HAKIKAT BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

Pengertian Budaya

Istilah budaya merupakan sesuatu yang kompleks. Apa lagi jika ditelusuri dari asal usul kata di Indonesia, yang berasal dari budi dan daya. Budi berarti pikiran, cara berpikir, atau pengertian; sedangkan daya merujuk pada kekuatan, upaya-upaya, dan hasil-hasil. Jika saja budaya diterjemahkan sebagai produk berpikir dan berkarya, maka jelaslah bahwa budaya memang merupakan sesuatu yang amat luas. Bahkan apapun yang nampak di dunia ini, asalkan bukan ciptaan Tuhan pastilah disebut budaya.
Oleh sebab itu Berry, at all, (1992) menegaskan culture as that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, laws, custom and any other capabilities and habits acquared by man as a member of society. Budaya sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, dan hukum, adat istiadat, kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh individu sebagai anggota masyarakat.”. Bahkan lebih tegas lagi Padden (1980) menjelaskan, bahwa budaya berarti, the total social heredity of mankind”. keseluruhan hereditas kemasyarakatan umat manusia. Ahli lainnya pun menegaskan demikian (Leong and Kim, 1991 : 112) bahwa culture refers to the widely shared ideals, values, formation and uses of categories, assumptions about life, and goal-directed activities that become unconsciously or subconsciously accepted as 'right' and 'correct'  by  people  who  identify  themselves as  members  of  a  society".
Definisi-definsi tersebut di atas merupakan rujukan sebagai konsepsi budaya dalam konseling lintas budaya.

Konsep Konseling Lintas Budaya

Latar Belakang Konseling Lintas Budaya

Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan   baru   untuk   kehidupan   pada   abad-21,   baik   yang   melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi- dimensi   keragaman   dan   perbedaan.   Dengan   kata   lain,   kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat diperlukan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dasar pertimbangan yang melatari sangat pentingnya wawasan lintas budaya dalam bidang pendidikan,  terutama dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi yang sangat pesat, yang antara lain ditandai dengan kecenderungan besar perubahan kehidupan sebagai berikut. Pertama, kehidupan demokratisasi yang ditunjukkan dengan kesadaran akan hak asasi yang semakin meningkat pada setiap lapisan masyarakat. Kedua, transparansi sebagai dampak dari perkembangan   jenis   media   dan   informasi   yang   semakin   beragam,   yang menuntut kemampuan memproses dan memproduksi secara cerdas. Ketiga, efisiensi dalam pemanfaatan waktu yang menuntut manusia untuk pandai membuat keputusan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan penaksiran serta penerimaan risiko dari setiap keputusan secara bertanggungjawab.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioristik dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Banyak pengarang menulis tentang konseling lintas budaya sering dari populasi minoritas mereka sendiri, untuk menyebut jalan pergerakan dari suatu yang menegaskan landasan pengetahuan Eurosentrik, yang sebelumnya melingkupi landasan pengetahuan pluralistik. Pada  akhirnya, pandangan lintas budaya ditandai oleh pendekatan holistik untuk membantu dan penyembuhan, terfokuskan pada kelompok dan keluarga alih-alih pada individu, dan menggunakan sudut pandang yang integral alih-alih yang linear.
Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda, sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.

Komponen-komponen Perbedaan Budaya

Model konseptual perbedaan budaya dalam pembahasan ini mengacu kepada Palmer dan Laungani (2008 : 45). Konstruk teoretis perbedaan budaya yang diajukannya sebagai berikut.
1)    Individualism ............ Communalism (Collectivism)
2)    Cognitivism ............... Emotionalism
3)    Free Will ................... Determinism
4)    Materialism .............. Spiritualism
Dalam pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia, perlu diperhatikan  komponen-komponen  perbedaan  budaya.  Apalagi  Indonesia dikenal dengan keragaman yang kompleks baik segi demografis, sosial-ekonomis, adat-istiadat, maupun latar budayanya. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia dalam perspektif konseling lintas budaya, layaknya dikembangkan dimensi wawasan ke-bhinnekaan-nya dalam kerangka penegasan karakteristik ke-tunggal-an yang kuat.
Adapun komponen-komponen yang perlu diperhatikan dalam pengembangan  konsep  utuh  bimbingan  dan  konseling  di  Indonesia  mesti terfokus pada orientasi nilai budaya yang menghendaki kehidupan masyarakat yang selaras dengan alam. Koentjaraningrat (1993) menyebut orientasi nilai budaya sebagai mentalitas. Menurut dia, di antara sedemikian banyak komponen mentalitas yang dimiliki berbagai kebudayaan suku bangsa di Indonesia, dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan, terdapat empat komponen yang menonjol, yaitu : (1) konsepsi waktu yang sifatnya sirkuler (waktu itu beredartidak berlangsung”); (2) hidup terlalu bergantung pada nasib; (3) sikap kekeluargaan dan gotong-royong yang sangat kuat; dan (4) orientasi nilai budaya vertikal.
Persepsi waktu yang sirkuler adalah gagasan dan keyakinan, bahwa masa yang telah lampau selalu akan kembali. Persepsi waktu yang beredar tidak linier dilatari oleh kehidupan agraris, yang menunjukkan lingkaran proses pertanian akan terulang tiap tahun. Hal inipun masih melatarbelakangi cara berpikir orang Indonesia pada umumnya, meskipun kaum pelajar di Indonesia telah banyak berpikir berdasarkan konsep waktu yang linier. Kalau tidak demikian, maka tidak mungkin  bangsa  Indonesia  merencanakan  berbagai  kebijakan  pembangunan dengan teliti.
Konsep waktu yang sirkuler dalam cara berpikir umumnya orang Indonesia, seyogianya dipahami oleh konselor sebagai bahan masukan guna mengantisipasi atau memprediksi persepsi dan sikap klien terhadap persoalan yang tengah dihadapinya. Persepsi yang demikian tentang waktu kemungkinan berdampak terhadap anggapan dan sikap, bahwa persoalan yang dihadapi adalah biasa sehingga tidak diperlukan pengatasan atau bantuan orang lain untuk mengatasinya; mengingat orang lain pun berhadapan dengan persoalan yang sama dan selalu berulang. Kalaupun persoalan itu dibicarakan, terbatas pada lingkup orang-orang yang berlatar atau berkaitan secara kekeluargaan dan hanya menegaskan bahwa mereka pun mengalami hal yang sama. Pendek kata, persoalan kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang biasa”, dibiarkan saja, karena akan hilang dan muncul secara alami. Dampaknya, diperkirakan kitatidak tertantang untuk kreatif dan inovatif dalam memproduksi piranti keras ataupun lunak.
Orientasi   nilai   budaya   yang   juga   berakar   pada   kebudayaan   agraris ditambah dengan keadaan yang diakibatkan oleh kemiskinan, adalah sikap hidup yang terlalu meggantungkan diri pada nasib. Menurut Koentjaraningrat (1993:4), apabila kita menginginkan peningkatan kemakmuran melalui jalur industrialisasi, maka orientasi nilai budaya atau mentalitas seperti itulah, yang sangat perlu diubah atau digeser menjadi mentalitas yang lebih aktif.
Orang yang terlalu bergantung pada nasib artinya menyerahkan diri pada nasibnya sendiri, kehilangan semangat untuk berikhtiar, menjalani kehidupan tanpa  repot-repot  membuat  rencana,  kendati  banyak  alternatif  tidak memandang perlu mengambil pilihan, menunda keputusan sampai nasib menghampirinya, kehilangan harapan yang optimis; bahkan mungkin melupakan firman Allah atas pentingnya ikhtiar untuk mengubah nasib.
Dalam adegan pengembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, tampaknya para konselor mesti memperkaya wawasannya tentang konsep takdir mubrom dan muallaq,  hingga dirinya menjadi pribadi yang aktif dan proaktif serta mengembangkan layanan konseling berdasarkan landasan nilai optimistik dan pandangan kehidupan yang mencerahkan secara hakiki. Dengan kata lain dapat   dikiaskan,   bahwa   pengembangan   bimbingan   dan   konseling   akan berkonstruksi  rapuh,  manakala  dibangun  di  atas  landasan  menyerah  kepada nasib menunggu bintang jatuh. Komponen ketiga yang perlu diperhatikan adalah orientasi nilai budaya yang berupa sikap kekeluargaan dan gotong royong yang sangat kuat dalam masyarakat Indonesia. Kendati mentalitas ini menyiratkan kesamaan pada umumnya, tetapi titik anjak dan bentuk pengoperasionalannya berbeda-beda pada sebagian besar anggota masyarakat. Koentjaraningrat (1993) mengemukakan, dalam diskusi-diskusi pernah diajukan kemungkinan, bahwa untuk industrialisasi diperlukan mentalitas yang lebih mandiri, lebih bertanggungjawab sendiri, tidak terlampau menggantungkan diri pada keluarga ataupun bantuan gotong-royong dari lingkungan. Selanjutnya dia menyatakan, banyak di antara kita memang masih perlu membiasakan diri untuk bersikap lebih mandiri dalam banyak hal, serta lebih berani bertanggungjawab atas kekurangan dan kesalahan kita, tanpa mengurangi asas kekeluargaan dan penggeseran mentalitas yang terlalu menggantungkan diri pada gotong-royong. Namun tidak perlu khawatir, bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong menghambat kemajuan; sebab walaupun asas kekeluargaan dalam masyarakat Jepang tetap kuat, bangsa Jepang telah berhasil menjadi salah satu negara yang terkaya di dunia, dan memiliki sistem industri yang sangat maju.
Implikasi dari komponen ketiga bagi pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia adalah pengembangan piranti-piranti strategis untuk kepentingan konseling kelompok dan konseling keluarga dalam perspektif lintas budaya. Dasar pertimbangannya adalah, bahwa orientasi nilai budaya kekeluargaan dan gotong-royong merupakan modal landasan konseptual yang dapat dijadikan mediator guna memfasilitasi keberlangsungan konseling   lintas budaya dalam adegan kelompok ataupun keluarga. Rupanya, studi-studi ke arah penggalian dan pengembangan konsep ini perlu ditingkatkan guna mengokohkan bangun konseling lintas budaya di Indonesia.
Komponen yang keempat, yaitu orientasi vertikal, terasa kuat tidak hanya dalam masyarakat Jawa dan Bali, tetapi ternyata juga dalam sebagian besar berbagai suku bangsa penduduk Sumatera dan Indonesia Timur. Kenyataan ini merupakan hasil penelitian orang Indonesia sendiri di beberapa tempat di Nusantara (Koentjaraningrat, 1993). Secara nyata orientasi vertikal itu adalah ketaatan pada orang tua, orang senior, guru, pemimpin, orang berpangkat tinggi, komandan, dan sebagainya, sehingga seseorang dengan orientasi vertikal tidak akan bertindak tanpa suatu instruksi atau restu dari atas.
Khusus dalam kebudayaan Jawa, ketaatan merupakan sifat yang dinilai sangat tinggi. Anak yang manut (yaitu taat) adalah anak yang sangat terpuji, sementara anak yang selalu mempunyai kehendak sendiri dan gemar mengeksplorasi segala hal di sekitarnya, dianggap mengganggu dan tidak dianggap sebagai anak yang sopan dan santun.
Disinyalir pula oleh Koentjaraningrat, bahwa sangat disayangkan kebanyakan orang di Indonesia masih kurang taat pada hal-hal yang kurang konkret, seperti misalnya hukum dan peraturan-peraturan, apalagi pada hal yang lebih abstrak, yaitu prinsip. Namun, untunglah orang Indonesia pada umumnya taat menjalani ibadah keagamaan, sehingga pelaksanaan sila pertama dalam ideologi negara kita dapat memperkuat ketenteraman jiwa manusia, yang hidup dalam masa pancaroba yang sedang dan masih akan dialami dalam 25 tahun mendatang.
Tampaknya ketaatan seperti itu perlu dipersoalkan, terutama dalam kerangka penumbuh-kembangan prinsip disiplin yang tidak bergantung pada ada atau tidak adanya pengawasan. Konsep Islam tentang khusyu dalam shalat dan imsyak dalam shaum   perlu dikaji secara komprehensif untuk selanjutnya diterjemahkan ke dalam landasan kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan konseling.
Dalam konteks pengembangan konsep utuh bimbingan dan konseling di Indonesia, rupanya diperlukan pengkajian lintas-disiplin yang terfokus pada perspektif  metafisis  tentang  orientasi  nilai  vertikal  dan  latar  belakang  sikap “orang atasan terhadap perilaku dan nilai ketaatan. Hasil pengkajian dipandang sumbangan konseptual yang besar dan amat berharga, terutama bagi pengembangan bimbingan dan konseling yang berpijak pada nilai-nilai budaya lokal tetapi berlaku universal.

Masukan   Unsur   Lintas   Budaya   dalam   Rancangan   dan   Implementasi Program Bimbingan dan Konseling

Untuk memasukkan unsur lintas budaya dalam merancang dan mengimplementasikan program bimbingan dan konseling di sekolah, terlebih dahulu dilakukan pengkajian dalam rangka menjawab tantangan utama bagi seorang konselor sekolah. Pengkajian dapat dilakukan, baik dalam bentuk studi literatur, pengamatan intensif, maupun secara partisipasi dalam pergaulan dengan khalayak kliental. Pengkajian yang dimaksud terutama difokuskan atau untuk menjawab tantangan, bahwa konselor sekolah yang bekerja dengan individu  yang  berbeda  latar  belakang  budayanya, hendaknya  mampu  dan sanggup mendemonstrasikan pemahaman dan apresiasinya terhadap perbedaan budaya.
Kemampuan dan kesanggupan tersebut pada gilirannya diformulasikan ke dalam: (1) sebagian pernyataan tujuan yang akan dicapai melalui program bimbingan  dan  konseling  yang  dirancang;  dan  (2)  keterampilan-keterampilan yang bersifat responsif untuk kepentingan layanan konseling terhadap klien.
Langkah berikutnya adalah merefleksi kondisi lingkungan budaya persekolahan, baik yang menyangkut keragaman asal-usul personel sekolah dan pola interaksi di antara mereka, pelbagai variabel latar belakang yang memungkinkan bias budaya, maupun budaya organisasi dan kepemimpinan yang berkembang di sekolah. Refleksi ini penting, terutama untuk merancang perangkat-perangkat pengidentifikasi dan garis-garis besar strategi intervensi melalui layanan bimbingan dan konseling.
Hasil pemaduan kedua langkah tersebut dilanjutkan pada penyusunan program bimbingan dan konseling yang responsif secara budaya, yang oleh Yagi (1998) disebut 3 C’s (3K) yaitu melingkupi: counselling (konseling), consultation (konsultasi), dan coordination (koordinasi).
Konseling, merupakan hubungan interpersonal antara konselor dengan klien yang bersifat membantu. Dalam konseling, klien dibantu oleh konselor dalam bentuk kemudahan (fasilitas) baik secara kuratif, preventif, maupun promotif-developmental.   Konsultasi,   merupakan   bentuk   hubungan   vertikal antara konselor dengan manajemen puncak (top management) dalam hirakhi organisasi kerja profesional; sedangkan koordinasi, pada dasarnya merupakan hubungan horizontal antara konselor dengan sejawat atau kolega dalam rangka menangani kasus.
Dalam pengimplementasiannya, konselor sekolah yang responsif secara budaya  harus  berupaya  menggunakan  kesadaran,  pengetahuan  dan keterampilan-keterampilan   multibudaya di dalam konteks pertemuan yang terfokus pada perkembangan akademik, karier, pribadi dan atau sosial, serta kebutuhan para siswa dari lingkungan yang secara budaya berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana,  S.  T.  (1986).  Essay  of  a  New  Anthropology;  Values  as  Integrating  Forces  in Personality, Society and Culture. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.
Arredondo, P., Psalti, A., & Cella, K. (1993). The Woman Factor in Multicultural Counseling.” Counseling and Human Development, 25, (8), 1-8.
Botkin, J.W., Elmandjra, M., & Malitza, M. (1979). No Limits To Learning. New York: Pergamon Press.
Buchori, M. (1987). Mendidik Masyarakat Menyongsong Fase Lepas-Landas dan Masa Depan Bangsa, (Makalah Seminar Nasional). Bandung: IKIP.
Carter,  R.  T.  (1991).  Cultural  Values:  A  Review  of  Empirical  Research  and  Implications for Counseling.” Journal of Counseling and Development, 70, (1), 164-173. Delors, J. et. al. (1996). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO.
Drake, C. (1989). National Integration in Indonesia; Patterns and Policies. Honolulu: University of Hawaii Press.
Fukuyama, M. A. (1990). Taking a Universal Approach to Multicultural Counseling.” Counselor Education and Supervision, 30, 6-17.
          Furqon,  dkk.  (2000).  Studi Tentang  Pelaksanaan  Program  Pembauran di  Bidang  Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Garna, J. K., & Ade M. K. (1999). Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Suatu Renungan Pembentukan Indonesia Merdeka Ke Arah Kebudayaan Kebangsaan.  Bandung: Primaco Akademika, c.v.
Hansen,  L.  S.  (1997).  Integrative  Life  Planning;  Critical  Tasks  for  Career  Development and Changing Life Patterns. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Inkeles, A. (1983). Modernisasi Manusia”, dalam Myron Weiner (Ed). Modernisasi; Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jarvis, P. (1992). Paradoxes of Learning; On Becoming an Individual in Society. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Kartadinata,  S.  (2000).  Pendidikan  untuk  Pengembangan  Sumberdaya  Manusia  Bermutu Memasuki Abad XXI: Implikasi Bimbingannya.” Psikopedagogia, 1, (1), 1-12.
Koentjaraningrat. (1993). Manusia Indonesia Bermutu.” Kompas, Kamis-Jumat, 19-20 Agustus 1993, halaman 4 dan 5.
Marzurek, K., Winzer, M. A., & Majorek, C. (Eds.) (2000). Education in a Global Society; A Comparative Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling in a Multicultural Society. London : Sage Publisher.
Qamarulhadi, S. (1986). Membangun Insan Seutuhnya. Bandung: Alma’arif.
Rahardjo, M. D. (Ed.) (1987). Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam. Jakarta: Pustaka Grafitipress.
Sallis, E.  (1993).  Total  Quality Management  in  Education. Philadelphia, London: Kogan page Limited.
Sardar, Z. (1979). The Future of Muslim Civilization. London: Croom Helm. A.b. Rahmani Astuti (1993). Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan.
Supriadi,  D.  (2001).  Konseling  Lintas-Budaya:  Isu-isu  dan  Relevansinya  di  Indonesia.  (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Supriatna,  M.  dkk.  (2003).  Implementasi  Pendidikan  Berwawasan  Kebangsaan.   (Laporan). Kerjasama Fakultas Ilmu Pendidikan, UPI dengan Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama, Ditjen Dikdasmen, Departemen Pendidikan Nasional.
Supriatna, M. (2003). Strategi Bimbingan dan Konseling Berwawasan Kebangsaan Untuk Mengembangkan Sumberdaya Manusia Bermutu Dalam Masyarakat Yang Majemuk. (Kertas Kerja). Bandung: Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
Supriatna,  M.  &  Nurihsan,  J.  (Eds).  (2005).  Pendidikan  dan  Konseling  di  Era  Global;  Dalam Perspektif Prof. Dr. M. Djawad Dahlan. Bandung: rizqi press. Surjomihardjo, A. (1980). Budi Utomo Cabang Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Eko Jaya.
Undang-undang  RI  No.  20  Tahun  2003  tentang  Sisdiknas  (Sistem  Pendidikan  Nasional  ) 2003Beserta Penjelasannya. Bandung: Fokusmedia.
Unesco-APNIEVE. (2000). Belajar untuk Hidup Bersama dalam  Damai  dan Harmoni. Bangkok:  Kantor Prinsipal Unesco untuk Kawasan Asia-Pasifik & Universitas Pendidikan Indonesia.
Ward,  B.  (1982).  Nationalism  and  Ideology; a.  b.  Daniel  Prasetyo,  Manusia  dalam  Kemelut Ideologi. Bandung: Iqra.
Yagi,  D.  T.  (1998).  Multicultural Counseling and  the  School Counselor. [Online].  Tersedia  di http://ericass.uncg.edu/virtuallib/diversity/1064.html. [26 September 2001].
Share this article :
 
Comments
0 Comments
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger