Kualitas Kepribadian Konselor




Kepribadian seorang konselor merupakan faktor yang paling penting dalam konseling. Seperti yang dinyatakan Perez temuan penelitian menunjukkan bahwa pengalaman, orientasi teoritis dan teknik yang digunakan bukanlah penentu utama efektivitas seorang terapis, melainkan kualitas pribadi konselor itu sendiri dan bukan pendidikan ataupun pelatihannya sebagai kriteria dalam evaluasi keefektifannya. (Surya, 2003: 57)
Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik. Pembahasan mengenai kualitas konselor mencakup alasan pentingnya kualitas itu bagi konseling, deskripsi mengenai bagaimana kualitas itu dimanifestasikan, dan hambatan-hambatan dalam mewujudkan kualitas itu. Berikut ini akan dikemukakan beberapa karakteristik kualitas kepribadian konselor secara komprehensif yang terkait dengan keefektifan konseling.

1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri

Pengetahuan diri sendiri (self-knowledge) mempunyai makna bahwa konselor mengetahui secara baik tentang dirinya, apa yang dilakukan, mengapa melakukan ini dan itu, mengetahui masalah yang dihadapi, dan masalah konseli yang terkait dengan konseling. Alasan pentingnya pengetahuan konselor tentang dirinya yaitu, pertama, konselor yang mengetahui persepsi dirinya dengan baik cenderung mengetahui persepsi diri konseli yang sedang dibantu. Ke-dua, keterampilan konselor yang digunakan untuk memahami dirinya adalah keterampilan yang sama untuk memahami diri konseli. Dengan demikian, semakin besar kemampuan yang dimiliki, semakin besar pula kemungkinan untuk memahami konseli. Ke-tiga, konselor yang telah memiliki keterampilan yang digunakan untuk memahami diri sendiri memungkinkan konselor mengajarkannya kepada konseli. Ke-empat, pengetahuan diri sendiri memungkinkan konselor merasakan dan berkomunikasi secara baik dengan konseli.
Kualitas konselor yang tinggi tingkat pengetahuannya terhadap diri sendiri mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. Menyadari kebutuhannya. Sebagai konselor, harus mengenal bahwa mereka menyadari akan kebutuhan yang harus dicapai, seperti merasa berharga, merasa dibutuhkan, memiliki kelebihan, terkendali, memiliki kekuasaan, dan tegas.
  2. Menyadari perasaannya. Perasaan terluka, takut, marah, bersalah, mencintai, atau seks, menjadi bagian dari respon setiap konselor dalam konseling. Kondisi perasaan itu akan banyak berpengaruh terhadap situasi hubungan konseling. Oleh karena itu, konselor harus menyadari dan mampu mengendalikannya selama konseling berlangsung.
  3. Menyadari apa yang membuat cemas selama proses konseling, dan cara yang harus dilakukan untuk mengurangi kecemasan tersebut. Dalam konseling sering terjadi serangan terhadap konselor yang dapat menimbulkan kecemasan seperti pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan, seksualitas, moral, nilai-nilai terapeutik, dsb. Konselor harus menyadari pertahanan yang dilakukan untuk menghindari kecemasan seperti: pasif atau dominan; berharap konseli akan merasa bersalah dan menghentikan serangan; mengubah topik; segera menjadi nondirektif dan reflektif; mencaci; menyalahkan; atau menakut-nakuti; menggunakan contoh atau analogi untuk mengacaukan (Saya mengerti frustrasi anda bersama saya. Saya juga akan bertindak hal yang sama jika seseorang berkata kepada saya ...) mengintelektualisasi ("Perbolehkanlah saya mengerti bagaimana perasaan seksual anda terhadap saya"); mengajarkan ("Saya kira anda akan merasa lebih terluka dari pada merasa marah kepada saya. Anda lihat apa yang dilakukan oleh jiwa kita apabila terluka ... ") berkhayal; menggunakan humor; mencegah timbulnya kecemasan hingga waktu yang lebih tepat.
  4. Menyadari kelebihan dan kekurangan diri. Kesadaran akan kelebihan dan kekurangan diri akan membantu konselor dalam mengefektifkan hubungan konseling. Dengan kelebihannya, konselor dapat meningkatkan wibawa dan pengaruhnya terhadap konseli, sementara kesadaran akan kelemahan mendorong konselor untuk senantiasa memperbaiki diri.
  5. Satu hambatan yang sering terjadi dalam mewujudkan pengetahuan tentang diri sendiri adalah konselor menggunakan pertahanan yang sama dilakukan oleh konseli dalam melindungi diri sendiri dari ketepatan dalam memandang diri dan pekerjaannya. Mereka cenderung tergesa-gesa memuji diri sendiri ketika berhasil, dan cenderung menyalahkan manakala tidak memperoleh kemajuan dalam memotivasi konseli.

2. Kompetensi

Kompetensi (competence) mencakup aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu konseli. Kompetensi ini sangat penting bagi seorang konselor, karena konseli datang pada konseling untuk belajar dan mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai hidup yang lebih efektif dan bahagia. Peranan seorang konselor ialah untuk mengajarkan semua kompetensi ini kepada konseli. Oleh karena itu makin banyak kompetensi yang dimiliki konselor, makin besar kemungkinan konselor dapat membantu konseli baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memperoleh kompetensi hidup. Hal yang membedakan hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah terletak pada kompetensi konselor. Konselor yang efektif memiliki kombinasi kompetensi pengetahuan akademik, kualitas kepribadian, dan keterampilan membantu. Apabila konselor tidak memiliki ketiga kompetensi tersebut, maka hubungan konseling cenderung tidak ada bedanya dengan hubungan persahabatan.

Kompetensi seorang konselor juga membangkitkan kepercayaan konseli dalam konseling. Makin besar kepercayaan konseli terhadap konselor, makin besar kemungkinan konselor dapat membantu konseli secara efektif. Di samping itu kompetensi konselor sangat penting untuk efisiensi penggunaan waktu konseling. Semakin kompeten seorang konselor, maka konseling semakin lebih memiliki tujuan yang spesifik karna dapat menggunakan waktu dengan efisien. Seorang konselor yang senantiasa berusaha menjadi lebih kompeten memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Secara berkelanjutan senantiasa berusaha meningkatkan pengetahuan tentang perilaku dan konseling/antara lain melalui bacaan, menghadiri konferensi atau seminar, mengikuti pelatihan, berdiskusi dengan rekan sejawat
  2. Senantiasa mencari pengalaman-pengalaman hidup yang baru yang dapat membantunya meningkatkan kompetensi dan mempertajam keterampilannya
  3. Senantiasa mencoba berbagai gagasan dan pendekatan dalam konseling
  4. Senantiasa melakukan penilaian dalam setiap langkah konseling untuk mencapai keefektifan konseling.
  5. Peningkatan kompetensi konselor sering terhambat oleh adanya mitologi bahwa tingkatan akademik dan jumlah pengalaman akan secara otomatis meningkatkan kualitas seseorang menjadi konselor yang efektif.

3. Kesehatan Psikologis yang Baik

Konselor harus menjadi model kondisi kesehatan psikologis yang baik bagi konselinya. Artinya, konselor harus lebih sehat psikisnya daripada konseli. Kesehatan psikologis yang baik akan mendasari pemahaman perilaku dan keterampilan yang pada gilirannya akan mengembangkan satu daya yang positif dalam konseling. Seorang konselor merupakan model perilaku, dan setiap sesi dalam konseling merupakan proses adaptasi perilaku. Konselor yang memiliki kekurangan kesehatan psikologisnya, dapat menimbulkan kecemasan dalam diri konseli. Akibatnya konselor justru menjadi sumber masalah ketimbang menjadi solusi. Karakteristik konselor yang memiliki kesehatan psikologis yang baik antara lain sebagai berikut:
  1. Mencapai pemuasan kebutuhan seperti kebutuhan rasa aman, cinta, memelihara, kekuatan, seksual, dan perhatian di luar hubungan konseling
  2. Tidak membawa pengalaman masa lalu dan masalah pribadi di luar konseling ke dalam proses konseling
  3. Menyadari titik penyimpangan dan kelemahan yang dapat membantu mengenal situasi yang terkait dengan masalah
  4. Tidak hanya mencapai kelestarian hidup, tetapi mencapai kehidupan dalam kondisi yang baik. Salah satu kendala yang timbul adalah konselor membiarkan ketakutan dan ketidakpuasan atas kehidupan pribadinya menjadi satu komunitas samaran (pseudocommunity) dalam konseling. Dalam komunitas ini, mereka merasa aman, puas, dan merasa penting akan tetapi hanya bersifat samaran atau tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.

4. Dapat dipercaya

Dapat dipercaya (trustworthtness) penting bahwa konselor bukan sebagai satu ancaman bagi konseli akan tetapi sebagai pihak yang memberikan rasa aman. Alasan pentingnya konselor dapat dipercaya, yaitu (a) kepercayaan terhadap konselor diperlukan dalam mencapai tujuan esensial konseling yaitu mendorong konseli agar menjadi dirinya sendiri, (b) untuk memberikan jaminan kerahasiaan konseli dalam konseling, (c) konseli membutuhkan keyakinan untuk mempercayai motivasi dan watak konselor, (d) pengalaman konseli terhadap konsistensi, penerimaan, dan kerahasiaan konselornya; akan membantu konseli dalam mengembangkan rasa percaya yang lebih mendalam terhadap dirinya sendiri.

Konselor yang dapat dipercaya memiliki kualitas sebagai berikut: (a) dapat dipercaya dan konsisten seperti menepati janji dalam setiap perjanjian konseling, dalam ucapan dan perbuatan, dsb. (b) baik secara verbal maupun nonverbal menyatakan jaminan kerahasiaan konseli, (c) membuat konseli tidak merasa menyesal membuka rahasia dirinya, (d) bertanggung jawab terhadap semua ucapannya dalam konseling sehingga konseli mendapatkan lingkungan yang bersifat mendukung. Satu hambatan utama dalam perwujudan kepercayaan terhadap konselor adalah gangguan yang berasal dari masalah lain yang dialami konselor. Misalnya ada kesibukan konselor dalam tugas-tugas lain sehingga mempengaruhi konsistensi konselor seperti dalam menepati waktu, tempat, dsb. Konselor yang merupakan "orang sibuk" harus sangat berhati-hati akan hal ini.

5. Kejujuran

Kejujuran (honest) yang mutlak mempunyai makna bahwa seorang konselor harus terbuka, otentik, dan sejati dalam penampilannya. Karakteristik tersebut sangat penting dalam konseling, mengingat beberapa alasan berikut ini. Pertama, transparansi atau sikap keterbukaan memudahkan konselor dan konselinya berinteraksi dalam suasana keakraban psikologis. Ke-dua, kejujuran memungkinkan konselor untuk memberikan umpan balik yang belum diperhalus. Ke-tiga, kejujuran konselor merupakan ajakan sejati kepada konseli untuk menjadi jujur. Ke-empat, konselor dapat menjadi model bagaimana menjadi manusia jujur dengan cara-cara yang konstruktif.

Konselor yang benar-benar jujur memiliki kualitas sebagai berikut: (a) memiliki kongruensi dalam arti ada kesesuaian antara kualitas diri aktual atau nyata (real self) dengan penilaian pihak lain terhadap dirinya (public self), (b) menyatakan bahwa kejujuran dapat menimbulkan kecemasan konseli dan mempersiapkan untuk menghadapinya, (c) memiliki pemahaman yang jelas dan beralasan terhadap makna kejujuran, (d) mengenal pentingnya menghubungkan antara kejujuran “positif” dan kejujuran "negatif”. Satu hambatan dalam memeroleh kejujuran konselor adalah adanya stres yang dialami oleh konselor. Oleh karena itu, konselor harus mengupayakan agar sedapat mungkin tetap bebas dari stres.

6. Kekuatan atau Daya (Strength)

Keberanian konselor melakukan apa yang dikatakannya dapat membantu keseluruhan konseling. Kondisi ini merupakan titik tengah antara intimidasi dan kelemahan. Kekuatan konselor mempunyai peranan yang penting dalam konseling karena memungkinkan konseli merasa aman dalam konseling. Konselor memerlukan daya untuk mengatasi serangan dan manipulasi konseli dalam konseling. Kekuatan konselor juga dapat menepis anggapan bahwa konselor sebagai sumber yang mengacaukan pikiran konseli. Selanjutnya kekuatan ini penting karena dapat membantu konseli dalam mengembangkan perlindungan diri konseli.

Konselor dengan kekuatan yang baik memiliki kualitas sebagai berikut: (a) mampu menetapkan batasan yang beralasan dan mematuhinya untuk menetapkan hubungan yang baik dan menggunakan waktu dan tenaga secara efisien, (b) dapat mengatakan sesuatu yang sulit dan membuat keputusan yang tidak populer, (c) fleksibel dalam melakukan pendekatan dalam konseling, (d) dapat tetap menjaga jarak dengan konseli, untuk tidak terbawa emosi yang timbul pada waktu konseling.

7. Kehangatan

Kehangatan (warmth) maksudnya satu kondisi yang mampu menjadi pihak yang ramah, peduli, dan dapat menghibur orang lain. Kehangatan pada umumnya dikomunikasikan dengan cara-cara non-verbal seperti tekanan suara, ekspresi mata, mimik wajah, dan isyarat badan. Kehangatan diperlukan dalam konseling karena (a) dapat mencairkan kebekuan suasana, (b) mengundang untuk berbagi pengalaman emosional, (c) memungkinkan konseli menjadi hangat dengan dirinya sendiri.

Konselor yang memiliki kehangatan, menunjukkan kualitas sebagai berikut: (a) mendapatkan kehangatan yang cukup dalam kehidupan pribadinya, sehingga mampu untuk berbagi dengan orang lain, (b) mampu membedakan antara kehangatan dan kelembaban, (c) tidak menakutkan dan membiarkan orang merasa nyaman dengan kehadirannya, (d) memiliki sentuhan manusiawi yang mendalam terhadap kemanusiaan dirinya.

Salah satu dari hambatan untuk menjadi konselor yang hangat adalah dengan mengintelektualisasikan pendekatan hidup. Konselor yang semacam ini salah memahami konsep "jarak professional" dan termasuk di dalamnya keharusan untuk menjaga jarak emosional mereka sendiri dengan konseli.

8. Pendengaran Aktif

Konselor secara dinamis terlibat dengan proses seluruh konseling. Menjadi pendengar aktif (active responsiveness) merupakan penengah antara perilaku hiperaktif yang mengganggu dengan perilaku pasif dan kebingunan. Menjadi pendengar yang aktif bagi konselor sangat penting karena (a) menunjukkan komunikasi dengan penuh kepedulian, (b) mendorong dan memberanikan konseli untuk bereaksi secara spontan terhadap konselor, (c) menimbulkan situasi yang mengajarkan, (d) konseli membutuhkan gagasan-gagasan baru.

Konselor sebagai pendengar yang baik memiliki kualitas sebagai berikut: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, dan masalah yang sebenarnya bukan masalahnya, (b) menantang konseli dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan konseli dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan konseli dalam konseling. Salah satu penghambat menjadi pendengar yang aktif·adalah ketakutan konselor dalam keterlibatannya, yang berarti. Lebih dekat dengan permasalahan, menjadi peka, membuat kesalahan-kesalahan, dan sangat bertanggung jawab pada masalah yang dihadapinya.

9. Kesabaran

Dalam konseling, konselor dapat membiarkan situasi-situasi berkembang secara alami, tanpa memasukkan gagasan-gagasan pribadi, perasaan, atau nilai-nilai secara prematur. Untuk itu diperlukan kesabaran konselor karena hal itu memberikan peluang bagi konseli untuk berkembang dan memperoleh kemajuan dalam tahapan-tahapan secara alami. Konselor tidak dapat memaksa atau mempercepat pertumbuhan psikologis melebihi kondisi keterbatasan konseli. 

Konselor yang sabar memiliki kualitas sebagai berikut: (a) memiliki toleransi terhadap ambiguitas (bermakna ganda) yang terjadi dalam konseling sebagai konsekuensi dan kompleksnya manusia, (b) mampu berdampingan dengan konseli dan membiarkannya untuk mengikuti arahnya sendiri meskipun mungkin konselor mengetahui adanya jalan yang lebih singkat, (c) tidak takut akan pemborosan waktu dalam minatnya terhadap pertumbuhan konseli, (d) dapat mempertahankan tilikan dan pertanyaan yang akan disampaikan dalam sesi dan digunakan kemudian.

Satu hal yang sering menghambat konselor untuk sabar adalah kebutuhan untuk mencapai keberhasilan, sehingga ia tidak memfokuskan pada konseli akan tetapi lebih banyak terfokus pada cara dan tujuan. Pesan yang diberikan kepada konselinya adalah "saya tidak peduli siapa anda, apa yang anda dapat lakukan pada ego saya.”

10. Kepekaan

Kepekaan (sensitivity) berarti bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri konseli dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling karena hal itu akan memberikan rasa aman bagi konseli dan konseli akan lebih percaya diri manakala berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.

Konselor yang memiliki kepekaan menunjukkan karakteristik sebagai berikut: (a) peka terhadap reaksi dirinya sendiri dalam konseling, membacanya secara refleks, terampil dan penuh perhatian sebagaimana dilakukan terhadap konseli, (b) mengetahui bilamana, di mana, dan berapa lama melakukan penelusuran konseli, (c) mengajukan pertanyaan dan mengaitkan informasi yang dipandang mengancam oleh konseli dengan cara-cara yang arif, (d) peka terhadap hal-hal yang mudah tersentuh dalam dirinya.

Adapun yang sering manghambat kepekaan konselor adalah kesadaran diri, yaitu konselor yang memusatkan kebutuhannya untuk keberhasilan, yang terus-menerus merencanakan langkah selanjutnya, dan yang memiliki kebiasaan melindungi diri sendiri terhadap ancaman.

11. Kebebasan

Konselor yang memiliki kebebasan mampu memberikan pengaruh secara signifikan dalam kehidupan konseli, sambil meninggalkan kebebasan konseli untuk menolak pengaruh itu. Kebebasan konselor sangat penting peranannya dalam konseling karena: (a) konselor akan memahami konseli lebih nyata, (b) membawa konseli dalam hubungan yang lebih akrab, (c) mengurangi keinginan untuk melawan, (d) makin banyak kebebasan diciptakan dalam konseling makin banyak kebebasan konseli.

Kebebasan konselor terlihat pada: (a) menempatkan nilai tinggi terhadap kebebasan dalam hidupnya, (b) dapat membedakan antara manipulasi dan edukasi dalam konseling, (c) memahami perbedaan antara kebebasan yang dangkal dengan yang sesungguhnya dan membantu konseli dalam konseling dengan menghargai perbedaan itu, (d) mencoba dan menghargai. kebebasan yang benar dalam hubungan konseling.

12. Kesadaran Holistik

Pendekatan holistik dalam konseling bermakna bahwa konselor menyadari keseluruhan konseli dan tidak mendekatinya hanya dengan meneropong dari satu aspek tertentu saja. Ini tidak, berarti bahwa konselor harus ahli dalam semua aspek, tapi mampu mendekati konseli dari berbagai dimensi dan bagaimana satu dimensi dapat mempengaruhi dimensi lainnya. Pendekatan holistik dalam konseling ini sangat penting karena manusia memiliki berbagai dimensi yang saling terkait seperti fisik, emosional, sosial, intelektual, seksual, moral-keagamaan, dll. Pendekatan holistik dalam konseling juga penting karena tidak bisa satu masalah dalam satu dimensi dirujuk pada dimensi lain, melainkan harus dilihat dalam satu keutuhan. Dengan kesadaran holistik ini konselor dapat mengurangi efek masalah yang sulit dipecahkan dalam satu dimensi dengan memperluas pertumbuhan dalam dimensi lain.

Konselor yang memiliki kesadaran holistik ditandai dengan kualitas berikut: (a) sangat menyadari akan dimensi kepribadian dan kompleksitas keterkaitannya, (b) mencari konsultasi secara tepat dan membuat rujukan secara cerdas, (c) sangat akrab dan terbuka terhadap berbagai teori tentang perilaku dan bahkan mungkin memiliki teori sendiri.

Suatu hal yang sering menghambat konselor untuk memiliki kesadaran holistik adalah kegelisahan konselor dan sifat kesombongan yang menonjol, yang tidak membiarkan mereka mengakui bahwa terdapat dimensi seseorang tak memenuhi syarat, baik dalam derajat akademis maupun pengalaman untuk dihadapi.

Referencess
Rasimin & Hamdi, (2017) Prosedur Bimbingan dan Konseling Kelompok, draf buku proses penerbitan.

Share this article :
 

6 komentar :

  1. Assalamu`alaikum.Wr.Wb
    salam pak hamdi
    izin pak untuk tambahan referensi, terima kasih, salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa`alaikumussalam.Wr.Wb
      silahkan dengan menuliskan sumber di atas.

      Hapus
  2. kliatas kepribadian konselor sangat mencerminkan kepribadian bapak hamdi, salam santun pak hamdi.

    BalasHapus
  3. Ini yang saya cari,ditulis oleh dosen paforite ku, terima kasih pak Hamdi, sehat selalu

    BalasHapus
  4. Bapak Hamdi,dosen paforite saya banget,sehat selalu pak hamdi

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger