PENGARUH KOGNITIF TERHADAP KONSELING LINTAS BUDAYA

Locus of control


Hal paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta
lingkungan.

Berdasarkan arahnya Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana
lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan.

Diri individual

Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari orang lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan insteransi dalam diri.

Kolektifitas

Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain. Karenanya, diri (self) lebih focus pada atribut eksternal termasuk kebutuhan dan harapan-harapannya. Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal. Dapat dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.

Persepsi diri

Studi yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang diberikan subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon abstrak atau deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah bergaul, saya orang yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya mudah bergaul dengan teman-teman dekat saya. Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.

Sosial explanation

Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.

Motivasi berprestasi

Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland. Dalam teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa. Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.

Peningkatan diri (self enhancement)

Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang
datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self
satisfiaction). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara
harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan
ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.

Pendekatan Konseling Lintas Budaya

Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya. Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususan- budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.

  • Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakannya.
  • Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
  • Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
  • Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.

Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:

  • Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling;
  • Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
  • Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.

Model Konseling Lintas Budaya

Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3)
ethnomedical model

Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)

Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus. Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.

Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing

Model Integratif (Integrative Model)

Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan
konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
  • Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
  • Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
  • Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
  • Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).
Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai- nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.

Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)

Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.

1) Konsepsi sakit (sickness conception) Seseorang dikatakan sakit apa bila :
  • Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
  • Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
  • Melakukan pelanggaran hukum
  • Mengalami masalah interpersonal
2) Causal/healing beliefs
  • Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
  • Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
  • Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
  • Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi (share) tentang keyakinan yang sama
3) Kriteria sehat (wellbeing criteria)

Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat
melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.
  • Mampu menentukan sehat dan sakit
  • Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
  • Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
  • Menyadari dan memahami budayanya sendiri
4) Body function beliefs

Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari Muncul intrapsikis
yang efektif pada diri konseli

5) Health practice efficacy beliefs

Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah dengan pengarahan tas/tugas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.

Referencess

Alisjahbana,  S.  T.  (1986).  Essay  of  a  New  Anthropology;  Values  as  Integrating  Forces  in Personality, Society and Culture. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.
Arredondo, P., Psalti, A., & Cella, K. (1993). The Woman Factor in Multicultural Counseling.” Counseling and Human Development, 25, (8), 1-8.
Botkin, J.W., Elmandjra, M., & Malitza, M. (1979). No Limits To Learning. New York: Pergamon Press.
Buchori, M. (1987). Mendidik Masyarakat Menyongsong Fase Lepas-Landas dan Masa Depan Bangsa, (Makalah Seminar Nasional). Bandung: IKIP.
Carter,  R.  T.  (1991).  Cultural  Values:  A  Review  of  Empirical  Research  and  Implications for Counseling.” Journal of Counseling and Development, 70, (1), 164-173. 
Delors, J. et. al. (1996). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO.
Drake, C. (1989). National Integration in Indonesia; Patterns and Policies. Honolulu: University of Hawaii Press.
Fukuyama, M. A. (1990). Taking a Universal Approach to Multicultural Counseling.” Counselor Education and Supervision, 30, 6-17.
Furqon,  dkk.  (2000).  Studi Tentang  Pelaksanaan  Program  Pembauran di  Bidang  Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Garna, J. K., & Ade M. K. (1999). Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Suatu Renungan Pembentukan Indonesia Merdeka Ke Arah Kebudayaan Kebangsaan.  Bandung: Primaco Akademika, c.v.
Hansen,  L.  S.  (1997).  Integrative  Life  Planning;  Critical  Tasks  for  Career  Development and Changing Life Patterns. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Inkeles, A. (1983). Modernisasi Manusia, dalam Myron Weiner (Ed). Modernisasi; Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jarvis, P. (1992). Paradoxes of Learning; On Becoming an Individual in Society. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Kartadinata,  S.  (2000).  Pendidikan  untuk  Pengembangan  Sumberdaya  Manusia  Bermutu Memasuki Abad XXI: Implikasi Bimbingannya.” Psikopedagogia, 1, (1), 1-12.
Koentjaraningrat. (1993). Manusia Indonesia Bermutu.” Kompas, Kamis-Jumat, 19-20 Agustus 1993, halaman 4 dan 5.
Marzurek, K., Winzer, M. A., & Majorek, C. (Eds.) (2000). Education in a Global Society; A Comparative Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling in a Multicultural Society. London : Sage Publisher.
Qamarulhadi, S. (1986). Membangun Insan Seutuhnya. Bandung: Alma’arif.
Rahardjo, M. D. (Ed.) (1987). Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam. Jakarta: Pustaka Grafitipress.
Sallis, E.  (1993).  Total  Quality Management  in  Education. Philadelphia, London: Kogan page Limited.
Sardar, Z. (1979). The Future of Muslim Civilization. London: Croom Helm. A.b. Rahmani Astuti (1993). Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan.
Supriadi,  D.  (2001).  Konseling  Lintas-Budaya:  Isu-isu  dan  Relevansinya  di  Indonesia.  (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Supriatna,  M.  dkk.  (2003).  Implementasi  Pendidikan  Berwawasan  Kebangsaan.   (Laporan). Kerjasama Fakultas Ilmu Pendidikan, UPI dengan Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama, Ditjen Dikdasmen, Departemen Pendidikan Nasional.
Supriatna, M. (2003). Strategi Bimbingan dan Konseling Berwawasan Kebangsaan Untuk Mengembangkan Sumberdaya Manusia Bermutu Dalam Masyarakat Yang Majemuk. (Kertas Kerja). Bandung: Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
Supriatna,  M.  &  Nurihsan,  J.  (Eds).  (2005).  Pendidikan  dan  Konseling  di  Era  Global;  Dalam Perspektif Prof. Dr. M. Djawad Dahlan. Bandung: rizqi press. Surjomihardjo, A. (1980). Budi Utomo Cabang Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Eko Jaya.
Undang-undang  RI  No.  20  Tahun  2003  tentang  Sisdiknas  (Sistem  Pendidikan  Nasional  ) 2003Beserta Penjelasannya. Bandung: Fokusmedia.
Unesco-APNIEVE. (2000). Belajar untuk Hidup Bersama dalam  Damai  dan Harmoni. Bangkok:  Kantor Prinsipal Unesco untuk Kawasan Asia-Pasifik & Universitas Pendidikan Indonesia.
Ward,  B.  (1982).  Nationalism  and  Ideology; a.  b.  Daniel  Prasetyo,  Manusia  dalam  Kemelut Ideologi. Bandung: Iqra.

 

Share this article :
 
Comments
0 Comments
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Muhamad Hamdi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger