TEORI KEPRIBADIAN ERIK ERIKSON

Sejarah Singkat


Erik Erikson lahir di kota Frankfurt, Jerman, tanggal 15 Juni, 1902. Ada sedikit misteri tentang silsilah keluarganya. Ayah biologisnya seorang yang tidak dikenal bernama Danish. Dia meninggalkan ibunya sebelum Erik lahir. Ibunya, bernama Karla Abrahasemen, seorang wanita Yahudi yang membesarkan Erik seorang diri selama 3 tahun pertama kehidupan Erik. Ibunya lalu dinikahi Dr. Theodor Homberge, seorang dokter anak, dan setelah ibunya menikah mereka lalu pindah ke kota Karlsruhe di Selatan Jerman. Pada waktu kecil dan awal remajanya, Erik Erikson dikenal dengan nama Erik Salomonsen dan Erik Homberger;ciri­-cirinya yaitu: tinggi, pirang, seorang lelaki bermata biru yang juga seorang Yahudi. Pada saat umur 25 tahun, temannya yang bernama Peter Blos seorang seniman yang pada akhirnya menjadi seorang psikoanalisis menyarankan Erik untuk melamar menjadi seorang guru di sekolah eksperimental untuk murid Amerika yang dipimpin oleh Dorothy Burlingham, teman Anna Freud (putri freud). Selain mengajar seni, Erik mendapatkan sertifikat dari pendidikan Montessori dan satu lagi dari Perkumpulan Psikoanalitik Vienna.

Saat mengajar di sana, Erik bertemu dengan Joan Serson, seorang guru dansa di sekolah Kanada yang kelak menjadi isterinya dan dikaruniai tiga orang anak, salah satunya menjadi seorang sosiolog sama seperti dirinya. Pada saat Nazi berkuasa, Erikson dan keluarga meninggalkan Vienna, pertama mereka pergi ke
Copenhagen, lalu ke Boston. Erikson ditawari posisi di Sekolah Medical Harvard dan membuka praktek psikoanalisis anak secara privat. Pada saat itu, Erikbertemu psikolog seperti Henry Murray dan Kurt Lewin, dan antropolog seperti Ruth Benedict, Margaret Mead, dan Gregory Bateson.

Erik lalu mengajar di Yale, dan lalu tinggal di Universitas California di Barkeley. Disinilah Erik melakukan pelajaran tentang kehidupan modern antara Lakota dan Yurok. Saat dia menjadi warga negara Amerika, dia secara resmi mengganti namanya menjadi Erik Erikson. Pada tahun 1950, dia menulis buku yang berjudul Childhood and Society, sebuah buku tentang penduduk asli Amerika, analisis dari Maxim Gorkiy dan Adolph Hitler, hasil diskusi dari “ Ameri­can Personality”, dan garis besar dari teori Freudian. Tema ini dipengaruhi oleh kepribadian dan analisis dari tokoh sejarah, salah satunya adalah dari teori kebenaran-Gandhi. Dia memenangkan Pulitzer Prize dan National Book Award. Pada tahun 1950, pada saat pemerintahan Senator Joseph McCarthy melakukan teror, Erikson meninggalkan Barkeley, pada saat profesor di sana memintanya untuk melakukan “sumpah setia”. Erik Erikson menghabiskan wktu selama 10 tahun dengan bekerja dan mengajar di klinik di Massachussets, dan 10 tahun kemudian kembali lagi ke Harvard. Sejak pensiun tahun 1970, dia menulis dan melakukan riset dengan istrinya, hingga pada akhirnya meninggal pada tahun 1994.

KONSEP UTAMA

Erikson memberi jiwa baru ke dalam teori psikoanalisis, dengan memberi perhatian lebih besar kepada ego daripada id dan superego

1) Ego Kreatif

Erikson memandang ego sebagai kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri secara kreatif dan otonom. Erikson menjelaskan bahwa ego itu mempunyai kreativitas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tidak hanya ditentukan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri individu, tetapi juga ditentukan oleh faktor sosial dan budaya tempat individu itu berada. Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada psikoanalisis Freud, yakni kepercayaan, dan penghargaan, otonomi dan kemauan, kerajinan, dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta integritas. Ego semacam itu disebut juga “ego-kreatif”, ego yang dapat menemukan pemecahan kreatif atas masalah pada setiap tahap kehidupan.

Apabila menemui hambatan atau konflik, ego tidak menyerah tetapi bereaksi dengan meng­gunakan kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan. Ego bukan budak tetapi justru menjadi pengatur id, superego, dan dunia luar. Jadi, ego di samping hasil proses faktor-faktor genetik, fisiologik, dan anatomis, juga dibentuk oleh konteks kultural dan historis.

2) Ego Otonomi Fungsional

Teori ego dari Erikson yang dapat dipandang sebagai pengembangan dari teori perkembangan seksual-infantil dari Freud, mendapat pengakuan yang luas sebagai teori yang khas, berkat pandangannya bahwa perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetic. Bagi organisme, untuk mencapai perkembangan penuh dari struktur biologis potensialnya, lingkungan harus memberi stimulasi yang khusus. Menurut Erikson, fungsi psikoseksual dari Freud yang bersifat biologis juga bersifat epigenesist, artinya untuk ber­kembangnya psikoseksual dibutuhkannya stimulasi khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang terpenting adalah lingkungan sosial.

Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu­-anak menjadi bagian penting dari perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson tidak membatasi teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Menurut­nya, situasi memberi makan merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan dunia luar. Lapar jelas manifestasi biologis, tetapi konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan kesan bagi bayi tentang dunia luar. Dari pengalaman makannya, bayi belajar untuk mengantisipasi interaksinya dalam bentuk kepercayaan dasar (basic trust), yakni mereka memandang kontak mata dengan manusia sangat menyenangkan karena pada masa lalu hubungan semacam itu menimbulkan rasa aman dan kebahagiaan. Sebaliknya, tanpa basic trust bayi akan mengantisipasi interaksi interpersonal dengan kecemasan, karena masa lalu hubungan dengan interpersonalnya menimbulkan frustrasi dan rasa sakit.

Ciri khas psikologi ego dari Erikson dapat diringkas sebagai berikut.
  1. Erikson menekankan kesadaran individu untuk me­nyesuaikan diri dengan pengaruh sosial. Pusat perhatian psikologi ego adalah kematangan ego yang sehat, alih-alih konflik salah suai yang neurotik.
  2. Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan menambahkan konsep epigenetik kepri­badian.
  3. Erikson secara eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal dari impuls id yang tak sadar, namun mo­tif itu bisa membebaskan diri dari id seperti individu meninggalkan pesan sosial di masa lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan masalah, persepsi, identitas ego, dan dasar kepercayaan bebas dari id, membangun sistem kerja sendiri yang terlepas dari sistem kerja id.
  4. Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri dengan realita, ego mengembangkan perasaan berkelanjutan diridengan masa lalu dari masa yang akan datang.

3) Aspek Psikoseksual

Teori perkembangan dari Erikson melengkapi dan menyem­purnakan teori Freud dalam dua hal, pertama melengkapi tahapan perkembangan menjadi delapan tahap yakni tahap bayi (infancy), anak (early childhood), bermain (play age), sekolah (school age), remaja (adolescence),dewasa awal (young adulthood), dewasa madya (middle adulthood), dan usia tua (late adulthood). Erikson mengakui adanya aspek psiko­seksual dalam perkembangan, yang menurutnya bisa ber­kembang positif (aktualisasi seksual yang dapat diterima) atau negatif (aktualisasi ekspresi seksual yang tidak.di­kehendaki). Dia memusatkan perhatiannya kepada men­diskripsikan bagaimana kapasitas kemanusiaan mengatasi aspek psikoseksual itu; bagaimana mengembangkan insting seksual menjadi positif.

Enam pokok pikiran yang dapat dipakai untuk memahami teori perkembangan psikososial Erikson, antara lain:
  • Prinsip epigenetik: perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetik.
  • Interaksi bertentangan: konflik antara positif dan negatif itu tetap akan ada sepanjang hayat, justru konflik itu yang membuat kepribadian menjadi
    hidup.
  • Kekuatan ego: konflik psikososial di setiap tahap hasilnya akan mempengaruhi atau mengembangkan ego.
  • Aspek somatis: walaupun Erikson membagi tahapan perkembangan kepribadian berdasarkan perkembangan psikososial, dia tidak melupakan aspek
    somatislbiologikal dari perkembangan manusia.
  • Konflik dan peristiwa pancaragam (multiplicity of conflict and event): peristiwa pada awal perkembangan tidak ber­dampak langsung pada
    perkembangan kepribadian selanjut­nya. Identitas ego dibentuk oleh konflik dan peristiwa masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
  • Di setiap tahap perkembangan, khususnya dari masa adolesen dan sesudahnya, perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas ( identity crisis), yang di­namakan Erikson “titik balik, periode peningkatan bahaya dan memuncaknya potensi.” Selama masa krisis, banyak terjadi
    perubahan penting identitas ego, bisa positif atau negatif.

4) Teori Perkembangan Psikososial

Ada delapan tahapan perkembangan menurut Erikson. Kemajuan atau ketekunan dalam suatu tahap akan berpengaruh pada sukses atau tidaknya seseorang dalam tahap berikutnya. Seperti contoh kecil perkembangan sekuntum bunga mawar dalam waktu yang pasti dan secara alami. Jika kita meng­ganggu perkembangan alaminya maka daun bunganya akan merusak seluruh bagian bunga.

Ada berbagai tugas perkembangan dalam tiap tahap perkembangan. Tugas bayi misalnya yang disebut dengan “trust-mistrust”. Pertama jelas bahwa bayi harus belajar percaya dan tidak curiga. Tapi Erikson menyarankan untuk belajar se­imbang bahwa kita harus belajar keduanya. Tentunya, kita butuh belajar lebih banyak percaya tapi kita juga butuh untuk belajar sedikit curiga. Jadi kita tidak berkembang sebagai individu yang mudah dibohongi. Setiap tingkat perkembangan tentu harus dioptimalkan dan dipakai untuk mencoba men­dorong anak pada masa dewasa. Termasuk didalamnya untuk individu yang terobsesi untuk sukses.

Jika dalam tingkat perkembangan itu dapat diatur dengan baik tentu akan berpengaruh baik terhadap kekuatan psikososial kita dalam sisa hidup kita. Atau
sebaliknya, jika kita tidak dapat mengaturnya dangan baik maka akan tumbuh sikap maladaptif dan kekacauan yang akan membahayakan masa depan. Inovasi terbaru Erikson menyatakan bahwa ada delapan tahap perkembangan bukan lima tahap seperti yang dikemu­kan oleh Freud. Erikson merinci tingkat “genital” Freud pada fase remaja plus tiga tingkat masa dewasa. Erikson punya. beberapa pemikiran tentang interaksi dari generasi yang disebut dengan “mutuality”. Freud mengemukakan bahwa orang tua berpengaruh pada perkembangan anaknya yang bersifat dramatik. Erikson menjelaskan bahwa perkembangan anak yang dipengaruhi oleh orang tua adalah baik. 

Tahap Pertama

Tahap pertama, tingkat infancy/ oral-sensory yaitu kira-­kira tahun pertama. Tugas ini untuk mengembangkan rasa percaya tanpa sama sekali menghapus kapasitas untuk curiga. Jika ayah dan ibu bisa memberi kualitas keakraban secara konsisten dan kontinu pada anak, kemudian anak akan mengembangkan perasaan bahwa dunia, khususnya dunia sosial adalah tempat yang aman, orang bisa dipercaya dan dicintai. Anak belajar untuk percaya pada tubuhnya dan cara memenuhi keinginan biologisnya.

Kondisi atau kualitas keakraban dan kehangatan yang diciptakan orang tua; tidak mengartikan orang tua harus sempurna. Pada kenyataannya banyak orang tua yang terlalu melindungi anaknya akan diakhiri dengan tangisan yang akan menjadikan anak pada tendensi maladiptif. Erikson me­nyebutnya dengansensory maladjusment. Mereka akan bimbang dan berkembang jadi “malignant tendency of with drawal”dengan karakteristik depresi, paranoid, dan mungkin psikosis. Ayah dan ibu tidak perlu menjadi sempurna dengan tergesa-gesa tapi harus sempurna secara pasti (konsisten).

Tahap Kedua

Tahap kedua adalah tahap anal muscular pada masa anak awal antara 8 bulan sampai 3-4 tahun. Tugasnya untuk berprestasi, otonom kebalikan dari malu dan ragu. Jika ayah dan ibu mengizinkan anak belajar berjalan, bereksplorasi, dan memanipulasi lingkungan maka anak akan berkembang jadi otonom dan mandiri. Pada masa ini, anak dapat belajar tentang kontrol diri dan harga diri. Dengan kata lain, belajar mengontrol diri dan menghargai diri, akan mempermudah si anak untuk mengatasi rasa malu dan ragu. Jika orang tua berusaha keras mengeksplorasi dan menjadikan anak mandiri, anak akan berasumsi tidak akan bisa melakukan apa yang ingin dilakukannya. Jika kita menyimpan kesan menertawakan saat anak berusaha untuk belajar berjalan maka si anak akan merasa sangat malu dan raga pada kemampuannya.

Cara lain yang akan membuat si anak jadi pemalu dan ragu adalah jika kita memberikan kebebasan dan tidak dibatasi maka ini akan berpengaruh tidak baik. Jika kita tidak punya waktu untuk mengajarkan anak memasang tali sepatunya maka dia akan berasumsi susah mengerjakannya. Dengan kata lain, sedikit malu dan ragu adalah hal yang tidak dapat dielakkan tapi bermanfaat. Tanpa itu, anak akan berkembang pada tendens maladiptif, Erikson menyebutnya dengan impulsiveness yang akan membuat anak melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Orang yang kompulsif akan merasa semua gampang dilakukan dan akan sempurna.

Sehingga banyak orang yang pemalu dan merasa ragu pada dirinya. Sedikit kesabaran dan toleransi dalam membantu anak akan membantu perkembangan anak. Individu akan tumbuh dengan kekuatan saat dia bisa menyeimbangkan kebebasannya dengan rasa malu dan ragu. “Can do” adalah moto yang baik agar kita menjadi lebih baik dalam segalanya.

Tahap Ketiga

Tahap ketiga adalah tahap umur bermain atau genital locomo­tor dari umur 3 atau 4 sampai 5 atau 6 tahun. Anak belajar untuk berinisiatif tanpa terlalu banyak merasa bersalah. Inisiatif maksudnya respon positif pada tantangan dunia, tanggung jawab, belajar keahlian baru, dan merasa ber­manfaat. Orang tua mengharapkan inisiatif yang ditimbulkan anak adalah anak mampu mengeluarkan idenya. Kita terima harapan fantasi, dan imajinasinya. Pada tahap ini, waktunya bermain bukan belajar formal. Inisiatif adalah usaha untuk mengubah sesuatu menjadi kenyataan. Erikson adalah Freudian, dia memasukkan penelitian Oe­dipal dalam tahapan perkembangan. Dalam pandangannya, krisis Oedipal meliputi rasa segan anak dalam melepaskan atau menutup perlawanan jenis kelamin orangtuanya. Orangtua harus bertanggung jawab, mensosialisasikan dan meng­harapkan si anak tumbuh bukan menjadi bayi lagi. Tapi jika proses ini terlalu kasar dan tiba-tiba, anak belajar merasa bersalah tentang perasaannya.

Tahap Keempat

Tahap keempat adalah tahap latensi, atau anak-anak usia sekolah dari usia 6-12 tahun. Tugasnya adalah mengembang­kan suatu kapasitas untuk industri atau menghasilkan dan saat menghindari sebuah perasaan rendah diri yang berlebihan. Anak-anak harus mengendalikan imajinasinya dan mengabdikan diri mereka kepada pendidikan dan untuk mempelajari keterampilan sosial yang dituntut oleh masyarakat.

Saat ini lingkaran sosial semakin meluas: para orangtua dan anggota keluarga yang lainnya digabungkan dengan para guru, teman sebaya dan anggota-anggota yang lain dalam suatu komunitas yang besar. Para orangtua harus mem­berikan keberanian, guru harus peduli, teman sebaya harus menerima. Anak-anak harus belajar bahwa kesenangan itu tidak hanya didapat dalam menyusun sebuah rencana, tapi dalam pelaksanaan juga. Mereka harus belajar merasakan kesuksesan, apakah itu di sekolah ataupun di tempat ber­main, akademis atau sosial.

Suatu cara yang baik untuk mengatakan perbedaan antara seorang anak pada tahap ketiga dan seorang anak pada tahap keempat adalah dengan melihat cara-cara mereka memainkan permainan. Anak usia 4 tahun dapat menyukai permainan, tetapi mereka hanya mengerti peraturannya secara samar­samar. Boleh jadi peraturan-peraturan tersebut mengubah mereka di saat permainan sedang berlangsung, dan akan merasa tidak senang untuk benar-benar menyelesaikan permainan, kecuali kalau menyerahkan sisanya kepada lawan. Anak usia 7 tahun, di sisi lain, patuh pada peraturan, meng­anggap peraturan itu sangat keramat, dan akan sangat marah jika permainan tidak sesuai dengan peraturan.

Jika anak hanya mendapatkan sedikit kesuksesan, dikarena­kan kekasaran guru-guru atau penolakan dari teman-teman sebaya maka dia malah akan mengembangkan suatu perasaan rendah diri atau tidak berkompeten. Erikson menyebutkan sumber tambahan dari rasa rendah diri tersebut yaitu rasisme, seksisme dan bentuk-bentuk lain dari diskriminasi. Jika seorang anak mempercayai bahwa kesuksesan itu berkaitan dengan “siapa kamu?” dari pada “seberapa keras kau berusaha”, maka anak akan bertanya kenapa harus berusaha? Terlalu banyak industri atau menghasilkan membawa pada kecenderungan ketidakmampuan menyesuaikan diri. Para or­ang tua dan para guru harus mendorong anak pada satu wilayah kompetensi tanpa memperbolehkan mereka untuk mengem­bangkan minat yang terlalu luas. Contoh anak-anak yang banyak menghasilkan tanpa diimbangi dengan kehidupan lainnya yaitu artis cilik, atlet cilik, pemusik cilik, anak yang dianggap ajaib dalam waktu yang singkat. Kita semua mengagumi industri atau karya mereka, tetapi jika kita lihat lebih dekat lagi, itu semua merupakan kehidupan yang hampa.

Semakin banyak penyakit yang berbahaya pada masa ini, di antaranya inertia (kelembaman). Hal ini termasuk semua dari kita yang menderita rasa rendah diri yang kompleks. Alfred Adler telah membahasnya. Jika pada awalnya kau tidak sukses, jangan pernah mencoba lagi. Kebanyakan dari kita tidak terlalu bagus dalam pelajaran matematika. Kita akan mati sebelum kita mengambil kelas matematika. Kita malahan dihina dalam kelas olah raga atau permainan bola raket.

Kita tidak pernah mengembangkan keterampilan sosial, ke­terampilan yang paling pentifig dari semuanya. Kita tidak akan pernah pergi ke masyarakat. Kita
menjadi tidak giat. Sesuatu yang paling menyenangkan adalah mengem­bangkan kepribadian pada tahap industri atau menghasilkan karya dan rendah diri secara seimbang. Tujuan mengem­bangkan kepribadian pada tahap industri dengan sentuhan rendah diri adalah agar individu tetap sederhana. Lalu individu memiliki kebajikan yang disebut kompetensi.

Tahap Kelima

Tahap kelima adalah masa remaja, dimulai dengan pubertas dan berakhir sekitar usia 18 atau 20 tahun.Tugas selama masa remaja adalah untuk mencapai identitas diri dan menghindari kebingungan. Masa remaja adalah masa yang diminati Erikson untuk diamati, dan pola-pola yang dia lihat di sini merupakan dasar pemikiran yang dia gunakan untuk tahap-tahap yang lain. Identitas diri berarti mengetahui siapa diri individu dan bagaimana diri individu masuk ke dalam masyarakat. Untuk itu individu membutuhkan semua-yang telah individu pelajari tentang dirinya sendiri serta kehidupan yang membentuk gambaran dirinya. Terdapat sejumlah hal yang dapat mem­buat segalanya menjadi lebih mudah: pertama individu remaja sebaiknya memiliki sebuah pokok pikiran tentang kebudayaan orang dewasa yang berguna bagi para remaja, menjadikan orang dewasa sebagai contoh yang baik serta membuka jaringan komunikasi.

Selanjutnya, masyarakat harus menyediakan suatu cara yang baik dalam menyelesaikan permasalahannya yang membedakan antara orang dewasa dengan anak-anak. Pada masyarakat tradisional dan primitif, remaja putra dapat diminaa untuk meninggalkan desanya dalam waktu yang cukup lama untuk tinggal sendiri, berburu beberapa hewan simbolis, atau mencari inspirasi. Laki-laki dan perempuan diharuskan untuk menjalani kehidupan dengan kesabaran, melaksanakan upacara-upacara simbolik keagamaan, atau peristiwa-peristiwa yang mendidik. Tanpa hal ini, sepertinya individu akan kebingungan, artinya individu mengalami ketidakpastian tentang perannya di masyarakat dan di dunia.

Ketika seorang remaja menghadapi kebingungan, Erikson mengatakan' bahwa orang tersebut menderita krisis identitas. Faktanya, para remaja bertanya kepada masyarakat kita yang mengarah pada pertanyaan tentang identitas “siapakah saya?”. Terdapat beberapa hal mengenai “identitas diri”. Apabila seorang remaja dilibatkan dalam tugas khusus pada sebuah masyarakat tertentu atau subkultur tempat mereka tinggal, tidak ada ruang bagi remaja memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan idenya. Dengan kata lain, masyarakat tidak memberikan toleransi kepada para remaja. Akibatnya remaja tidak mampu untuk berperan di masyarakat. Erikson me­nyebut kecenderungan ketidakmampuan menyesuaikan diri ini dengan “fanatisme”. Orang yang fanatik yakin bahwa caranya adalah satu-satunya cara. Para remaja tentunya dikenal dengan idealisme mereka, dan kecenderungan me­reka melihat sesuatu dalam "hitam dan putih". Orang-orang ini akan mengumpulkan yang lain di sekitar mereka dan mempromosikan keyakinan mereka serta gaya hidup mereka tanpa menghormati hak orang lain yang tidak setuju. Tidak memiliki suatu identitas bagi remaja mungkin suatu kondisi yang tetap lebih sulit. Menurut Erikson apabila masyarakat tidak mengakui keberadaan remaja, masyarakat tidak mengakui keanggotaan remaja pada dunia orang dewasa dan masyarakat tidak mengetahui kebutuhan remaja akan identitasnya merupakan hal yang menyulitkan bagi remaja.

Beberapa remaja membiarkan diri mereka “melebur” dengan kelompoknya, terutama pada kelompok yang biasanya ingin sekali menyediakan secara jelas kepada identitas remaja: tats cara religi, sifat militeristik dalam organisasi, rasa bend yang diciptakan oleh kelompoknya. Mereka merasa diabaikan oleh komunitas dewasanya. Mereka terlibat dalam aktivitas perusakan, obat atau alkohol, atau malah menarik dari fantasi gila mereka. Pada, akhirnya, menjadi “buruk” atau “tidak dikenal”. Para remaja menganggap perilaku itu lebih baik daripada tidak mengetahui siapa. diri mereka yang sebenarnya.

Bila remaja berhasil menyelesaikan tahap ini, remaja akan menemukan tujuan yang oleh Erikson disebut kesetiaan. Kesetiaan berarti kepatuhan, kemampuan untuk hidup dengan dasar komunitas meskipun di dalamnya tidak didapati adanya kesempurnaan dan ketidaksinambungan. Remaja tidak membicarakan kesetiaan yang buta, dan remaja tidak juga membicarakan tentang penerimaan pada ketidaksem­purnaan. Pada akhirnya bila remaja mencintai kelompoknya, remaja akan menemukan hal itu menjadi yang terbaik yang bisa diraih. Tetapi kesetiaan di sini bisa pula berarti remaja telah menemukan tempat dalam sebuah komunitas di mana  remaja akan dapat kesempatan untuk berkontribusi.

Tahap Keenam

Bila individu telah sampai pada tahap keenam, inclividu tengah berada pada tahap dewasa muda yang mempunyai jangkauan umur antara.18-30 tahun. Pada tahap umur ini, individu merasa lebih membingungkan daripada tahap umur anak-anak, dan orang-orang mungkin akan membedakan secara dramatis. Tugas utama dalam tahap ini adalah untuk mencapai derajat keintiman sebagai lawan dari isolasi atau keterasingan.

Intimasi adalah kemampuan untuk menjadi dekat dengan yang lain, sebagai kekasih, teman, dan peserta dalam ko­munitas. Karena individu mempunyai kemampuan yang jelas untuk mengetahui siapa dirinya, individu tidak perlu terlalu ketakutan akan kehilangan jati dirinya, sebagaimana yang remaja perbuat. Penyakit yang berbahaya pada masa ini, Erikson menyebutnya keterasingan yaitu kecenderungan untuk meng­isolasi diri dari semua, dari cinta, dari pertemanan, dan dari komunitas serta mengembangkan rasa benci pada komunitas.

Tahap Ketujuh

Tahap ketujuh adalah masa dewasa madya. Pada masa ini sulit menentukan rentang waktunya, tetapi masa ini ter­masuk masa pada saat individu membesarkan anak. Bagi sebagian besar orang, ini terjadi antara usia 20 tahun sampai dengan 50 tahun akhir. Tugas utama pada tahap ini adalah mengelola keseimbangan  antara kegairahan hidup dengan stagnasi (kejenuhan).

Kegairahan hidup (generativity) adalah perluasan cinta ke arah masa depan, yaitu memberikan perhatian pada generasi selanjutnya dan pada seluruh generasi masa depan. Seperti berkurangnya tingkat keegoisan dibandingkan dengan tahap sebelumnya : intimacy, cinta antara teman menjadi sebanding dan tentu saja harus terjadi secara timbal balik. Tentu saja kita saling mencintai tanpa terlalu mementingkan kepen­tingan diri sendiri, tetapi jika cinta tidak berbalas, kita beranggapan bahwa itu bukan cinta sejati. Dengan gairah hidup (generativity), harapan penuh atas balasan tidak ada, setidaknya tidak terlalu kuat. Beberapa orang tua meng­harapkan balasan dari anak mereka atas apa yang telah dilakukan atau telah dikeluarkan (biaya) untuk anaknya, jika mereka
melakukannya, kita tidak menganggap mereka sebagai orangtua yang sangat baik. Meskipun sebagian besar orang menunjukkan gairah hidupnya dengan memiliki dan membesarkan anak, masih banyak cara lain yang sama baiknya untuk dilakukan, yaitu mengajar, menulis, menemukan suatu hal yang baru, kegiatan seni dan ilmiah, aktivitas sosial dan menyumbangkan hal yang berguna bagi kesejahteraan generasi masa depan agar me­miliki gairah hidup juga. Fakta yang menyenangkan pada masa tua adalah merasa dibutuhkan.

Stagnasi (kejenuhan), di sisi lain, adalah tidak mem­pedulikan orang lain, menyerap segalanya untuk diri sendiri. Orang yang mengalami kejenuhan tidak lagi produktif sebagai anggota masyarakat. Mungkin sulit dibayangkan bahwa kita akan mengalami kejenuhan (stagnasi) dalam hidup kita, tapi kecenderungan maladaptive yang muncul oleh Erikson disebut “overextension”, seperti digambarkan dalam contoh masalah: beberapa orang mencoba untuk sangat aktif sehingga mereka tidak punya waktu untuk diri sendiri, berhenti sesaat dan beristirahat. Orang yang bekerja terlalu berat, tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik lagi. Saya yakin kita semua mengenal seseorang yang mencurahkan terlalu banyak waktu untuk suatu pekerjaan, menjadi anggota banyak perkumpulan, mengambil terlalu banyak mata kuliah atau mengerjakan terlalu banyak pekerjaan dimana mereka tidak punya cukup waktu untuk mengerjakannya.

Kecenderungan yang berbahaya pada. masa ini adalah penolakan (rejectivity). Terlalu sedikit gairah hidup dan terlalu banyak kejenuhan dan individu tidak lagi berpartisipasi atau menyumbangkan sesuatu dalam masyarakat. Dan apa yang kita sebut “makna hidup” adalah masalah bagaimana kita berpartisipasi dan apa
yang kita berikan kepada masyarakat.Tahap ini adalah tahap “krisis dalam pertengahan hidup”. Terkadang pria dan wanita mencari dalam hidup dan ber­tanya-tanya “untuk apa saya melakukan suatu hal?” Per­hatikan baik-baik pertanyaannya: karena fokus mereka adalah diri mereka sendiri, mereka lebih menanyakan “untuk apa” dari pada “untuk siapa” mereka melakukan suatu hal. Dalam kondisi kepanikan, mereka menjadi tua dan tidak memiliki pengalaman atau kepandaian yang mereka miliki ketika masih muda, mereka mencoba kembali ke masa muda mereka. Biasanya para pria lebih sering melakukannya, misalnya mereka meninggalkan penderitaan panjang bersama istri, berhenti dari pekerjaan yang membosankan, membeli beberapa pakaian baru yang modern dan mulai senang bepergian sendiri mengunjungi tempat-tempat hiburan. Mereka jarang menemukan apa yang mereka cari, karena mereka mencari hal yang salah. Jika individu berhasil pada tahap ini, maka individu akan memiliki kemampuan untuk peduli pada orang yang akan membantu melewati sisa hidupnya.

Tahap Kedelapan

Pada tahap ini, individu mengalami kesulitan. Masa dewasa akhir atau usia tua ini dimulai setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah. Dalam teori Erikson, individu yang mencapai tahap ini adalah hal yang baik dan apabila tidak mencapainya diperkirakan perkembangan individu itu akan terhambat oleh masalah yang baru.

Tugas tahap ini adalah mengembangkan integritas ego dengan jumlah keputus asaan yang seminimal mungkin. Tahap ini, khususnya dari perspektif kaum muda, terlihat seperti tahap yang paling sulit dari semua tahap yang ada. Pertama melepaskan diri dari masyarakat karena merasa tidak berguna. Beberapa orang berhenti dari pekerjaan yang sudah bertahun-tahun ditekuni; yang lainnya menyadari bahwa kewajiban sebagai orangtua hampir berakhir, sebagian besar orang menyadari bahwa tenaga mereka tidak lagi dibutuhkan.

Kemudian muncul perasaan ketidakbergunaan secara biologis, seperti tubuh tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, wanita mengalami menopause; pria
biasanya menyadari mereka tidak dapat lagi mengembangkan karir dalam pekerjaannya. Kemudian ada penyakit masa tua, seperti diabetes, penyakit jantung, kanker payudara, kanker rahim dan kanker prostat. Mereka menjadi takut dengan hal­-hal yang sebelumnya tidak ditakuti flu, misalnya, atau jatuh. Bersamaan dengan penyakit, mereka juga mengkhawatir­kan masalah kematian. Kematian teman, keluarga dan tentu saja kematian diri sendiri. Dihadapkan dengan semua ini, mungkin akan membuat semua orang kehilangan harapan atau putus asa.

Dalam merespon keputusasaan ini, beberapa orang men­jadi asyik dengan masa lalunya. Setelah semuanya berlalu, dimana hal-hal berlangsung dengan lebih baik. Beberapa orang asyik dengan kegagalan mereka, keputusan buruk yang mereka pernah perbuat dan menyesalinya karena mereka benar-benar tidak punya waktu dan tenaga untuk mem­perbaikinya. Kita menemukan beberapa orang usia tua menjadi depresi, pendendam, paranoid, terlalu mencemaskan kesehatannya atau mengembangkan pola masa tua dengan atau tanpa dasar pertimbangan fisik.

Integritas ego berarti mulai berhubungan dengan hidupmu dan dengan cara demikian sampai pada tahap akhir hidupmu. Jika individu melihat kembali dan menerima bagian dari peristiwa masa lalu, pilihan yang dibuat, menjalani hidup sebagaimana mestinya. Individu tidak perlu takut akan kematian. Meskipun sebagian besar dari individu tidak berada pada tahap ini, mungkin individu akan tetap ber­simpati melalui perencanaan hidupnya mulai dari sekarang.

Individu semua pernah melakukan kesalahan, tapi jika individu tidak membuat kesalahan, individu tidak dapat mengetahui mana yang benar dan individu tidak
akan menjadi dirinya yang sekarang. Jika individu sangat beruntung atau hanya sedikit membuat kesalahan dalam hidupnya, maka hidupnya akan miskin pengalaman. Kecenderungan maladaptive tahap ini adalah kesombong­an (presumption). Ini terjadi ketika seseorang mengira dirinya telah memiliki integritas ego tanpa mengalami kesulitan­kesulitan pada usia tua. Kecenderungan yang membahayakan adalah meremehkan (disdain), maksud Erikson adalah menganggap hina atau rendah kehidupan seseorang atau semua orang.

Erikson menjelaskan bahwa sebaiknya seseorang yang mendekati kematian memiliki kekuatan yang disebut sebagai “kebijaksanaan”. Kebijaksanaan ini menurut Erikson sebagai hadiah bagi anak, karena “anak yang sehat, berani untuk menjalani hidupnya jika orang yang lebih tua dari mereka benar-benar tidak takut akan kematian”. Erikson berang­gapan bahwa orang memiliki bakat untuk menjadi bijaksana. Erikson menemukan bahwa ada orang dengan bakat seder­hana yang mengajariku banyak hal tidak melalui kata-kata bijak, tetapi melalui pendekatan-pendekatan sederhana mengenai hidup dan kematian, melalui semangat kerendahan hati mereka.

References

Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: UMM Press.
Blair, Deirdre, Jung: A biography, Boston: Little Brown, 2003.

Shamdasani, Sonu, Jung and the Making of modern Psychology: the dream of a science, Cambridge, Cambridge University Press, 2003
Boeree, C. George. (2009). Personality Theories. Yogyakarta: Prismasophie.
Feist, Jess & Feist J. Gregory (2006). Theories of Personality. New York: Pustaka Belajar: Penerjemah: Yudi Santoso.
Fey-Rohn, Liliane. (1974) From Freud to Jung, New York: Putnam.
Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner. (1985). Introduction to Theorities of Personality. New York: John Wiley & Sons.
_________________, (1993). Teori-teori Psikoanalitik (Klinis). Psikologi kepribadian I. Yogyakarta: Kanisius. Editor: A. Supratiknya. 
Hamdi, M.(2016) Teori Kepribadian Sebuah Pengantar. Bandung. Alfabeta 
Share this article :
 
Comments
0 Comments
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger