapat aspek lain selain “pengetahuan biasa” yang mendorong manusia ke KE ARAH FILSAFAT yang kelak mengantarkan manusia pada titik kejelasan bagi pandangan manusia itu sendiri yang disebut dengan “ens metaphysicum” menurut Aristoteles artinya mahluk yang berfilsafat menurut kodratnya.

Jika benar adanya bahwa manusia benar-benar terdorong akan filsafat menurut kodratnya lalu apakah harus dikatakan bahwa setiap orang menjadi seorang ahli filsafat?, apakah filsafat itu keniscayaan akan adanya?, jika benar demikian mengapa tidak terlihat pada setiap orang bermenung-menung sebagaimana filsuf?,untuk menjawab hal tersebut kita harus harus membedakan hal-hal berikut:

1. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan dalam arti

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang tersendiri itu tidak niscaya adanya yang meminta tingkatan kebudayaan yang agak tinggi.

2. Filsafat dalam arti yang lebih luas

yaitu; arti; usaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu. Dalam arti filsafat dalam pikiran manusia dapat dinyatakan akan keberadaannya (tentu ada). Sebagaimana dalam konteks masyarakat yang tingkatannya belum berkembang ditemukannya pikiran-pikiran tentang “sebab akibat” pendapat-pendapat tentang hidup, tentang perbuatan-perbuatan manusia yang baik dan buruk, etika dan sebagainya. Maka, pandangan-pandangan yang sifatnya telah dapat disebut “metafisik” kesemuanya tersebut tidak lebih tepat dikatakan “belum dipikir-pikirkan”. Hal ini memerlukan proses pertumbuhan yang agak lama sebagaimana ilmu-ilmu pengatahuan lainnya.

Menurut Aristoteles filsafat dimulai dengan suatu “tahuma” (rasa kagum) yang muncul dari suatu oparia (suatu kesulitan yang dialami karena adanya percakapan-percakapan yang saling kontradiksi/ bertentangan) istilah oparia dalam Bahasa yunani yang berati “problema, pertanyaan, atau tanpa jalan keluar”. Jadi filsafat bermula ketika manusia mengagumi dunia dan berusaha menerangkan berbagai gejala yang terjadi pada dunia tersebut. Sejak manusia mulai menyadari akan dunia, akan orang lain dan akan dirinya sendiri disinilah ia menyadari akan hal-hal yang tidak dimengertinya namun ia berkeinginan dan merasa sanggup untuk memahaminya.

Keheranan tersebut dapat saja bertolak dari hal yang biasa-biasa seperti tentang bunga, pohon, burung, kucing hingga pada puncaknya yakni tentang MANUSIA ITU SENDIRI mengapa dan bagaimana ia menjalani kehidupan, bagaimana seharusnya ia menjalani kehidupan, bagaimana ia harus bersikap dengan si A, si B dan seterusnya, bagaimana matinya hal tersebut akan terus bercabang sepanjang ia menganali ruang-ruang yang baru dalam kehidupannya yang disebut dengan pengalamannya.

Hal tentang persoalan tentang dirinya akan terus dibina sehingga boleh dikatakan ia adalah teka-teki bagi dirinya sendiri sebuah tanda tanya besar yang harus dikerjakannya sendiri, siapakah sebenarnya aku? Pertanyaan tersebut kelak diistilahkan sebagai “RAHASIA HIDUP” dengan merenung, berpikir selalu akan mengantarkan kita ke dalam “rahasia hidup” rahasia dalam arti sebuah pertanyaan dan atau persoalan yang tidak dapat dijawab dengan hanya memuaskan sepenuhnya karena jawaban yang akan diberikan tersebut selalu akan diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mengandung arti “ TIDAK ATAU BELUM KITA TANGKAP”. Inilah sebabnya penyelidikan filsafat tidak akan pernah selesai atau tidak berujung, namun ironiknya ini tidak menyebabkan manusia putus asa melainkan sebaliknya dengan kegigihannya ia selalu dan terus mencari dan menemukan akan jawaban Filsafat menjelma dalam bentuk usaha-usaha manusia dalam mencari tentang jawaban teka-teki tersebut. Dengan hati terbuka ia terus bertanya yang didorong oleh keinginan untuk menyelami rahasia disebalik segala sesuatu sebagaimana halnya rahasia hidup, rahasia orang lain, rahasia dunia, dan rahasia Tuhan Pencipta Semesta Alam. Selanjutnya apakah keheranan tersebut bisa dikatakan filsafat? Jawabannya belum dapat disebut filsafat karena keheranan tersebut hanyalah pengawalannya seterusnya bentuk usaha dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, menyelami rahasia barulah dapat dikatakan sebagai filsafat, yang dilakukan secara sistematis dan diusahakan secara ilmiah.

Ilmu pengetahuan mendorong manusia untuk memahami dan mengerti tentang sesuatu namun kenyataannya ilmu pengetahuan belum dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari ilmu-ilmu pengetahuan itu sendiri yang bisa menjadikan pengetahuan itu menjadi sempurna (pengetahuan yang sempurna).

Oleh karenanya ilmu pengetahuan tersebut terus melakukan dorongan guna menutupi kekurangannya, muncullah ilmu pengetahuan yang mengatasi kekurangan ilmu pengetahuan tersebut yakni pengetahuan yang tercapai dalam filsafat.

Selain hal di atas terdapat pertanyaan-pertanyaan bagi setiap orang tidak terkecuali bagi mereka yang tidak menempuh pendidikan formal sebagaimana lazimnya seorang pelajar, disadari atau tidak, sengaja atau kebetulan, meluruskan atau meneruskan ia telah menapak jalan menuju filsafat dengan menanyakan kepada dirinya hal-hal berikut
  1. Darimanakah aku datang dan kemanakah tujuanku?
  2. Kemanakah arah hidupku?
  3. Apakah arti hidup?
  4. Untuk apakah aku hidup?
  5. Bagaimanakah setelah aku mati
  6. dan seterusnya
Dalam hal ini yang terpenting bukanlah jawabannya melainkan munculnya persoalan tersebut, kehadiran pertanyaan itu memungkinkan manusia menemukan akan jawabannya. Dalam konteks menemukan jawaban tersebut terdapat misteri yang unik bagi manusia itu sendiri dan dari manusia itu sendiri, sebagaimana manusia mempunyai keinginan untuk damai, tentram, harmoni, selamat dunia akhirat, tidak menginginkan kesusahan dan kehinaan, dan seterusnya. Sejatinya manusia mempunyai berbagai macam keinginan namun anehnya tidak pernah merasa puas sepenuhnya. Ketika manusia mendapatkan akan keinginan pertamanya, justru pencapaian petama tersebut mengantarkannya untuk mendapatkan keinginan yang selanjutnya, setelah keinginan selanjutnya terwujud ia terus berkeinginan mendapatkan keinginan berikutnya, terus dan terus berkeinginan, fakta berikutnya menyatakan bahwa ketenangan dan ketentraman hati yang sepenuhnya nampaknya sukar tercapai, namun anehnya setiap orang sibuk mencarinya. Maka muncullah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut
  1. Apakah yang memberikan kebahagiaan itu?
  2. Dimanakah letaknya kebahagiaan itu?
  3. Apakah yang membawa kebahagiaan itu?
  4. Bagaimanakah mencapai kebahagiaan itu?
Dari beberapa pertanyaan seperti di atas jelasla bahwa manusia belumla merasa cukup jika ia hanya memiliki kesenangan badan melainkan bagaimana manusia dalam arti manusiawi yang berati sebagai mahluk berbudi, berbudaya, berjiwa, berpenalaran, dan beriman. Haruslah disertai dengan pengetahuan dan kesadaran kendatipun justru karenanyalah adanya berbagai macam pertanyaan tersebut. 

Hal lain yang menimbulkan soal filsafat ialah bahwa manusia terikat oleh suatu cara dalam bertindak, suatu pola tingkah laku atau perilaku yang kita sebut kesusilaan dan atau etika. Tidak dapat berbaut semaunya baginya ada perbuatan yang dilarang, perbuatan yang diwajibkan hal tersebut juga suatu tanda bahwa manusia tidaklah sama dengan hewan, diamana manusia dapat membedakan mulia-hina, indah-jelek, adil-lalim, singkatnya baik-buruk. Ia merasa wajib melakukan yang baik dan menolak yang buruk, berkeinginan menyempurnakan hidupnya, ia tidak puas dengan hidup pada taraf kehewanan yang dapat puas dengan hanya memenuhi tuntutan nafsunya belaka. Namun lebih jauh ia harus menentukan perbuatan-perbuatannya sendiri sesuai dengan kaidah-kaidah kesusilaan yang menguasai perbuatan-perbuatannya.

Aturan-aturan kesusilaan atau pola tingkah laku tersebut hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keyakinan akan kebenarannya yang didukung oleh kehendak yang bebas. Namun justru kehendak dan kebebasan itulah memerlukan renungan-renungan yang mendalam, memerlukan pengetahuan mengenai norma-norma, kaidah-kaidah, dan ukuran-ukuran. Karena kebabasan justru berati dapat memilih ini atau itu, ya atau tidak, begini atau begitu, berbuat atau tidak berbuat, pilihan tersebut tidak mungkin tanpa pengertian tentang apa yang dipilih dan apa yang ditolak. Seperti contoh; pilihan menggunakan bolpoint/ pena merek A berangkat dari rasio karena pena A lebih bla..bla..bla..dan karena pena merek B bla..bla..bla..dan seterusnya.

Dengan demikian kita dapat hidup dengan sadar dan mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan kita sendiri. Maka persoalannya ialah:
  1. Apakah yang baik itu?
  2. Apakah yang buruk itu?
  3. Apakah yang membawa kita kea rah kesempurnaan hidup kemanusiaan/ manusiawi?
  4. Apakah yang sesuai dengan perikemanusiaan?
  5. Bagaimanakah nilai-nilai itu dapat saya wujudkan dalam hidup mandiri?
  6. Darimanakah asalnya norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengikat saya?
  7. Apakah tujuan hidupku…dan sebagainya
Berbagaimacam pertanyaan tersebut membawa kita masuk ke dalam lapangan filsafat, yang akhirnya semua persoalan tersebut mengembalikan kepada diri kita sendiri, sebagaimana manusia mempersoalkan dirinya sendiri bahkan inilah soal pertama muncul pada waktu kita menjadi dewasa, diamana kita mengalami suatu pertentangan di dalam diri kita yaitu saya merasa wajib melakukan yang baik dan menolak yang buruk dan hina, namun dalam pada itu perbuatan yang baik tidak saya perbuat walaupun berkeinginan melakukannya. Lalu apakah yang buruk itu yang sebenarnya jauh di dalam lubuk hati sudah saya tolak namun kenyataannya saya masih melakukannya?, darimanakah munculnya pertentangan ini. Pengetahuan ilmiah menolong manusia menguasai dunia dan alam, namun anehnya perkembangan “cipta” atau ilmu pengetahuan itu tidaklah memberi pertolongan atau kekuatan untuk menguasai dirinya sendiri. Jika saya berbuat salah yang sebenarnya saya sendiri mengetahui kesalahan tersebut.

Jika demikian apakah yang baik, dan apakah yang buruk itu? Sampai dimanakah saya sendiri bertanggung jawab atas perbuatan saya sendiri?, apakah itu dapat diperbaiki, ataukah memang telah menjadi nasib kita untuk berbuat salah walaupun ingin dan wajib melakukan yang mulia. Pertentang lain yang kita alami di dalam diri kita ialah pertentangan antara tubuh dan jiwa.

Disamping penarikan tersebut di atas kita dapat pula menempuh cara lain yang bertolak pada kodrat manusia yang mendorong ke arah filsafat dengan formula sebagai berikut

1. Kodrat manusia adalah rohani-jasmani

Bahwa manusia adalah rohani-jasmani sebenarnya harus diterangkan dalam filsafat tentang manusia (antropologi, metaphysica/ filsafat antropologi). Bahwa jasmani manusia tersebut sudah jelas dan tidak membutuhkan pembuktian lebih lanjut namun ia tidak semata-mata jasmani melainkan adanya unsur-unsur yang menunjukkan bahwa ia mengatasi jasmani/ kebendaan, mempunyai dasar atau prinsip yang bukan jasmani yang tidak terdapat pada batu, tumbuh-tumbuhan atau hewan. Tingkah laku manusia sangat bertolak belakang dengan tingkah laku hewa, ia dapat mengerti ia dapat menciptakan kebudayaan, ilmu-ilmu pengetahuan, mempunyai cita-cita yang luhur dengan mengorbankan barang-barang materil (jasmani), dengan demikian jelasla bahwa manusia bukan sekedar barang materil dan atau benda jasmani namun keuanggulannya terdapat pada roh atau jiwa pada manusia itu sendiri yang tidak dapat dipisahkan inilah pula yang disebut sebagai kodrat manusia nature the intrinsic principle of activity, the essence.

2. Kodrat rohani-jasmani mendorong ke filsafat

Jalan yang menapak pada filsafat tersebut ialah
  1. Manusia ialah suatu kebulatan yang intinya adalah JIWA, dan jiwa tersebut hanya dapat berhubungan dengan DUNIA yang berhubungan dengan benda, hewan, manusia lainnya, alam dan ketuhanan malalui pelantara kejasmaniannya, malalui badannya, melalui fisiknya, melalui wujud nyatanya. Semua yang hidup di dalam jiwa dalam hati kita menyatakan diri dalam badan, sebaliknya apa yang dirasakan dalam badan itu memengaruhi jiwa manusia.
  2. Bahwa pengetahuan kita juga terjadi melalui badan dengan perantara pancaindera yang berati bahwa pengetahuan kita dibatasi oleh pengalaman menurut waktu dan tempat
  3. di dalam gejala-gejala jasmani menyinggung unsur-unsur rohani keduanya selama bersama dan bercampur namun yang menjadi intinya ialah pengetahuan rohani. Pengetahuan jasmani (pancaindera) hanya merupakan taraf pertama dan “melayani” pengetahuan yang lebih tinggi inlah yang disebut dengan PENGETAHUAN ROHANI.
  4. Pengetahuan rohani seakan terbungkus dalam pengetahuan jasmani, jiwa berusaha mengatasi kekangan tersebut untuk mencapai pengetahuan yang sesuai dengan sifat dan kodratnya sendiri mengenai dasar-dasar, sebab-sebab yang menjadi universal mengenai keseluruhan, keinginan melepaskan diri dari kekangan tersebut akhirnya membuat suatu dorongan, dan dorongan inilah yang disebut dengan DORONGAN BERFILSAFAT.
  5. Setelah dorongan itu terjadi “sebagaimana semua hal yang belum sempurna mencari kesempunaannya” merupakan hokum yang belaku untuk semua yang ada. Semua yang kita lihat di alam dunia “menjadi” sedang bergerak untuk menjadi lebih sempurna mendekati citanya untuk “lebih menjadi dirinya sendiri”. Sebagaimana manusia mengusahakan kesempurnaannya “ingat akan keinginan kebahagiaan” selanjutnya pengetahuan merupakan kesempurnaan intelek atau akal budi manusia. Karena usaha yang terus menerus dalam pengetahuan tersebut untuk mencapai kesempurnaan yang sedalam dalamnya selanjutnya inilah yang disebut dengan PENGETAHUAN FILSAFAT

3. Berfilsafat lahir dari kodrat manusia

Roh kita mengatasi batas-batas pengalamannya, dapat mengerti akan diri, akan tetapi pengetahuan akan diri kita sendiri tidak akan sempurna karena manusia selalu di dorong untuk lebih mengerti akan dirinya. Maka yang diinginkannya adalah pengetahuan yang sempurna artinya ia mengerti dasar hidupnya, sebab adanya, keterangan yang terakhir yang sepenuhnya mengenai inti dan tujuan hidupnya, ia terdorong untuk mengerti tempatnya sendiri di dalam lingkungan yang mutlak, maka jika ternyata ia sendiri bukan yang mutlak, bukan dasar yang terakhir yang terdasar dan asasi melainkan ia bergantung dari suatu dasar yang lebih mendalam selanjutnya muncullah keinginan untuk mengetahui tentang dasar yang terdasar tersebut.

Sebagaimana kodratnya manusia mempunyai akal pikiran yang tidak seperti mahluk lainnya. Alkisah
“seorang peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu mabuk, untuk itu ia mangadakan penyelidikan dengan mencampur berbagai minuman keras, mula-mula ia mencapur air dengan wiski luar negeri yang setelah dengan habis diteguknya maka diapun terkapar mabuk. Setelah siuman ia mencampur air dengan TKW, wiski local yang diminum dipinggir jalan sambil mengisap kretek ternyata campuran inipun menyebabkan ia mabuk. Berdasarkan penelitian ini maka ia menyimpulkan bahwa airlah yang menyebabkan manusia itu mabuk, benar-benar masuk akal bukan? Namun apakah hal itu benar?

Selanjutnya Cassirer meminjam perumpamaan yang dibuat Plato mengenai gua dan Dunia ide ia menyatakan:
“```hidup manusia sama seperti tawanan yang terkurung di dalam gua, hidup manusia akan dikekang oleh batas-batas kebutuhan biologis, naluriah, dan kebutuhan sesaat yang praktis. Tanpa simbolisme hidup manusia sungguh-sungguh terbelenggu, manusia tidak dapat menemukan pintu gerbang bagi “dunia ideal” seperti yang diungkapkan oleh agama, kesenian, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” (Abidin, Z: 2012: 147)

Oleh karenanya berkat simbolla (religi, kesenian, filsafat, dan ilmu pengetahuan) manusia baru sungguh-sungguh merasakan menjadi manusia.

MEMBIDIK PIKIR PARA PEMIKIR

Francis Bacon

Seorang filsuf yang hidup pada tahun 1561 – 1626. Pada usia 23 tahun sudah menjadi anggota parlemen dan pada tahun 1618 diangkat sebagai Lord Chancellor ia menyatakan: “```bahwa untuk menguasai alam kodrat, dasar pertama dari kekuasaan kita adalah pengalaman. Untuk mengetahui dari sifat-sifat dari segala sesuatu dibutuhkan penyelidikan yang empiris yang hasilnya diolah dengan metode eksperimental atau induktif. Ia menentang adanya dogma-dogma yang tradisional dan sangat mengutamakan akal manusia untuk memeroleh kebenaran.”

Thomas Hobbes


Seorang filsuf yang lahir di Malmesbury hidup pada tahun 1588 – 1679 dalam usia 15 tahun sudah mempelajari Logika Skolastis dan Fisika di Oxford menyatakan:
“```segala kejadian itu ditentukan oleh gerakan dan bentuk dari obyek-obyek yang bersifat kebendaan. Citarasa yang berdasarkan pancaindera (warna, nada,
rasa-lidah, temperature) adalah sama sekali subyektif.”

Benedictus De Spinoza

Filsuf belanda yang lahir di Amsterdam hidup pada tahun 1632 – 1677. Juga termasuk seorang rationalist, walaupun bertentangan dengan Descartes tentang substansinya menyatakan: “```hanya ada satu substansi, tidak mungkin ada dua yaitu yang meliputi segala sesuatu yang disebutnya “ deus sive substantie” atau “des sive natura” yang menampakkan dirinya pada kita dalam dua bentuk yaitu:
  1. Mempunyai tanda perlambang yang berupa keluasan/ lapangan
  2. Mempunyai tanda perlambang yang berupa kesadaran
Selanjutnya inilah yang disebut ajaran “monisme” spinoza.”

Rene Descartes

Nama latinya Cartesius lahir di La Haye Perancis hidup pada tahun 1596 – 1650 pelopor pembaharuan atau pemikiran modern di abad 17 menyatakan:
“```Cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) baginya segalanya disangsikan namun dalam serba sangsi itu ada satu hal yang pasti yaitu ia berpikir, karena ia berpikir maka ia ada. Ia sangat mengagungkan rasionya selanjutnya aliran filsafatnya disebut rasionalisme.

Reference

Abidin, Z. (2011) “ pengantar filsafat barat”. Jakarta. PT. RajaGrafindo persada.
Bahm Archie, J. (1953) philosophy an Introduction. John wiley and Sons inc., New York.
Beerling, R.F (1961) “filsafat dewasa ini” Jakarta. Balai Pustaka
Hamdi, M (2012) “pengantar filsafat ilmu”. Bandung. UPI SPs Press
Salam, B (2012) pengantar filsafat. Jakarta. PT. Bumi Aksara
Share this article :
 

7 komentar :

  1. penyelidikan filsafat tidak akan pernah selesai atau tidak berujung, yang saya tanyakan hal apa yang membuat orang selalu memiliki rasa ingin tahu untuk berfilsafat? Dimana didalam pembahasan di atas bahwa filsafat tidak pernah selesai dan tidak berujung? Terimakasih (a1a315014)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Manusia adalah mahluk yang kritis terhadap suatu permasalahan. Dan manusia juga adalah mahluk yang tidak pernah puas akan suatu keadaan. Hal ini lah yang menyebabkan manusia selalu ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dunia dan seisinya. Bentuk kritis manusia adalah sebagai bentuk dari berkembangnya pemikiran manusia yang selalu ingin mencari suatu nilai dan mengungkap sebuah kebenaran dalam hidupnya. Oleh karena itu, manusia selalu berfikir dan mencari nilai dan kebenaran tersebut. Jadi selagi manusia belum menemukan suatu bentuk nilai kebenaran yang mutlak menurutnya, maka ia akan terus berfikir dan mencari untuk menemukan kebenaran tersebut. Kendatipun ia telah menemukan suatu nilai yang dianggapnya benar, manusia akan tetap berfikir untuk menemukan bentuk kebenaran yang lain. KHAMIM THOHARI (A1A315009)

      Hapus
    2. A1A315026

      Saya akan menjawab pertanyaaan Nurul, karena sebagaimana kita ketahui bahwa filsafat itu muncul dengan adanya rasa ingin tahu dan rasa ragu – ragu, sehingga orang yang berfilsafat itu akan selalu berpikir terhadap apa yang ingin diketahuinya dan berpikir untuk menjawab rasa ragu – ragu yang muncul. Dalam hal ini, orang yang berfilsafat akan berpikir secara kritis untuk menjawab keingintahuannya dengan menggunakan kemampuan pikirnya. Filsafat mencoba mengerti, menganalisis, menilai, dan menyimpulkan semua persoalan-persoalan dalam jangkauan rasio manusia, secara kritis, rasional dan mendalam.

      Hapus
  2. nama saya Andira br Sitepu, nim : A1A315032
    Saya ingin bertanya mengenai kehadiran filsafat yang sudah dibahas kemaren
    1. apa alasan-alasan yang memicu munculnya filsafat ?
    terimakasih.

    BalasHapus
  3. A1A315026

    Saya akan menjawab pertanyaan Andira, ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya filsafat. Namun secara historis, sebagaimana disebutkan oleh Moh. Hatta dalam bukunya Alam Pikiran Yunani, ada dua hal:
    1.Dongeng dan takhayul yang dimiliki oleh suatu masyarakat, kebudayaan atau bangsa. Beberapa orang dalam masyarakat tersebut tidak langsung percaya begitu saja. Lalu, ia mulai berpikir kritis dan mencari jawabannya. Jawaban atas kebenaran dari dongeng-dongeng itu, maka dari situ muncullah filsafat.
    2.Keindahan alam yang besar, terutama ketika malam hari. Hal tersebut membuat keingintahuan orang-orang Bangsa Yunani untuk mengetahui rahasia keindahan alam tersebut. Keingintahuan akan rahasia alam tersebut akhirnya menimbulkan filsafat juga.
    Sedangkan menurut Beerling dalam Ahmad Tafsir (2002:13), filsafat dimulai oleh orang Yunani karena rasa ketakjuban. Rasa takjub mereka akan keindahan alam ini membuat mereka ingin mengetahui rahasia-rahasia alam ini. Plato misalnya, mengatakan bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Lantas sikap heran atau takjub itu menimbulkan pertanyaan (melahirkan sikap bertanya), dan pertanyaan itu akan dipertanyakan kembali karena ia selalu sangsi atas kebenaran yang ditemukannya itu. Kesangsian itu lalu mulai menimbulkan sifat kritis, maka saat itu filsafat mulai muncul.

    BalasHapus
  4. Ijin copas, enak di baca terima kasih

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger