Pertemuan IX (Hubungan filsafat dan agama)



Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa terdapat empat tingkatan/ ruang pengetahuan (level of thought) yaitu;
  1. Tingkatan ilmu pengetahuan (ilmu alam dan kebudayaan)
  2. Tingkatan ilmu-ilmu pasti
  3. Tingkatan filsafat
  4. Tingkatan agama atau theology
Masing-masing tingkatan di atas memiliki metode, prosedur, cara, dan ukurannya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Filsafat merupakan pertolongan yang sangat penting terhadap seluruh sikap dan pandangan seseorang karena filsafat dapat membuat jembatan untuk sampai pada dasar yang mendalam mengenai hakikat MANUSIA dan DUNIA.

Namun, kendatipun kita akan selalu mempertahankan pendapat bahwa filsafat berusaha menerangkan segala sesuatu sampai pada dasar-dasar yang terdalam akan tetapi sering terjadi bahwa filsafat mandeg dalam menerangkan realitas yang kita alami. Contoh; hasrat mengejar kemerdekaan; bahwa manusia adalah merdeka, artinya ialah bahwa manusia mengatasi dan menguasai materi, bahwa ia tidak seluruhnya terikat pada materi dan dikuasai oleh materi. Kemerdekaan itu seakan merupakan sayap manusia untuk dapat membumbung ke atas. Namun dibalik tirani kemerdekaan tersebut terselubung sesuatu yang sebenarnya tampak secara jelas lagi terang yang sulit disangkal bahwa kemerdekaan berupa sayap dimaksud terdiri dari sayap-sayap yang luka.

Bertolak pada hal di atas peran dan kepentingan filsafat dan agama memiliki perbedaan yang signifikan, filsafat sebagai ilmu tidaklah berpangkalan pada wahyu Allah SWT/ agama melainakn otonom pada lapangannya sendiri yang merupakan suatu ilmu tersendiri, filsafat bukanlah agama dan agama bukanlah filsafat. Manusia sebagai rohani pada hakikatnya mempunyai benih kemerdekaan, ia ingin merdeka, ia ingin lepas dari godaan kejasmaniaannya, ia ingin bebas merdeka. Akan tetapi merupakan kemerdekaan yang terbelenggu yang filsafat sendiri belum pernah dapat menerangkannya.

Bagi filsafat hal ini tetap menjadi rahasianya, bagaimana mungkin manusia secara kodratnya mengatasi dunia dan kebendaan yang seharusnya “hanya menggunakan dunia” untuk mencapai kerohaniannya, yang hakikatnya mengatasi kebendaannya sendiri, ingin tenggelam ke dalam materi, ingin menjerumuskan dirinya ke dalam dunia itu seakan tidak mau mengatasi kebendaan itu sendiri, inilah kontradiksi yang terjadi pada manusia yang utuh, selanjutnya bagaimana kontradiksi-kontradiksi itu dapat diatasi??, seperti apakah caranya?? Disinilah filsafat bungkem dan membisu seribu Bahasa.

An Nadawiy secara filosofi mengemukakan bahwa manusia itu adalah mahluk sulit yang penuh paradox dan kontradiksi dalam dirinya sendiri, keperluan dan keinginannya banyak lebih banyak dari nafasnya, lebih lama dari hidupnya dan lebih luas dari alamnya. Filsafat dalam usahanya menunjukkan apa yang terdalam pada MANUSIA dan DUNIA, hingga sampailah pada titik pengertian tentang sebab pertama ( causa prima) yang mutlak dan menerangkan bahwa sebab pertama dan tujuan terakhir bukanlah hanya “sesuatu” melainkan “ zat yang maha sempurna”.

Sebuah keyakinan yang hidup dalam hati setiap orang, bahwa ada sesuatu yang mangatasi MANUSIA dan DUNIA, sesuatu yang lebih luhur, lebih tinggi dan lebih mendalam. Selanjutnya filsafat sendiri menunjukkan kepada “ yang mengatasi segala-galanya” dab bersamaan dengan itu mengakui batas-batasnya sendiri. Bahwa kita berhadapan dengan “rahasia” tentang MANUSIA dan DUNIA.
 
Selanjutnya filsafat mengembangkan sayapnya dengan mangatakan “setiap orang wajib mengabdi kepada tuhan, harus hidup sebagai hamba tuhan (dan ini berlaku umum tidak terkecuali bagi mereka yang tidak mempunyai agama) maka, lahirlah sebuah pertanyaan seperti berikut:

Bagaimanakah tuntutan kodrat kita harus dilaksanakan dalam kodratnya??; Manakah cara yang harus ditempuh??; Manakah cara yang sesuai dengan kehendak tuhan??. Karena mengabdi kepada tuhan sudah seharunya mengabdi sesuai dengan kehendakNya pula.

Filsafat memberikan petunjuk-petunjuk dan ukuran-ukuran yang benar dan harus dilaksanakan tentang hidup kesusilaan, kebenaran, kebaikan, kehidupan bersama dan sebagainya. Akan tetapi de facto ukuran-ukuran ini sedemikian sukar dilaksanakan, sekalipun kodrat manusia menuntut dilaksanaknnya ukuran tersebut. Inilah yang menimbulkan dugaan berikut
  1. Filsafat merupakan jawaban yang penghabisan,
  2. Bahwa pandangan hidup yang diberikan filsafat masih harus disempurnakan,
  3. Mengajarkan hal-hal yang tidak dapat dimengerti oleh manusia melalui akalnya sendiri. (karena jika yang diwahyukan sudah dapat dimengerti oleh akal manusia lalu bagaimanakah status wahyu itu sendiri?)
Titik terakhir yang dapat dicapai oleh filsafat…” saya berhadapan dengan kegaiban dan keajaiban realitas, baik realitasku sendiri maupun realitas di luarku. Yang ternyata akhirnya jawaban yang kuberikan itu tidak memuaskan, saya tetap berhadapan dengan “rahasia” mengingat bahwa ada realitas yang tertinggi ialah maha realitas, sumber ada ialah TUHAN…tidak mungkin adanya kemungkinan lain, kemungkinan yang lebih luas dan lebih dalam lagi untuk memenuhi kehausan jiwa dan hatiku. Demikianlah perenungan para filsuf besar dalam merenungi tentang seluruh kenyataan, tidak ada yang dikecualikan dengan sikap dan hati yang terbuka ia menghadapi segala galanya. Dengan demikian filsafat menunjukkan agama sebagai penyempurnaannya dan de facto dalam sejarah filsafat akhirnya kentara bahwa semua para ahli pemikir besar berujung pada sikap religious.

Semua dorongan yang ada pada manusia ialah dorongan untuk bahagia, demikian dorongan untuk mengerti yang dilaksanakan dalam filsafat yang datang dari dorongan asasi karena mau tidak mau suka atau tidak suka ia tetap terdorong bahwa ia tidak dapat bahagia dengan dan dari dirinya sendiri, ia haus jadi iakekurangan.

Demikian halnya filsafat ia haus akan kebenaran, akan kebahagiaan dan karena haus jadi ia kekurangan!, filsafat seakan menanti nantikan agama keluar sebagai penyempurnaanya, sekalipun penyempurnaan tersebut terletak pada “tingkatan” lapangan lain dari lapangan filsafat sendiri.

Sikap terhadap ilmu pengetahuan, filsafat dan agama

Persoalaan-persoalan yang dihadapi oleh filsafat dan agama untuk sebagian adalah sama mengenai dasar-dasar hidup, tujuan hidup, kesusilaan, hidup sesudah hidup di dunia, kebahagiaan manusia, pengabdian manusia, pengabdian kepada tuhan, dan sebagainya. Keduanya merupakan tuntutan dari kodrat dalam usahanya untuk mencapai kebenaran, kebahagiaan dan pengetahuan yang mendalam tentang hakikat MANUSIA dan DUNIA. Filsafat bersikap lain ia seakan hendak mengenggam alam semesta dalam pikirannya artinya untuk dikuasai oleh kebenaran dan oleh kebahagiaan.

Sikap ingin dikuasai oleh kebenaran dan kebahagiaan tersebut dapat terlaksana dengan sempurna hanya dengan Agama karena disini manusia berhadapan langsung dengan penciptanya, dengan sumber kebahagiaan, dengan tujuan terakhirnya. Sikap menguasai di sinipun masih tetap ada, akan tetapi insyaf akan kekuarangannya maka, manusia tak kuasa untuk melerainya hingga menyerah dan tundukla ia.

Manusia dalam mempelajari MANUSIA dan DUNIA mengantarakan pada pengertian pertama, pengetian tujuan terakhir dan sumber ada pada pengertian Tuhan yang merupakan sumber “ada”, sumber kebahagiaan, maka muncullah keinginan untuk mengenal-Nya labih mendalam dan lebih dekat, dan terjadilah apa yang terjadi pada perhubungan antara seorang manusia dengan sesame manusia lainnya. Kita hanya dapat mengenal seorang dengan lebih baik, lebih dekat dan lebih mesra apabila orang tersebut mau dikenal, mau membuka hatinya karena sebagai pribadi Ia tertutup, berdiri sendiri “dunia kecil” jika membuka hatinya maka terbukalah bagi kita sebuah dunia baru yang tadinya tidak dimengerti. Terbukalah sumber pengetahuan baru yaitu apa yang ingin dikatakan tentang dirinya, dipakainyalah ukuran-ukuran baru mengenai kebenaran dari apa yang telah dikatakan dan muncullah suatu hubungan antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lainnya, saling percaya dan saling menyerahkan diri, bahwa ini merupakan penggambaran sikap yang lain daripada sikap ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya hubungan seorang dengan Tahannya yang terletak pada tingkatan filsafat dan ilmu pengetahuan.

IZaac Newton pelopor ilmu fisika suatu hari duduk ditaman belakang rumahnya, kemudian sebuah appel masak melayang dan jatuh dihadapannya, kejadian tersebut membuatnya heran seraya berkata “mengapa appel itu jatuh ke bumi dan tidak melayang diangkasa” hal tersebut mendorongnya melakukan penelitian secara terus menerus yang kelak ditemukannya “the law of gravitation” dengan gaya Tarik bumi maka benda yang memiliki bobot akan jatuh tertarik oleh bumi.

Sebagai sumber lahirnya ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah biasanya berkenaan dengan munculnya keheranan pada diri seseorang yang selanjutnya meneliti dan mengamati guna menjawab keheranan tersebut. Individu mempunyai kecenderungan kurang memperhatikan tingkatan pengetahuan level of thought yang memakai perkataan yang sama untuk menunjukkan hal-hal lain, kemungkinan hanya memperhatikan dari satu soal dan hanya memperhatikan dari satu sudut yang mengesampingkan sudut lain yang dikemukakan oleh ilmu lain evolution or creation. Maka berkaitan dengan sumber ilmu pengetahuan dan wahyu persoalannya ialah apakah yang dianggap “wahyu Tuhan/agama” itu benar-benar “wahyu Tuhan/ agama” jika itu hanya karangan manusia maka tentunya filsafat dan karangan manusia tersebut mendapatkan pertentangan yang amat keras.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kita tetaplah mempertahankan peranan dan kepentingan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang otonom berdiri dilapangannya sendiri yang tidak berdasarkan akan “wahyu Tuhan/ agama), namun apabila filsafat dengan keras ingin menjadikan dirinya sebagai dasar dan pedoman hidup maka disanalah justru kita merasakan kekurangan akan filsafat itu, untuk mengatasi hal ini kita harus dapat maju selangkah lagi, meningkat satu tingkatan lagi yaitu meninggalkan lapangan filsafat dan menginjak sebuah lapangan yang disebut dengan agama.

Membidik pemikiran para ahli

Albert Einstein (1879 – 1955) seorang ahli fisika ulung dunia pencipta teori “relativitas” pemegang hadia nobel pada tahun 1921 menyatakan “agamaku ialah tak lain melainkan suatu perbuatan mengagumi dengan rendah hati roh yang tak terbatas luhurnya yang menyatakan dirinya dalam bagian yang kecil-kecil yang dapat kita sadari dengan akal kita yang fana lagi lemah itu. Keyakinan yang amat emosional akan adanya suatu daya pikir yang luhur yang dinyatakan dalam semesta alam yang tak dapat difahami itu, merupakan pengertian saya tentang Tuhan.

Poerwadarminta, W.J.S; (Salam, B, 2012: 170) “ agama (umum) manusia mengakui dalam agama adanya yang suci: manusia itu insyaf, bahwa ada sesuatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi yang ada, kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik segala yang ada. Tentang kekuasaan ini bermacam-macam bayangan yang terdapat pada manusia, demikian pula cara membayangkannya. Demikianlah Tuhan dianggap oleh manusia sebagai tenaga gaib di seluruh dunia dan dalam unsur-unsurnya atau sebagai khalik rohani.

Munawir, H, C. (Salam, B, 2012: 170) “kata dien itu mashdar dari kata kerja “daana” yad ienu’. Menurut lighat, kata dien itu mempunyai arti bermacam-macam antara lain;
  1. Cara atau adat kebiasaan
  2. Peraturan
  3. Undang-undang
  4. Taat atau patuh
  5. Menunggalkan ketuhanan
  6. Pembalasan
  7. Perhitungan
  8. Hari kiamat
  9. Nasihat
  10. Agama
Driyarkara, (Salam, B, 2012; 171) “ istilah agama kami ganti dengan “religi” karena kata “religi” lebih luas, jadi lebih luas juga mengenai gejala-gejala dalam lingkungan primitif. Istilah religi menurut asal kata berate ikatan atau pengikatan diri. Sebab itu kata religi adalah lebih personalistis daripada kata agama yang menurut asalnya berati peraturan atau ajaran karena lebih personalistis artinya langsung mengenai dan menunjuk pribadi manusia, maka darisebab itu istilah religi juga lebih dinamis artinya lebih menonjolkan eksistensi manusia jadi juga lebih menonjolkan kemungkinan-kemungkinan untuk dikupas lebih lanjut.

Dalam religi orang melakukan diri secara langsung sebagai totalitas dengan tidak merasa kurang sedikitpun, selanjutnya bagaimanakah cara manusia melihatnya?, ia melihatnya dalam keadaan membutuhkan., lalu apa yang dibutuhkannya? Membutuhkan “keselamatan” dan kebutuhan tersebut secara mutlak. Itulah sebabnya dengan langsung ia menangkap bahwa ‘religi” tidak hanya untuk kini atau nanti melainkan untuk sepanjang kehidupan. Apakah yang terkandung dalam keselamatan dimaksud? Hal ini sangat sukar dijelaskan.

Yang jelasnya bukan hanya keselamatan fisik yang berupa kesehatan atau kemakmuran jasmani dan bukan pula hanya keselamatan hidup dunia ini melainkan keselamatan dalam arti yang lebih tinggi, kebahagiaan yang mutlak yang tidak dapat dicapai dalam kehidupan manusia di dunia.

Bertolak dari sudut pandang para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa:
  1. Dari sisi Bahasa religion (inggris); religie (belanda); religi (Indonesia) dan din (arab). Sama-sama mempunyai pengertian yang sama
  2. Aktivitas dan kepercayaan agama, religi dan din mencakup masalah; kepercayaan dan kecintaan kepada Tuhan dan atau dewa-dewa, penerimaan atas wahyu yang supra natural, kepercayaan kepada jiwa, kebaktian, pemisah antara yang sacral dengan profane pengormabab, perasaan dosa dan menyesal serta pencarian keselamatan.
  3. Pengertian istilah yang sama tersebut diantaranya.
  • Islam; Syariat, thariqah, shiratal mustaqim (jalan lurus)
  • Nasrani; Yesus berkata kepada pengikut-pengikutnya (hawariyyin) “ikutilah jalanku”
  • Cina; “Tao-Taoisme” (Confusionisme)
  • Jepang; “ Shinto”
  • Budha; “ Jalan kedelapan”
Untuk menuju kepada perbedaan asasi antara masing-masing agama, tidak mudah untuk menentukan pengertian agama karena agama bersifat batiniah, subyektif dan individualistis, jika kita membicarakan agama maka, pandangan pribadi dan agama yang dianut mempunyai pengaruh yang amat tinggi.

Agama bertitik tolak dari adanya suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang lebih berkuasa, lebih agung, lebih tinggi dan lebih mulia daripada mahluk-mahluk lainnya. Agama berhubungan dengan masalah ketuhanan, dimana manusia yang mempercayainya menyerahkan diri kepada-Nya.

Randall, (Salam, B, 2012: 173) mengemukakan dua bentuk agama

1. Religion identified with belief in the supernatural

Agama diidentifikasikan terhadap supernatural. Secara popular agama diartikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan yaitu suatu kehidupan yang supernatural.

2. Religion identified with faith

Agama diidentifikasikan dengan kepercayaan atau keyakinan. Keyakinan agama mencerminkan keyakinan atau kepercayaan yang berlangsung di luar apa yang telah kita alami pada masa yang silam dan masa yang akan datang. Definisi ini dibuat untuk memasukkan ke dalam lingkup agama, hal-hal yang menyangkut “agama tentang pengetahuan” “agama tentang komunikasi”, metode ilmiah dan cita-cita politik dengan kepercayaan yang mendominasi kehidupan intelektual. Tetapi definisi ini tampaknya tidak menyangkut prinsip-prinsip pokok dalam agama.

Salam, B (2012: 175) mengemukakan sekurang-kurangnya terdapat empat ciri-ciri dalam agama
  1. Adanya kepercayaan terhadap yang gaib, kudus, dan maha agung, dan pencipta alam semesta (Tuhan)
  2. Melakukan hubungan dengan hal-hal dengan berbagai cara misalanya; dengan mengadakan upacara-upacara ritual, pemujaan, pengabdian dan doa
  3. Adanya suatu ajaran (dokmatika) yang harus dijalanakn oleh setiap penganutnya.
  4. Menurut ajaran islam, ajaran tersebut tidak langsung diturunkan oelh Tuhan kepada umat manusia melainkan melainkan melalui Nabi dan Rasulnya, maka menurut ajaran islam adanya rasul dan kitab suci merupakan ciri khas daripada agama
Terlepas daripada bentuk dan tipe agama, apakah agama wahyu ataupun agama hasil pemikiran manusia, kenyataannya menusia menjadi penganut dan pengikutnya yang setia, kesetiaan tersebut dikarenakan dan menjadi keyakinan bahwa agama memberikan sesuatu yang sangat beharga dalam kehidupannya, yang tidak mampu diuji oleh pengalaman maupun akal seperti halnya menguji kebenaran ilmu dan filsafat karena agama lebih banyak menyangkut perasaan dan keyakinan.

Agama dapat menjadi petunjuk, pegangan, serta pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh kehidupannya dengan harapan penuh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Manakala manusia menghadapi masalah yang sulit, rumit dan berat maka, lahirlah kesadarannya bahwa manusia merupakan mahluk yang tidak berdaya untuk mengatasinya sehingga munculla keyakinan dan kepercayaan bahwa yang dapat menolong dan menenangkan hidupnya hanyalah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Agung, pencipta Seru Sekalian Alam.

Setalah mengkaji dan menlaah agama, religi, din, penggolongannya, pengkalrifikasiannya maka, bagaimana dengan ciri-ciri umum agama yang ada di dunia?, ciri umum agama yang ada di dunia sebagaimana Salam, B (2012: 181) mengemukakan sebagai berikut;
  1. Agama merupakan suatu system tauhid atau system keimanan/ keyakinan terhadap eksistensi sesuatu yang Absolut (Mutlak) di luar diri manusia yang merupakan Causa-Prima atau Penyebab Pertama daripada segala sesuatu termasuk dunia dengan segala isinya.
  2. Agama merupakan satu sitem ritual atau peribadatan/ penyembahan dari manusia kepada sesuatu yang diberi predikat yang Absolut (Mutlak) atau Causa-Prima.
  3. Agama merupakan satu system nilai (value system) atau system norma/ kaidah yang menjadi pola hubungan manusiawi antara sesame manusia dan pola hubungan dengan ciptaan lainnya dari yang Absolut (Mutlak) atau Causa-Prima itu yang seirama dengan system tauhid dan system ritual.
Sementara itu ciri-ciri khususnya diuraikan sebagai berikut
  1. Mengakui eksistensi Wahyu Tuhan an-sich sebagai kebenaran Yang Mutlak dari Tuhan.
  2. Diturunkan oleh Tuhan dari langit dengan perantara malaikat kepada para Nabi dan Rasul
  3. Nabi dan arau rasul menerima Wahyu Tuhan untuk selanjutnya disampaikan kepada umatnya masing-masing
  4. Penyampaian wahyu Tuhan kepada Rasulnya dengan pasti dapat ditentukan waktu kelahirannya
  5. Memiliki kitab suci yang diwariskan Rasul Tuhan
  6. Konsep ketuhanannya adalah Serba-Esa-Tuhan yang murni.
  7. Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama dapat bertahan terhadap kritik akal manusia, menganai eksistensi dan kebenaran alam gaib, akal manusia dapat menerimanya
  8. Dapat bertahan atau tidak berubah dengan adanya perubahan mental dan social dari masyarakat penganutnya, bahkan justru sebaliknya dapat mengubah mental dan sosial masyarakat penganutnya.
  9. System menghayati, berpikir dan beramalnya tidaklah inheren dengan system menghayati, beramal dan berpikir dan beramal tiap segi kehidupan (unsur kebudayaan) dari masyarakat penganutnya, bahkan berpikir dan beramalnya dari setiap segi kehidupan itu bertekuk lutut kepada system menghayati, berpikir dan beramal dari agama.
Lalu pertanyaan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana perbedaan ilmu pengetahuan, filsafat dan agama??

Sifat kebenaran ilmu pengetahuan adalah positif (sampai saat ini) dan nisbi (relatif). Ilmu pengetahuan berangkat dari keragu-raguan hingga bertanya, setelah menyakini kebenarannya lalu ia menyetujui dan sesudah menyetujui lantas bertanya pengalaman empiris dan percobaan (experiment) jadi formula ilmu pengetahuan ialah “?!?” itulah sebabnya ilmu pengetahuan terus berkembang sebagai hasil dinamika penelitian

Sementara itu sifat kebenaran filsafat adalah spekulatif yaitu suatu perenungan yang bersifat dugaan yang radikal dan mengakar, menyeluruh (integral) dan menyemesta (universal) juga bersifat nisbi (relatif) juga berangkat pada keraguan, setelah menyakini lalu menyetujui, namun setelah itu ragu dan bertanya lagi untuk mencari jawaban yang mengAsas dan mendalam. Jadi formula filsafat ialah “?!?”

Sedangkan agama adalah mutlak (absolut) karena bersumber dari Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak, Maha Sempurna, Maha Bijaksana yaitu Tuhan, berangkat dari keimanan dan keyakinan, selanjutnya menyelidiki kebenaran yang mutlak (absolut), setelah konsisten antara keimanan dan keyakinan dengan hasil penyelidikannya maka, terjadilah pendalaman keimanan dan keyakinan itu yang disebut Taqwa. Jadi formula Agama ialah “!?!”

Reference

Abidin, Z. (2011) “ pengantar filsafat barat”. Jakarta. PT. RajaGrafindo persada.
Bahm Archie, J. (1953) philosophy an Introduction. John wiley and Sons inc., New York.
Beerling, R.F (1961) “filsafat dewasa ini” Jakarta. Balai Pustaka
Hamdi, M (2012) “pengantar filsafat ilmu”. Bandung. UPI SPs Press
Salam, B (2012) pengantar filsafat. Jakarta. PT. Bumi Aksara

Share this article :
 

6 komentar :

  1. Agama memberikan sesuatu yang sangat beharga dalam kehidupannya, yang tidak mampu diuji oleh pengalaman maupun akal seperti halnya menguji kebenaran ilmu dan filsafat karena agama lebih banyak menyangkut perasaan dan keyakinan.yang saya tanyakan bagaimana peran agama dalam mempengaruhi ilmu dan filsafat dan tolong berikan contoh konkrit! Terimakasih nurul agustina (a1a315014)

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya akan mencoba menjawab pertanyaan dari sdri Nurul Agustina Yang seperti sama kita ketahui Di dalam agama, ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan, karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Pengaruh agama yang kaku kadang kala menghambat perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam memahami kebenaran ilmiah dengan sistem nilai dalam agama, agar keduanya tidak saling bertentangan. Sebagai contoh manusia diberi daya pikir oleh Tuhan, dan dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi
      Sedangkan dalam hal agama mempengaruhi filsafat dapat di lihat dari pengertian Filsafat sebagai suatu jalan dalam mencari kebenaran. manusia dapat mencari dan menemukan kebenaran melalui agama .karena pada hakikat nya suatu agama yang telah di yakini kebenarannya oleh manusia membawa ajaran kebaikan dan pedoman hidup. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak dan tidak dapat di bantahkan. Agama dengan kitab suci nya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran. Sebagai contoh dalil itu memiliki kebenaran karena memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
      -SYAMSUL ARIF ZAELANI- (A1A315028)

      Hapus
    2. Nama saya bianti norpa nobela nim A1A315001
      Kita tau bahwa agama suatu kepercayaan yang tulus dari hati dan sesangkan filsafat adalah tentang mencari kebenaran. Jdi peran agama dalam filsafat, agamaa sebagai objek filsafat,sedangkan filsafat adalah untuk mncari kebenarannya.

      Hapus
  2. Saya Andira br Sitepu, nim : A1A315032, saya akan menjawab pertanyaan Nurul, menurut saya peran agama dalam mempengaruhi filsafat dapat di lihat dalam penyelesaian suatu masalah yang tidak dapat di selesaikan atau ditelaah oleh filsafat. Contoh; filsafat tidak bisa menebak atau mengatakan sesuatu tentang perasaan orang lain, maka di situ terlihat peran agama dalam penyelesaiannya dimana agama meyakini dengan perasaan orang yang tidak bisa di teorikan oleh ilmu dan filsafat. Terimakasih.

    BalasHapus
  3. Bagaimana cara filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu: Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahalkan dalam kitab suci yaitu al quran, kedua masalah itu tidak pernah dibahas? (A1A315035)

    BalasHapus
  4. wah akhirnya yang dicari ketemu juga, terima kasih pak hamdi, sangat bermanfaat, bahasannya kritis banget, banyak ilmu yang di dapat dari bapak, terutama penggunaan bahasa ilmiah yang seringkali bapak gunakan.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger